Sunday, October 7, 2012

Pendidikan Gratis, Antara Janji Politik dan Keterpurukan Pendidikan (Sebuah Analisa Kritis atas Program Pendidikan Gratis di Sul-Sel)



Ditulis Oleh :
M Sirul Haq
(Staf Eksternal Fraksi Partai Demokrat DPRD Sulsel)

Program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan merupakan janji politik pemerintahan Gubernur Sulawesi Selatan (selanjutnya disingkat : Gubernur) yang digulirkan sejak 2008. Sebagai jargon politik, pendidikan gratis hanyalah sebuah terminologi kata pada kenyataannya. Hanya sebagai sebuah nama membuat program ini tidak berjalan secara terpadu dan konsisten dengan proses dan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai, terbilang hanya pemanis bibir.
            Bayangan masyarakat, pendidikan gratis pastilah gratis mulai pendaftaran masuk sekolah hingga lulus menerima ijazah tapi pada kenyataannya berbalik 180ยบ, dimana pendaftaran masuk sekolah tidak seluruhnya gratis, sarana dan prasarana sekolah pun masih ada pembayaran, masih diharuskan membayar komite sekolah, hingga ujian akhir pun masih terdapat pungutan.
Pada kenyataannya agenda pembangunan peningkatan kualitas pendidikan masyarakat oleh Gubernur difokuskan pada pendidikan gratis, peningkatan kualitas pelayanan pendidikan, pelayanan akses masyarakat terhadap fasilitas pendidikan, pemberantasan buta aksara dan pengembangan budaya baca.[1]
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menyiapkan anggaran Rp 80 miliar dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun 2012 untuk menggratiskan pendidikan pada tingkat SMA, SMK dan Madrasah. Meski sudah menyiapkan anggaran, namun tidak semuanya akan digratiskan oleh pemerintah, hanya item-item tertentu yang digratiskan seperti biaya pendaftaran siswa baru tingkat SMA, SMK dan Madrasah Aliyah mulai tahun ini. Hal ini dikatakan, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, H. A. Patabai Pabokori.[2]
Patabai Pabokori menyatakan lebih lanjut, jika ingin menggratiskan seratus persen tingkat SMA, SMK dan Madrasah Aliyah, maka pemerintah harus menyiapkan anggaran sebesar Rp 200 miliar lebih. Pekan depan, kita akan mengundang seluruh kepala dinas pendidikan di 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan untuk melakukan pertemuan terkait teknis pelaksanaan program pendidikan gratis tingkat SMA, SMK dan Madrasah Aliyah. Untuk pembagian jumlah anggaran per kabupaten, itu dihitung dari jumlah siswanya. Diharapkan komitmen pemerintah kabupaten/kota untuk menyukseskan program gubernur ini, dengan menyiapkan dana sharing sebesar 60 persen.
Program pendidikan gratis dalam wilayah provinsi menyentuh wilayah 24 pemerintahan daerah tingkat II Kabupaten dan Kotamadya se-Sulawesi Selatan, berdasarkan pengakuan Amping Situru, mantan Ketua DPD II Partai Golkar Tator, menyoroti program pendidikan dan kesehatan gratis yang diterapkan gubernur Syahrul Yasin Limpo. Bahwa, kesepakatan dianggap tidak adil  karena anggaran pendidikan dan kesehatan gratis lebih banyak dibebankan kepada kabupaten/kota. “Itu program pemprov Sulsel, tapi justru kabupaten/kota yang dibebani anggaran lebih banyak. Seharusnya kabupaten/ kota dibebaskan dari semua anggaran.[3]
Ketua Dewan Pendidikan Sulsel, Prof Halide menyebut angka itu adalah hal yang benar. Seperti dilansir USAID pekan lalu, sebagai Badan Bantuan Pembangunan Internasional, Amerika Serikat serta UNICEF sebagai salah satu badan lembaga dunia PBB menemukan, 2,5 juta anak putus sekolah di Sulsel. Penyebabnya ditengarai antara lain kebijakan Pemprov Sulsel melalui program pendidikan gratis  dinilai belum dapat menjangkau jutaan anak di luar sekolah. Selain itu, lemahnya sistem kontrol pihak pemprov setempat yang tidak konsisten.[4]
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Indonesia (PGRI) Pusat, Dr Sulistiyo, memuji prograp pendidikan gratis yang diprogramkan Pemprov Sulawesi Selatan. Menurutnya, hal itu menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap pendidikan, termasuk guru.[5]
Bakal calon Gubernur Sulsel 2013-2018 Ilham Arief Sirajuddin menyoroti program unggulan bakal calon incumbent Sulsel Syahrul Yasin Limpo, pendidikan gratis. Ilham menunjuk angka buta aksara di Sulsel yang masih berada di level ketiga tertinggi di Indonesia. Sektor pendidikan gratis ternyata juga belum mampu menigkatkan realitas masyarakat Sulsel. Terbukti, buta aksara kita urutan ketiga tertinggi di Indonesia. Bagaimana tidak, program unggulannya berupa pendidikan gratisnya itu kan memang sudah digratiskan negara baru diklaim. Ada Undang-undan No 28, di Indonesia wajib belajar 9 tahun. Kalau mau gratis, ya tingkat SMA difasilitasi dan tidak biaya, itu baru gratis.[6]
SYL sendiri menilai Program Pendidikan Gratis hanya merupakan intervensi terhadap pendidikan formal mulai dari SD hingga SMA, dan belum menyentuh 2,5 juta jiwa anak yang putus sekolah ataupun yang tidak dapat mengakses sekolah. Padahal dalam KUA tahun 2012 menargertkan penambahan Angka Melek Hurup menjadi 91,82 % dan Rata-Rata lama Sekolah menjadi 8,11 tahun masa sekolah, jadi seharusnya yang mendapat perhatian dan intervensi adalah angka 2,5 juta jiwa yang putus sekolah sebagai prioritas utama dan bantuan pendidikan gratis pada wilayah sekolah formal menjadi prioritas ke-dua.

Analisa Kritis
Pendidikan gratis seharusnya menyentuh penduduk yang tidak dapat sama sekali mengakses pendidikan, bukan yang telah mengakses karena itu tinggal penguatan saja. orang per orang warga Sul-Sel yang tidak sama sekali tersentuh pendidikan, seharusnya paling diprioritaskan tersentuh pendidikan sehingga tak ada lagi warga masyarakat sul-sel yang tidak sekolah, putus sekolah, buta huruf, tertinggal dan bodoh. sehingga lapangan pekerjaan semakin terbuka dengan pemberdayaan pendidikan kemandirian, bukan pada pendidikan formal yang telah menjadi titik fokus bagi pemerintah pusat. jadi seharusnya program pendidikan gratis menyentuh hal-hal yang belum disentuh oleh program pendidikan nasional. sehingga tidak ada juga tumpang tindih dalam pelaksanaan anggaran dibawah atau dilapangan. Target penurunan penduduk miskin dan pendidikan gratis tidak berjalan satu arah atau saling melengkapi, tapi kecenderungannya berjalan sendiri-sendiri.
Pendidikan diarahkan pada mendorong pertumbuhan ekonomi, penghapusan pengangguran, meningkatnya angka angkatan kerja dan tentunya tercapai kesejahteraan rakyat menuju masyarakat adil dan makmur.
AHH (Angka Harapan Hidup) tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kesehatan tapi pendidikan menjadi hal yang lebih dominan, seseorang menjadi sehat dan memiliki harapan hidup yang jauh ke depan itu sangat dipengaruhi keterdidikan masyarakat dalam pengetahuan dan keterampilannya menghadapi kehidupan termasuk menjaga kesehatan agar dapat berumur panjang.
Jangan berfikir formal yang formalistik tapi keluar dari cara berfikir tersebut, out of the box menyikapi dan bertindak mengatasi jembloknya IPM yang dipengaruhi tingkat pendidikan masyarakat berada pada kondisi yang tidak menyakinkan. sehingga berkontribusi secara langsung dan tidak langsung terhadap pendapatan asli daerah (PAD) berdasarkan KUA tahun 2012 yang terdiri dari komponen Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengolahan Kekayaan Daerah, dan Pendapatan Asli Daerah dari sektor lainnya.
Pelibatan rakyat juga harus dibuka ruangnya, dengan tidak bertumpu pada orientasi program yang berbasis anggaran tapi pula berbasis masyarakat. Dengan mengajak warga terlibat secara aktif dalam menopang upaya terwujudnya pendidikan gratis bagi kalangan putus skolah.

Tidak Menjawab Kebutuhan Rakyat
Program Pendidikan gratis ternyata tidak menyentuh kebutuhan rakyat pada persoalan hakiki. Yakni, pengurangan pengangguran, kebutuhan lapangan kerja, kemiskinan dan kesejahteraan.

1.       Pengangguran
Pada persoalan pengangguran, target pengurangan di tahun 2012 yakni 245.783 orang dari ukuran realisasi ditahun 2011 283.355 orang. Artinya mengalami pengurangan 37.572 orang atau 13% sebagai target pengurangan pengangguran, atau angkatan kerja mengalami penambahan dengan terserapnya 37.572 orang atau 13%.  Target pengurangan itu tidak secara strategis didorong dengan kebijakan pendidikan gratis, padahal pengangguran membutuhkan pendidikan formal dan informal untuk dapat keluar dari kondisi yang tak memiliki pekerjaan.

2.       Lapangan Kerja
Pendidikan gratis tidak menjadi stimulus langsung terhadap penambahan lapangan pekerjaan. Dalam artian, manfaat pendidikan gratis tidak menjadi ukuran dan pendorong penambahan lapangan kerja. Karena pola pendidikan gratis hanya difokuskan pada pendanaan pendidikan formal, tidak menyentuh kebutuhan angkatan kerja yang ingin masuk dalam lingkup pekerja aktif karena keterbatasan lapangan kerja. Seharusnya pendidikan gratis juga menyentuh kebutuhan pengetahuan dan keterampilan pencari kerja untuk membuat lapangan kerja sendiri atau menjadi pekerja mandiri / pengusaha / enterpreneur.
Pendanaan pendidikan gratis pada sektor pendidikan keterampilan teknis kurang mendapat perhatian padahal hal ini yang selayaknya menjadi prioritas utama untuk didorong, dengan pendidikan secara formal dan informal keterampilan berdasarkan kebutuhan lingkungan setempat. Jadi yang bermukim didaerah pedesaan, lebih memprioritaskan pendidikan keterampilan pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, dan usaha pedesaan.

3.       Kemiskinan
Kebijakan pendidikan gratis terlihat tidak menyentuh langsung persoalan kemiskinan, terutama miskin dalam ketidak mampuan mengakses pendidikan, memberantas buta aksara dan pendidikan praktis bagi peningkatan ekonomi rakyat miskin agar dapat keluar dari kemiskinan. Pendidikan Gratis sebagai sebuah program hanya menyentuh sebagian besar pendidikan formal dari jenjang SD, SMP dan SMA yang sebenarnya orang-orang yang telah mengenyam atau sementara mengeyam pendidikan formal tersebut memiliki akses atas pendidikan. Ada persoalan penting dalam sektor pendidikan yang harus disentuh dan selalu menjadi biang kerok keributan dimedia tentang ketidak berhasilan pendidikan gratis yakni tingkat Angka Melek Huruf (AMH) yang tidak tertangani serius, padahal AMH lah yang harus menjadi prioritas utama dalam program pendidikan gratis yang selayaknya disentuh.


4.       Kesejahteraan
Jumlah penduduk miskin Provinsi Sulawesi Selatan pada triwulan II tahun 2011 menurun mencapai 832.900 jiwa dan pada tahun 2012 ditargetkan turun dibawah 9 persen atau sekitar 792.600 jiwa.[7] Tapi pada sisi lain, walaupun terdapat perkiraan penurunan tapi mengenai tingginya angka anak putus sekolah mencapai angka 2,5 juta yang dilansir USAID.[8] Sehingga terkesan, ini tidak didukung dengan peningkatan dana Pendidikan Gratis, sehingga kesulitan masyarakat keluar dari garis kemiskinan menuju kesejahteraan terbilang sulit. Pendidikan bagi sekitar 832.900 jiwa masih merupakan beban ekonomi keluarga, yang tidak ditopang secara strategis bagi dana program Pendidikan Gratis dari pemerintah.
Pakar Pendidikan Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof Dr H M Asfah Rahman, M.Ed menuturkan, tingginya angka anak putus sekolah di Sulsel perlu dilihat dari berbagai sisi. Termasuk sosialisasi dan pemahaman tentang pendidikan terhadap masyarakat.[9]
“Selain karena kurang sosialisasi, faktor lainnya karena tidak adanya jalan bagi sekolah untuk menerima sumbangan selain dari pemerintah. Sehingga ini menjadi malapetaka dalam tanda petik bagi pihak sekolah yang bersangkutan,” urainya.

berdasarkan hasil penelitiannya di beberapa sekolah dasar di sepuluh kabupaten/kota  Sulsel seperti Palopo, Luwu, Sidrap, Pinrang, Gowa maupun Makassar, biaya operasional normal untuk sekolah dasar selama ini ternyata masih minim.

“Hampir semua kabupaten/kota masih kekurangan dalam menerima dana BOS, sumbangan maupun dana pendidikan gratis dari pemprov Sulsel,”
menyarankan agar pemerintah kabupaten/kota juga turun tangan membantu pemerintah pusat dalam pemberian dana bantuan itu.

“Seharusnya ada data riil yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah mengenai berapa sebenarnya kebutuhan dana di tiap sekolah. Ini untuk mengetahui apakah  bantuan dana pendidikan gratis  perlu ditambah? Tujuannya agar operasional sekolah itu bisa berjalan normal,”
            sehingga berdasarkan data dan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa program Pendidikan Gratis masih jauh dari impian membantu dan mendorong terjadinya kesejahteraan masyarakat di Sulawesi-Selatan
Tarik Ulur Kepentingan Provinsi dengan Kabupaten/Kotamadya
            Program Pendidikan Gratis yang telah berjalan sejak 2008, terlihat masih menjadi program uji coba tanpa ada penetrasi kebijakan per semester untuk mengalami perubahan seiring kebutuhan ataupun persoalan tumpang tindih kebijakan antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten/Kotamadya. Fenomena di daerah yang beragam menunjukkan kebijakan Pendidikan Gratis tidak dapat disamaratakan atau dipaksakan sama disetiap daerah, perlunya memahami konteks yang terjadi didaerah sebagai realisasi program pendidikan Gratis.

Program pendidikan gratis yang sudah berjalan empat tahun masih juga belum optimal. Beberapa kabupaten ternyata hanya memanfaatkan dana pendidikan gratis dari Pemprov Sulsel. Di sisi lain, dana pendidikan gratis yang seharusnya dialokasikan pemerintah kota dan kabupaten sebesar 60 persen dari total anggaran, justru tidak dimanfaatkan. Dana tersebut masih mengendap di kas daerah. Kasus seperti ini di antaranya terjadi di Kabupaten Jeneponto. Pembiayaan program pendidikan gratis seperti pembayaran insentif guru dan operasional hanya menggunakan dana Pemprov Sulsel yang dikucurkan sebesar 40 persen dari total anggaran.

Alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen pendidikan sebenarnya telah menjadi kewajiban pemerintah daerah. Apalagi, Pemprov Sulsel dan pemerintah kabupaten telah meneken nota kesepahaman pengalokasian anggaran pendidikan gratis. Abdullah Jabbar mengatakan, anggaran pendidikan gratis sebenarnya untuk membayar insentif guru dan operasional belajar. Namun, dana yang didahulukan pencairannya di kabupaten justru untuk insentif para guru.[10]

Perubahan Arah Kebijakan :
Program Pendidikan Gratis yang dalam beberapa point mengalami permasalahan, sehingga dari permasalah itu perlu dicarikan solusinya agar tidak berlarut-larut dan menumpuk. Sehingga, ketika menemukan berbagai masalah akan cepat diadakan perubahan arah kebijakan yang tidak dianggap tabu sebagai sebuah kebaikan bersama agar kepentingan dari program Pendidikan gratis dapat lebih efektif dan efisien terlaksana yang disesuikan dengan harapan yang ingin dicapai agar dapat saling berkesinambungan. Oleh karenanya itu dapat ditarik berbagai permasalahan yang perlu dipikirkan langkah perubahan yang harus dilakukan diantaranya :
1.      Tumpang tindih dengan program pendidikan yang dijalankan pusat dan daerah tingkat dua.
2.      Tidak sesuai dengan harapan peningkatan IPM Sul-Sel secara mendasar dengan secara radikal mengurangi angka buta huruf dan putus sekolah.
3.      Hanya mengintervensi pada pendidikan formal dari SD hingga SMA sederajat, padahal ada tingkat krusial dan lebih memperihatinkan yang harus dapat perhatian lebih yakni angka 2,5 juta jiwa yang putus sekolah harus lebih mendapat perhatian program Pendidikan gratis.
4.      Penyelewengan dana atau anggaran Pendidikan Gratis mulai pada tingkatan provinsi hingga di sekolah-sekolah harus diberangus dengan melibatkan masyarakat, LSM, legislatif, BPK dan tentunya aparat penegak hukum; kepolisian, kejaksaan dan mungkin KPK.
5.      Pelaksana lapangan mulai dinas pendidikan Sul-Sel dan kabupaten/kota dan sekolah-sekolah juga guru-guru, juga menjadi bagian masalah yang perlu dipecahkan karena terdapat banyak penyimpangan yang mereka lakukan dalam pelaksanaan Pendidikan Gratis di Sul-Sel. Mulai dari penyelewengan anggaran, penyalagunaan kewenangan, pungutan liar, dan mementingkan diri sebagai pelaksana yang melupakan fokus utama yakni anak didik sebagai sasaran program pendidikan gratis.
6.      Banyaknya anggaran yang mengujur untuk pembiayaan intensif guru padahal begitu banyak pemasukan yang didapatkan guru, mulai dari dana sertifikasi, dana BOS, gaji bulanan, gaji 13, insentif dari dana Komite Sekolah dan honor pelaksanaan jam tambahan bagi siswa. Hal ini menunjukkan begitu banyaknya sumber pendapatan yang didapatkan guru, namun tidak bersesuai dengan hasil yang diharapkan terutama peningkatan mutu pendidikan, pengurangan angka buta huruf dan lama sekolah, bahkan cenderung menjadi bagian beban dalam anggaran Pendidikan Gratis yang harus dikaji ulang.
7.      Pengawasan dan evaluasi mutu dan keluaran yang ingin dicapai pada pendidikan gratis diranah  pelaksanaannya kurang terlaksana secara baik dan sistematis, sehingga perlu dibentuk pengawasan yang secara resmi mengawasi pelaksanaan pendidikan gratis tersebut. Pelibatan Dewan Pendidikan Sul-Sel perlu menjadi hal yang diprioritaskan untuk itu, selain melibatkan perguruan tinggi, masyarakat, lsm, legislator, dan pengamat pendidikan.

Sehingga dari 7 point diatas perlunya ada perubahan signifikan bagi peningkatan program Pendidikan gratis, yang tidak semata-mata sebagai realisasi janji politik tapi memang menyentuh persoalan mendasar dan substansial dari peningkatan pendidikan di Sul-Sel. Hal inilah yang mendasari perlunya ada rekomendasi dari bacaan dilapangan, analisa media dan KUA APBD Sul-Sel 2008, 2009, 2010, 2011 dan 2012.

Rekomendasi :

            Ada beberapa hal yang dapat ditarik dari informasi dan ulasan diatas yang menjadi point-point penting rekomendasi diantaranya adalah :
1.      Perlunya membicarakan ulang proporsi pendanaan Pendidikan Gratis antara Pemprov Sul-Sel dan Pemda Kab/Kotamadya.
2.      Perlunya penyamarataan persepsi dan lokalitas kepentingan daerah tingkat dua serta kebutuhan masyarakat berbasi lingkungan, ekonomi dan sosial agar tidak terjadi ketimpangan ekonomi, peningkatan kesejahteraan, pengurangan pengangguran dan terciptanya lapangan pekerjaan mandiri terhadap Program Pendidikan Gratis agar tidak tumpang tindih dengan program dari Pemerintah Pusat dan perbedaan pandangan dengan Bupati/Walikota.
3.      Perlunya menetapkan aturan teknis realisasi program Pendidikan Gratis agar tidak dialokasikan secara serampangan tapi berdasarkan skala prioritas.
4.      Pengawasan Dana Pendidikan Gratis agar tidak dikorupsi dengan berbagai modus korupsi yang terjadi dengan melibatkan BPK, legislatif, LSM, masyarakan dan aparat penegak hukum; kepolisian, kejaksaan dan KPK.
5.      Mendorong Program Pendidikan Gratis agar lebih menyentuh 2,5 juta jiwa sebagai titik fokus program, dan mulai mengurangi intervensi pada pendidikan formal yang telah didanai pusat dan daerah tingkat dua. Agar target IPM yang ingin dicapai diantaranya pengurangan angka putus sekolah dan melek baca dapat terealisasi dan menyentuh pada sasarannya.
6.      Memproses secara etik, moral dan hukum setiap pelanggaran Pr ogram Pendidikan Gratis yang terjadi dilapangan mulai dari pelanggaran administrasi, pengajaran hingga penyelewengan dana agar menjadi stimulus untuk perbaikan kinerja dan mutu pelaksanaan.
7.      Penambahan anggaran Program Pendidikan Gratis menjadi hal yang sangat diperlukan guna peningkatan mutu dan hasil yang ingin dicapai.
8.      Mengkaji ulang, berbagai insentif, honor dan gaji guru yang didapat dengan adanya program Pendidikan gratis ini yang terlihat tumpang tindih, menguntungkan guru dan pelaksana lapangan agar tidak terlihat sebagai pemborosan anggaran dan tumpang tindih dengan kebijakan pusat dan daerah tingkat dua.
9.      Perlunya dibentuk badan pengawasan dan evaluasi agar Program Pendidikan Gratis ini secara khusus agar dapat diukur sejauhmana capaian yang ada, sehingga berdampak pada efektifitas dan kreatifitas Kebijakan Anggaran dan politik yang ada pada APBD 2012 maupun nantinya 2013.

Demikian analisa sederhana ini semoga bermanfaat.


[1] Kebijakan Umum APBD (KUA) APBD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan 2011, halaman 20, paragraf 2.
[2] www.fajar.com, Rabu, 18 Januari 2012.
[3] Ilham Kritik Pendidikan Gratis Sulsel, Tribun Timur, Selasa, 10 April 2012 20:14 WITA
[4] Evaluasi Program Pendidikan Gratis Sulsel, Harian Fajar
[5] Tribunnews.com
[6] makassar.tribunnews.com,2012
[7] Kebijakan Umum APBD, APBD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012, dikeluarkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, yang bersumber dari data BPS Prov. Sul-Sel, halaman 8.
[8] Fajar.com
[9] Fajar.com
[10] Fajar.com

No comments:

Post a Comment