Monday, June 10, 2013

Potensi Pajak Rokok Sulsel Rp310 M

<a href="http://http://www.fajar.co.id/bisnisekonomi/2670399_5664.html"></a>

Mon,10 June 2013 | 12:02 MAKASSAR, FAJAR --

Potensi penambahan Pendapatan yang akan diterima Pemprov Sulsel dari Pajak Rokok di Tahun 2014 mencapai Rp310,96M Sekretaris Fraksi Demokrat Sulsel, Aerin Nizar mengatakan fraksinya optimis dengan potensi pajak ini bila sudah diterapkan di Sulsel 2014 mendatang.

Jumlah itu nantinya akan dibagikan sebesar 70% ke Pemerintah Kab/Kota dan 30% untuk Pemerintah Provinsi. "Dengan kata lain, Pemprov Sulsel akan menerima tambahan pendapatan di Tahun 2014 dari Pajak Rokok sebesar 93,288 Milyar Rupiah dan 23 Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulsel akan dibagikan secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk masing-masing daerah sebesar total Rp217,672 M " kata Aerin, Senin 10 Juni. (nur)

Pemprov dan DPRD Sulsel "Kejar" Pajak Rokok Rp 310,96 Milyar


http://makassar.tribunnews.com/mobile/index.php//2013/06/10/pemprov-dan-dprd-sulsel-kejar-pajak-rokok-rp-31096-milyar

Senin, 10 Juni 2013 15:10 WITA

MAKASSAR,TRIBUN-TIMUR.COM-DPRD Sulsel Paripurna Pemandangan Umum Fraksi terkait Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pajak Rokok di ruang paripurna Kantor DPRD Sulsel, Jl Urip Sumihardjo, Makassar, Senin (10/6/2013).

Paripurna ranperda dalam rangka menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) Sulsel Rp 3,38 Miliar ini dipimpin Ketua DPRD Sulsel Moeh Roem. Hadir Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu'mang. Sementara Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo tidak hadir.

Sebanyak sembilan fraksi DPRD Sulsel menyatakan setuju untuk melanjutkan pembahasan ranperda pajak tersebut.

"Tak lama lagi harga eceran rokok juga akan naik. Semangat dari penetapan pajak rokok oleh pemerintah pusat yang kemudian akan dibagikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota adalah untuk mengurangi dampak negatif rokok bagi kesehatan, baik itu bagi perokok pasif maupun yang aktif," kata anggota Fraksi Partai Demokrat Aerin Nizar.

Menurut Aerin yang juga ketua komisi B ini, jika perda pajak rokok tersebut nantinya terbentuk maka diharapkan terjadi penegakan hukum yang lebih tegas terkait cukai rokok ilegal dan kegiatan tersebut nantinya akan didanai dari pajak Rokok.

Pajak Rokok yang sementara diusulkan  ini merupakan jenis Pendapatan Baru yang akan dinikmati oleh Provinsi Sulsel di tahun 2014.

Selama ini, Pemprov. Sulsel telah menikmati 4 (empat) jenis pajak sebagai sumber pendapatan daerah yakni pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan pajak air permukaan.

Kelak, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel akan memungut pajak atas cukai rokok sebesar 10 persen yang dipungut oleh pemerintah bersamaan dengan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan diberikan kepada Pemerintah Provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.

Penerimaan Cukai Rokok Nasional mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 2000, yakni Rp 84,4 Triliun di Tahun 2012.

"Adapun untuk pemanfaatan pajak rokok, pemerintah pusat mengharapkan agar Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kota mengalokasikannya paling sedikit 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang," Aerin menambahkan.

Pemprov Sulsel akan menikmati pungutan pajak rokok sebesar Rp 310,96 Milyar pada 2014 atau dengan kata lain, Pemprov Sulsel akan menerima tambahan pendapatan di Tahun 2014 dari Pajak Rokok sebesar Rp 93,288 Miliar.

Semua kabupaten/kota di Sulsel akan dibagikan secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk masing-masing daerah sebesar total Rp217,672 milyar. 

"Besar kemungkinan perda ini terbentuk karena ini pendapatan baru untuk Sulsel," kata anggota Fraksi Hanura Affandy Agusman Aris.

Penulis : ilham
Editor : taufik
Share on Facebook
Share on Twitter

Follow @tribuntimur on Twitter

Komentar (0) 

Sunday, June 9, 2013

Pajak Rokok Sulsel : Pajak untuk Perokok Aktif dan Pasif.


Aerin Nizar- Wakil Ketua Pansus Pajak Rokok Sulsel
Perda Pajak Rokok akan segera dibahas dan mendapat persetejuan DPRD Sulsel. Jika hal ini terealisasi sesuai dengan agenda, maka tak lama lagi harga eceran rokok juga akan ikut naik. Semangat dari penetapan Pajak Rokok oleh pemerintah pusat yang kemudian akan dibagikan kepada pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah untuk mengurangi dampak negatif rokok bagi kesehatan, baik itu bagi perokok pasif maupun yang aktif. Serta diharapkan akan terjadi penegakan hukum yang lebih tegas terkait cukai rokok ilegal yang semua kegiatan ini didanai dari Pajak Rokok.

Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk memahami esensi dari Pajak Baru ini yang juga saya tuangkan dalam susunan Pemandangan Umum Fraksi Partai Demokrat Propinsi Sulsel, yang akan dibacakan hari Senin tanggal 10 Juni 2013 esok, sebagai berikut:

Sebagai pemahaman awal, saya ingin menjelaskan 3 pokok latar belakang tentang Pajak Rokok yang merupakan jenis pendapatan baru bagi Propinsi Sulsel:

Pertama, Pajak Rokok yang sementara diusulkan peraturan daerahnya ini merupakan jenis Pendapatan Baru yang akan dinikmati oleh Provinsi Sulsel di tahun 2014. Selama ini, Pemprov. Sulsel telah menikmati 4 (empat) jenis pajak sebagai sumber pendapatan daerah yakni Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan Pajak Air Permukaan. Oleh karena itu Perda Pajak Rokok ini sangat diperlukan dan harus segera dibahas dan ditetapkan karena hanya dapat dipungut setelah Pemprov. memiliki Perda ini.

Kedua, Pajak Rokok Pemprov Sulsel ini diterima berupa pungutan atas cukai rokok sebesar 10% yang dipungut oleh pemerintah bersamaan dengan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan diberikan kepada Pemerintah Provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. Penerimaan Cukai Rokok Nasional mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 2000, dimana telah berada pada angka 84,4 Trilyun di Tahun 2012. Adapun untuk pemanfaatan Pajak Rokok, Pemerintah Pusat mengharapkan agar Pemerintah Provinsi dan Kab/Kota mengalokasikannya paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. 

Ketiga, Potensi penambahan Pendapatan yang akan diterima oleh Pemprov Sulsel dari Pajak Rokok di Tahun 2014 ini adalah sebesar 310,96 Milyar Rupiah yang akan dibagikan sebesar 70% ke Pemerintah Kab/Kota dan 30% untuk Pemerintah Provinsi. Dengan kata lain, Pemprov. Sulsel akan menerima tambahan pendapatan di Tahun 2014 dari Pajak Rokok sebesar 93,288 Milyar Rupiah dan 23 Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulsel akan dibagikan secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk masing-masing daerah sebesar total 217,672 Milyar Rupiah. 

Dari ketiga poin diatas, Fraksi Partai Demokrat dalam Rapat Paripurna mengajukan sejumlah pertanyaan dan harapan Fraksi terkait usulan Ranperda Pajak Rokok ini sebagai berikut:

Pertama, dari jenis Pajak atau Pendapatan Baru untuk Pemprov Sulsel ini, Fraksi Partai Demokrat Sulsel mempertanyakan apakah Pemprov telah siap melakukan sinkronisasi dan penyesuaian teknis alokasi belanja bidang kesehatan yang akan didanai dengan Pajak ini?  Hal ini kami pertanyakan karena seperti dipahami bersama bahwa peruntukan penerimaan ini adalah untuk kesehatan dan penegakan hukum. Jika Pemprov tidak siap dan tidak memiliki aturan teknis tersendiri untuk pemanfaatannya maka dapat dipastikan akan terjadi tumpang tindih anggaran dan belanja untuk bidang kesehatan dan penegakan hukum yang juga telah didanai oleh APBD melalui program-program yang telah berjalan selama ini.

Kedua, Rumah sakit dan puskesmas di Kabupaten dan Kota akan ikut menikmati penerimaan baru dari Pajak Rokok ini karena salah satu peruntukannya adalah untuk pelayanan kesehatan. Fraksi kami ingin mempertanyakan apakah Pemprov telah memiliki rencana atau program pemanfaatan dana ini yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh penderita langsung atau tidak langsung akibat negative dari konsumsi Rokok ini? Karena kami memahami, bahwa semangat dari pengenaan Pajak Rokok terhadap konsumsi rokok adalah untuk mengurangi dampak negative dari rokok yang makin meningkat di Indonesia.

Ketiga, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang juga mulai diterima Sulsel dari Pemerintah Pusat di tahun 2010 yang dicatat sebagai pendapatan daerah adalah sebesar 7,59 Milyar Rupiah, dimana di tahun 2013 ini Sulsel menerima total 11,297 Milyar Rupiah atau 3,389 Milyar untuk APBD Pemprov Sulsel dan akan bertambah lagi di tahun 2014. Dana ini diharapkan dialokasikan untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industry, pembinaan lingkungan social, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang cukai illegal sesuai dengan Permenkeu nomor 84 tahun 2008. Fraksi kami mempertanyakan apakah telah terjadi peningkatan pembinaaan lingkungan social termasuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi pendertita dampak asap rokok di Propinsi ini sesuai dengan Permenkeu yang mengatur Penggunaan CHT ini? Bagaimana dengan penggunaan CHT untuk pembinaan industri rokok local yang salah satunya diharapkan terbentuk kawasan industry hasil tembakau dan pengembangan industry hasil tembakau dengan kadar tar dan nikotin rendah? Mohon penjelasan.

Dari Poin dan pertanyaan diatas, Saya dan Fraksi Partai Demokrat berharap bahwa Pajak Rokok yang akan diterima Provinsi Sulsel akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk Pelayanan Kesehatan dan Penegakan Hukum yang berkaitan langsung dengan dampak negative konsumsi Rokok. Selain pemanfaatan yang tepat bagi penerimaan tambahan ini, Fraksi kami juga berharap adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pemanfaatan Pajak ini serta informasi yang bisa diakses oleh masyarakat maupun stakeholder yang memiliki perhatian dan kepentingan di sector ini. 


Sulsel Akan Berlakukan Perda Rokok

http://www.jarrakonline.com/detail-4188-sulsel-akan-berlakukan-perda-rokok.html
Minggu, 02 Juni 2013 - 09:04:36 WIB
Kategori: Nasional - Dibaca: 23 kali




Makassar (J-Online) - Pecandu rokok di Sulsel harus mulai bersiap merogoh kocek lebih dalam menyusul mulai disusunnya Rancangan Peraturan Daerah Pajak Rokok di Provinsi Sulsel. Ranperda Pajak Rokok ini mulai dibahas di DPRD Sulsel di akhir Mei 2013 dengan terbentuknya Pansus Pajak Rokok dan akan diberlakukan mulai tahun 2014.

Hal tersebut di katakan oleh Wakil Ketua Pansus Pajak Rokok, Aerin Nizar,mengatakan saat ini Pansus Pajak Rokok terbagi menjadi 2 tim kerja untuk memperkaya bahan kajian dan informasi. Salah satu tim saat ini berkonsultasi ke Kementrian Keuangan Ditjen Bea dan Cukai di Jakarta terkait mekanisme penerapan Pajak Rokok ini, dimana akan ada pengenaan pajak sebesar 10% dari cukai tembakau nasional untuk Pajak Rokok.

"Pajak ini merupakan jenis Pajak Baru selain Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Baik Nama, Pajak Air Tanah, dan pajak Bahan Bakar dimana acuannya adalah Pasal 2 angka (1) UU no 28/2009 yang menyebutkan bahwa Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah, perda ini harus segera dibuat agar memiliki payung hukum dalam penerapannya"Jelas Srikandi Partai demokrat itu. 

Ni'Matullah anggota pansus menambahkan selama ini Prov Sulsel telah mendapat porsi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dari Pemerintah Pusat di tahun 2010 adalah sebesar 7,59 milyar atau sebesar 6,79% dari total DBH Cukai Tembakau Nasional.
"Hasil penerimaan Pajak Rokok ini yang menjadi bagian pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota akan dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat termasuk sosialisasi bahaya merokok dan penegakan hukum aturan peredaran rokok ilegal"Tambahnya di gedung DPRD Sulsel Jumat (31/05).

Aerin Nizar kembali memaparkan kalau pajak tersebut apabila diterapkan nanti tidak akan terlalu membebani masyarakat secara umum dimana rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu ada upaya pembatasan konsumsi rokok untuk mengurangi potensi penyebab penyakit bagi pecandu rokok. (Nina Annisa)

Dewan Sulsel Tak Tahu Izin Kadisperindag


Tue,04 June 2013 | 19:20Dibaca oleh 290 Pengunjung

MAKASSAR,FAJAR -- Majunya Kadisperindag Sulsel, Irman Yasin Limpo dalam bursa Pilwalkot menjadi perhatian dewan. Terutama Komis B DPRD Sulsel selaku mitra kerja Disperindag selama ini.

Pasalnya sampai sekarang Komisi yang diketuai Aerin Nizar ini mengaku belum mendapat pemberitahuan resmi terkait izin cuti ataupun pelaksana tugas di Disperindag saat ini. Walau demikian, dia berharap, dalam rapat kerja rutin dengan Disperindag dalam waktu dekat, sudah ada yang bisa mengambil kebijakan di Disperindag.

"Terutama jelang ramadan tentu akan banyak hal yang dibahas dengan Disperindag. Kita berharap sudah ada pelaksana tugas nanti. Saat ini kami tidak tahu soal itu," kata Aerin, Selasa 4 Juni. (nur)

Aerin Nizar Tercatat Sebagai Voluenteer IRI di tahun 2012

Aerin Nizar - Pemateri Dlm Kegiatan IRI di Kamboja
Berbagi Ilmu dan sharing wawasan adalah salah satu hal yang sering dilakoni oleh legislator DPRD Sulsel ini. Menjadi pemateri atau narasumber berbagai even baik itu lokal, nasional maupun internasional sudah menjadi bagian hidup Aerin.

Kegemaran berbagi ilmu dan wawasan sepertinya sudah menjadi nagian keseharian politisi ini karena sebelum terjun ke dunia politik Aerin sempat tercatat sebagai asisten dosen di jurusan Sosek Unhas, almamaternya dan juga sebagai instruktur Bahasa Inggris untuk program persiapan test IELTS dan conversation di salah satu lembaga pendidikan bahasa di Makassar.

Kiprah internasional Aerin juga tercatat sebagai salah seorang Narasumber dalam salah satu even yang digelar oleh IRI atau The International republican Institute di Kamboja Phom Penh beberapa waktu lalu. IRI adalah sebuah lembaga NGO yang didanai USAid yang berkantor pusat di Washington DC Amerika Serikat yang bergerak dibidang politik dan demokrasi.

Saat ini IRI melansir di websitenya Daftar Volunter mereka di tahun 2012 dan nama Aerin Nizar, politisi Partai Demokrat Provinsi Sulawesi Selatan juga ikut tercatat dalama rilis tersebut. Untuk lebih lengkap melihat daftar tersebut silahkan di klik link dibawah ini http://www.iri.org/node/4374. (admin).




PERDA Sistem Perlindungan Anak Sulsel Thn 2013








PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN




PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
NOMOR ....... TAHUN 2013

TENTANG
SISTEM PERLINDUNGAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

Menimbang : a.    bahwa anak adalah Amanah dan Karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, yang secara fisik, psikis, dan sosial masih bergantung pada orang tua/keluarga dan masyarakat;
b.         bahwa anak memiliki hak dasar yang wajib dipenuhi secara komprehensif sehingga perlu diatur dalam suatu sistem perlindungan anak yang akan menciptakan lingkungan proteksi bagi anak dari segala bentuk penelantaran, perlakuan salah, eksploitasi, dan kekerasan melalui upaya pencegahan, deteksi dini, dan penanganan secara terpadu dan berkelanjutan;
c.         bahwa penyelenggaraan perlindungan anak merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah,  masyarakat,  dan keluarga sebagaimana diatur pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak;
d.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan tentang Sistem Perlindungan Anak;

Mengingat    :1.     Undang-Undang Nomor  47 Prp Tahun 1960  tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Utara Tengah (Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  2102) yuncto dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingat I Sulawesi Tenggara dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, Tenggara dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara Tengah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2687);
2.            Undang-Undang Nomor 1 Tahun  1974  tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1);

3.            Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
4.      Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143);
5.              Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
6.            Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
7.       Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
8.       Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
9.           Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor   4720);
10.       Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
11.         Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899);
12.          Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);
13.       Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);
14.          Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
15.          Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5235);
16.          Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248);
17.          Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332);
18.         Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia Nomor 4593);
19.         Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
20.          Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5107) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 44);
21.          Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135);
22.          Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan;
23.          Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan;
24.          Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak;
25.           Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 234);
26.                 Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 235);
27.          Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008-2028 (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 Nomor 10);
28.          Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 244);
29.          Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis Di Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 246);
30.          Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 5 Tahun 2009 tentang Legislasi Daerah Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2479);
31.          Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1 Tahun 2010 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 250);
32.          Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2010 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 251);
33.          Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 2010 tentang Air Susu Ibu Ekslusif (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 256);
34.          Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 2012 tentang Partisipasi Pihak Ketiga Dalam Pembangunan Daerah Di Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012 Nomor 6);
35.          Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesehatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012 Nomor 7);






Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
SULAWESI SELATAN

dan

GUBERNUR SULAWESI SELATAN


MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG SISTEM PERLINDUNGAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1.        Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.        Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
3.        Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kotadi Sulawesi Selatan.
4.        Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Selatan.
5.        Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.
6.        Daerah adalah Provinsi Sulawesi Selatan.
7.        Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD dan  unit kerja adalah SKPD dan unit kerja yang terkait dengan penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
8.        Instansi dan lembaga terkait adalah lembaga vertikal dan lembaga pemerhati anak yang terkait dalam penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
9.        Rencana Aksi Daerah adalah pedoman atau acuan bagi semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan sistem perlindungan anak yang memuat norma, struktur, dan prosedur.
10.     Organisasi masyarakat adalah organisasi yang didirikan dengan sukarela oleh warga Negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan kesamaan tujuan, kepentingan, dan kegiatan, untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
11.     Lembaga Pembinaan Khusus Anak selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya.
12.     Lembaga Penempatan Anak Sementara selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung.
13.     Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
14.     Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak berkebutuhan khusus, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
15.     Sistem perlindungan anak adalah suatu kesatuan perencanaan,  pelaksanaan, evaluasi dan pertanggungjawaban  yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, Instansi dan lembaga yang terkait, masyarakat, keluarga, dan orang tua, dalam penyelenggaraan kesejahteraan anak dan keluarga, peradilan anak, perubahan perilaku, yang didukung oleh data dan informasi serta hukum dan kebijakan, untuk menciptakan lingkungan proteksi agar anak terhindar dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
16.     Intervensi primer adalah semua langkah yang diambil pemerintah untuk mencegah terjadinya segala bentuk tindakan kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran dalam semua situasi kehidupan anak termasuk anak yang berhadapan dengan hukum dan anak dalam situasi darurat.
17.     Intervensi sekunder adalah semua langkah yang diambil pemerintah untuk melakukan pencegahan atau intervensi awal dan deteksi dini atas adanya gejala masalah yang dihadapi anak dan keluarga dalam kondisi rentan terjadinya segala bentuk tindakan kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran dalam semua situasi kehidupan anak termasuk anak yang berhadapan dengan hukum dan anak dalam situasi darurat.
18.     Intervensi tersier adalah semua langkah yang diambil pemerintah dan masyarakat dalam menangani anak yang telah mengalami kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran dalam semua situasi kehidupan anak termasuk anak yang berhadapan dengan hukum dan anak dalam situasi darurat.
19.     Kesejahteraan anak dan keluarga adalah keseluruhan proses untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak dalam pengasuhan, kesejahteraan, perlindungan dan menjamin bimbingan bagi anak mencakup pelayanan yang komprehensif yang berinteraksi dengan layanan lainnya seperti agama, pendidikan, kesehatan dan jaringan pengaman sosial.
20.     Peradilan Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang dimulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
21.     Perubahan perilaku adalah tindakan proaktif dan responsif berupa non verbal atau fisik, keputusan, kebijakan, dan praktik-praktik dari individu, kelompok dan institusi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, orang tua dan keluarga.
22.     Data dan informasi perlindungan anak adalah satu rangkaian proses rutin yang terintegrasi untuk pengumpulan, analisa, dan interpretasi data dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program perlindungan anak.
23.     Hukum adalah seperangkat aturan yang mengatur perilaku sosial dan ditegakkan oleh institusi.
24.     Kebijakan adalah tindakan yang dipilih oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan atau untuk tidak melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
25.     Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
26.     Anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
27.     Anak Berhadapan dengan Hukum selanjutnya disingkat ABH, adalah anak yang melakukan tindak pidana, menjadi korban tindak pidana maupun menjadi saksi dalam tindak pidana.
28.     Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami keterbatasan/ keluarbiasaan, baik fisik, mental, intelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangan dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia dengannya.
29.     Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi adalah anak dari kelompok individu yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk, atau jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk lainnya dari daerah/negara yang bersangkutan dan memiliki karakteristik etnis, agama, maupun bahasa yang berbeda dan secara implisit menampakkan sikap solidaritas yang ditujukan pada pelestarian budaya, tradisi, agama dan bahasa.
30.     Anak dalam situasi darurat adalah anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam dan anak dalam situasi konflik bersenjata.
31.     Anak yang diperdagangkan (trafiking) adalah anak yang direkrut, diangkut, ditampung, dikirim, dipindahkan atau penerimaan seseorang anak dengan cara ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan anak tereksploitasi.
32.     Kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk tindakan/perlakuan menyakitkan secara fisik atau pun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi seksual komersial atau pun eksploitasi lainnya, yang mengakibatkan cidera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang atau martabat anak.
33.     Eksploitasi adalah tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memeroleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.
34.     Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan tetapi tidak terbatas pada kegiatan pelacuran dan pencabulan.
35.     Perlakuan salah adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat-akibatnya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikososial, maupun mental dan mencakup lebih dari satu kategori menurut  dampak yang ditimbulkan baik secara seksual, fisik, maupun mental.
36.     Penelantaran adalah ketidakpedulian orangtua, atau orang yang bertanggung jawab atas anak pada kebutuhan mereka baik fisik maupun psikis seperti pengabaian pada kesehatan anak, pengabaian dan penelantaran pada pendidikan anak, pengabaian pada pengembangan emosi dan spiritual, penelantaran pada pemenuhan gizi, pengabaian pada penyediaan perumahan, dan pengabaian pada kondisi keamanan dan kenyamanan.
37.     Keadilan restoratif adalah suatu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
38.     Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
39.     Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
40.     Orang tua asuh adalah orang tua tunggal atau orang tua selain keluarga yang menerima kewenangan untuk melakukan pengasuhan anak yang bersifat sementara, tidak terikat dalam hubungan pengangkatan anak.
41.     Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
42.     Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.
43.     Masyarakat adalah seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai kelompok, dunia usaha, badan hukum, dan orang perseorangan kecuali orang tua.
44.     Pekerja sosial adalah sumberdaya manusia yang terdiri dari tenaga kesejahteraan sosial, pekerja sosial professional, relawan sosial dan penyuluh sosial.
45.     Pengasuhan adalah upaya untuk  mendapatkan kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan berkelanjutan demi kepentingan terbaik  anak, yang dilaksanakan oleh orang tua atau keluarga atau orang tua asuh, orang tua angkat, wali serta lembaga pengasuhan sebagai alternatif terakhir.   
46.     Pengasuhan alternatif adalah pengasuhan berbasis keluarga yang dilakukan oleh orang tua asuh, wali, orang tua angkat, atau pengasuhan yang berbasis keluarga.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2

Ruang lingkup pengaturan dalam peraturan daerah ini meliputi:
a.      asas, prinsip, dan tujuan;
b.      wewenang Pemerintah Daerah;
c.       kewajiban dan tanggung jawab;
d.      sistem perlindungan anak;
e.      kerjasama;
f.        evaluasi dan pelaporan;
g.       pembiayaan;
h.      koordinasi, pembinaan dan pengawasan; dan
i.        penghargaan;
j.        ketentuan penyidikan;
k.      sanksi;
l.        ketentuan peralihan; dan
m.    ketentuan penutup.

BAB III
ASAS DAN TUJUAN

Bagian Kesatu
Asas

Pasal 3

Sistem perlindungan anak berdasarkan asas:
a.    pencegahan;
b.    penanganan;
c.    keterpaduan;
d.    nondiskriminasi;
e.    keberpihakan pada anak;
f.     aksesibilitas;
g.    proaktif;
h.   integratif;
i.     akuntabilitas; dan
j.     penghargaan terhadap pendapat anak.

Bagian Kedua
Tujuan

Pasal 4

Sistem perlindungan anak bertujuan untuk memperkuat lingkungan proteksi bagi anak dari segala bentuk:
a.    kekerasan;
b.    eksploitasi;
c.    perlakuan salah; dan
d.    penelantaran.

BAB IV
WEWENANG PEMERINTAH DAERAH


Pasal 5

(1)   Pemerintah Daerah  berwenang melakukan:
a.  perencanaan kebijakan dalam penyelenggaraan kesejahteraan dan perlindungan anak;
b.  pelaksanaan kebijakan tentang kesejahteraan dan perlindungan anak;
c.  pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan;
d.  evaluasi kebijakan tentang kesejahteraan dan perlindungan anak;
e.  koordinasi dan fasilitasi dalam penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
f.    pembinaan, pembimbingan, konseling serta pengawasan dalam rangka penyelenggaraan sistem perlindungan anak; dan
g.   pertanggungjawaban pelaksanaan sistem perlindungan anak.

(2)  Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

BAB V
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB

Bagian Kesatu
Kewajiban dan Tanggungjawab Pemerintah Daerah

Pasal 6

(1)  Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggungjawab:
a.    menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan hak-hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dan kesejahteraan dasar, pendidikan dan perlindungan khusus dalam rangka melaksanakan sistem perlindungan anak;
b.    membangun data dan informasi dalam penyelenggaraan sistem perlindungan anak yang meliputi pengumpulan, analisis, dan pemanfaatan data dan informasi;
  1. mengoordinasikan dan memfasilitasi pelaksanaan sistem perlindungan anak antar SKPD/Unit Kerja lingkup Pemerintah Daerah, Instansi, lembaga lain, organisasi masyarakat, serta kelompok kerja lainnya yang terkait dengan perlindungan anak;
  2. melaksanakan intervensi primer, intervensi sekunder, dan intervensi tersier dalam penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
  3. mengembangkan perlindungan anak berbasis keluarga dan komunitas dengan menyediakan dan mengefektifkan tenaga kesejahteraan sosial;
  4. meningkatkan kapasitas pelaksana sistem perlindungan anak pada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
  5. melakukan pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan sistem perlindungan anak yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota;
  6. menyediakan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan sistem perlindungan anak; dan
  7. mengembangkan partisipasi anak sesuai dengan usia dan kematangannya.

(2)  Pemenuhan dan pemajuan hak-hak sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi antara lain:
a.    Akta kelahiran; dan
b.    Kartu Tanda Penduduk bagi anak yang telah berusia 17 tahun.
(3)  Tata cara penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Bagian Kedua
Tanggung Jawab dan Peran Serta Masyarakat

Pasal 7

(1)      Masyarakat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
(2)      Tanggung jawab masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a.      mendukung upaya-upaya pengasuhan untuk tumbuh kembang anak;
b.      menghormati harkat dan  martabat anak;
c.       melindungi dan mencegah, serta tidak membiarkan terjadinya perlakuan salah, penelantaran, eksploitasi dan kekerasan terutama kepada anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus;
d.      melindungi dan mencegah anak berhadapan dengan hukum;
e.      melindungi dan mencegah, serta tidak membiarkan terjadinya pernikahan dini;
f.        menghormati pandangan anak dalam kehidupan masyarakat dan lingkungannya; dan
g.       menghindarkan keterpisahan anak dari keluarga.

Pasal 8

(1)    Masyarakat berhak berperan serta seluas-luasnya dalam penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
(2)    Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a.    keterlibatan dalam musyawarah mufakat untuk terciptanya keadilan restorasi bagi anak yang berhadapan dengan hukum melalui jalur informal dan dilaksanakan pada tingkat Pemerintahan Desa/Kelurahan;
b.    melakukan promosi tentang perlindungan anak sebagai upaya penyadaran sikap dan perilaku sosial masyarakat untuk perlindungan anak;
c.    mengidentifikasi/deteksi dini terhadap anak yang rentan mengalami kekerasan, eksploitasi, perlakukan salah, dan penelantaran, termasuk anak berhadapan dengan hukum dan anak dalam situasi darurat;
d.    mediasi dan bimbingan bagi keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, konflik rumah tangga, dan perceraian; dan
e.    menyediakan dana dan atau barang dan atau jasa sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosial dalam rangka pelaksanaan sistem perlindungan anak.
(3)    Untuk mendorong pemenuhan tanggungjawab dan hak peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) dan pada ayat (2) pasal ini, Pemerintah Daerah melakukan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, serta monitoring dan evaluasi.
(4)    Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Bagian Ketiga
Tanggungjawab Orang Tua

Pasal 9

(1)    Orang tua bertanggung jawab mendukung penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
(2)    Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a.      mengasuh, memelihara, dan melindungi anak;
b.      menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c.      menghormati harkat dan martabat anak;
d.      melindungi dan mencegah, serta tidak membiarkan terjadinya perlakuan salah, penelantaran, eksploitasi dan kekerasan terutama kepada anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus;
e.      melindungi dan mencegah anak berhadapan dengan hukum;
f.       melindungi dan mencegah, serta tidak membiarkan terjadinya pernikahan dini;
g.      menghormati pandangan anak dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan lingkungannya;
h.     memberikan dukungan ekonomi, sosial, pendidikan dan kesehatan, serta mental dan spiritual; dan
i.        menghindarkan keterpisahan anak dari keluarga.
(3)      Untuk mendorong pemenuhan tanggungjawab orangtua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi dan fasilitasi.
(4)      Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

BAB VI
SISTEM PERLINDUNGAN ANAK

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 10

(1)    Sistem perlindungan anak terdiri atas:
a. kesejahteraan anak dan keluarga;
b. dukungan intervensi dan fasilitasi peradilan anak; dan
c.  perubahan perilaku.
(2)    Penyelenggaraan sistem perlindungan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didukung  data dan informasi;
(3)    Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam rangka menentukan bentuk intervensi dan/atau kebijakan.

Pasal 11

(1)    Penyelenggaraan sistem perlindungan anak dapat dilakukan melalui:
a.    intervensi primer;
b.    intervensi sekunder; dan
c.     intervensi tersier.
(2)    Tata cara penyelenggaraan intervensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Bagian Kedua
Kesejahteraan Sosial Anak dan Keluarga

Paragraf 1
Intervensi Primer

Pasal 12

(1)    Intervensi primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, meliputi:
a. promosi;
b. penguatan; dan
c.  peningkatan kapasitas perlindungan anak.
(2)    Promosi, penguatan dan peningkatan kapasitas perlindungan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a.    komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang hak dan perlindungan anak;
b.    pengembangan dan penguatan pengasuhan keluarga dan pengasuhan alternatif untuk menghormati harkat dan martabat anak; dan
c.    peningkatan kapasitas bagi orang tua, keluarga dan masyarakat tentang pencegahan perlakuan salah, penelantaran, eksploitasi dan kekerasan pada anak.
(3)   Intervensi primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a.                    Gubernur melalui SKPD/Unit Kerja terkait; dan
b.                    Bupati/Walikota melalui SKPD/Unit Kerja terkait.
(4)    SKPD/Unit Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri atas SKPD/Unit Kerja  yang membidangi:
a.      perencanaan pembangunan daerah;
b.      pendidikan;
c.      kesehatan;
d.      pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
e.      sosial;
f.       tenaga kerja;
g.      penanggulangan bencana;
h.     pemberdayaan masyarakat;
i.       mental dan spiritual;
j.       NAPZA dan HIV/AIDS;
k.      kesejahteraan rakyat;
l.       pariwisata;
m.    pertanian;
n.     peternakan;
o.      perikanan;
p.      pertambangan;
q.      perkebunan;
r.       perindustrian dan perdagangan; dan
s.      koperasi dan UKM.  
(5)   Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4), intervensi primer juga dapat dilakukan oleh instansi dan lembaga lain yang terkait.
(6)   Dalam penyelenggaraan intervensi primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melibatkan orang tua, keluarga, dan masyarakat.  
(7)   Intervensi primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara sistematis dan integratif, dengan berpedoman pada Rencana Aksi Daerah.
(8)   Rencana Aksi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Paragraf 2
Intervensi sekunder

Pasal 13

(1)    Intervensi sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, meliputi:
a. identifikasi dan/atau deteksi dini terhadap anak yang berasal dari keluarga rentan;
b. mediasi dan konseling bagi keluarga rentan;
c.  fasilitasi peningkatan keterampilan dalam mendidik dan melindungi anak bagi keluarga  rentan;
d. layanan dukungan keluarga;
e. perlindungan dan perawatan anak dalam situasi darurat;
f.   menghindarkan keterpisahan anak dari keluarga kecuali dalam kasus yang dengan jelas bertentangan dengan kepentingan terbaik anak;
g.  pengalihan pengasuhan anak dari keluarga inti mengutamakan pengasuhan dalam keluarga lain/pengganti dan pengasuhan pada lembaga kesejahteraan sosial anak sebagai alternatif terakhir.
(2)   Intervensi sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a.         Gubernur melalui SKPD/unit kerja terkait; dan
b.         Bupati/Walikota melalui SKPD/unit kerja terkait.
(3)   SKPD/Unit Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas SKPD/Unit Kerja yang membidangi:
a.      pendidikan;
b.      kesehatan;
c.      pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
d.      sosial;
e.      tenaga kerja;
f.       penanggulangan bencana;
g.      pemberdayaan masyarakat;
h.     mental dan spiritual;
i.       pertanian;
j.       peternakan;
k.      perikanan;
l.       perkebunan;
m.    pertambangan;
n.     perindustrian dan perdagangan; dan
o.      koperasi dan UKM. 
(4)   Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3), intervensi sekunder juga dapat dilakukan oleh instansi dan lembaga lain yang terkait.
(5)    Dalam penyelenggaraan intervensi sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melibatkan orang tua, keluarga, dan masyarakat. 
(6)   Intervensi sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara sistematis dan integratif, dengan berpedoman pada Rencana Aksi Daerah.
(7)   Rencana Aksi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Paragraf 3
Intervensi Tersier

Pasal 14

(1)    Intervensi tersier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c,  meliputi:  
a.    penanganan kasus yang dilakukan melalui sistem terpadu satu atap atau sistem rujukan;
b.    reunifikasi keluarga, reintegrasi sosial, dan rehabilitasi dilakukan berdasarkan kepentingan terbaik anak;
c.    pemantauan terhadap perkembangan kemajuan penanganan kasus anak; dan
d.    layanan dukungan keluarga.
(2)    Dalam melaksanakan intervensi tersier sebagaimana  dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyiapkan:
a.    tempat pengaduan;
b.    tempat layanan rujukan; dan
c.    tempat perlindungan sementara;
(3)    Pelayanan perlindungan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan berdasarkan standar operasional prosedur tempat perlindungan sementara.
(4)   Intervensi tersier sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a.                    Gubernur melalui SKPD/unit kerja terkait;
b.                    Bupati/Walikota melalui SKPD/unit kerja terkait; dan
c.                    Masyarakat.
(5)  SKPD/unit kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, terdiri atas SKPD/Unit Kerja yang membidangi:
a.    pendidikan;
b.    kesehatan;
c.    pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
d.    sosial;
e.    tenaga kerja;
f.     penanggulangan bencana;
g.    pemberdayaan masyarakat;
h.   mental dan spiritual;
i.     Napza dan HIV/AIDS;
j.     pertanian;
k.    peternakan;
l.     perikanan;
m.  perindustrian dan perdagangan; dan
n.   koperasi dan UKM. 
(6)  Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5), intervensi tersier juga dapat dilakukan oleh instansi dan lembaga lain yang terkait.
(7)  Dalam penyelenggaraan intervensi tersier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan orang tua, dan keluarga. 
(8)  Intervensi tersier sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara sistematis dan integratif, dengan berpedoman pada Rencana Aksi Daerah.
(9)  Rencana Aksi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (8), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Bagian Ketiga
Dukungan Intervensi dan Fasilitasi Dalam Peradilan Anak

Paragraf 1
Intervensi Primer

Pasal 15

(1)  Intervensi primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, meliputi:
a.    peningkatan kapasitas aparat dan masyarakat; dan
b.    pencegahan anak agar tidak terlibat dalam masalah hukum.
(2)  Peningkatan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dalam bentuk:
a.    seminar;
b.    pendidikan;
c.    pelatihan;
d.                                                          workshop; dan
e.    lokakarya.


(3)  Peningkatan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan di bidang:
a.    instrumen hak dan perlindungan anak;
b.    anak berhadapan dengan hukum;
c.    perkembangan dan psikologi anak;
d.    kesetaraan dan keadilan gender; serta
e.    diversi dan keadilan restorasi;
(4)  Materi peningkatan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
(5)  Intervensi primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a.                      Gubernur melalui SKPD/Unit Kerja terkait; dan
b.                                 Bupati/Walikota melalui SKPD/Unit Kerja terkait.
(6)  SKPD/Unit Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, terdiri atas SKPD/Unit Kerja yang membidangi:
a.    pendidikan;
b.    kesehatan;
c.    pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
d.    sosial;
e.    tenaga kerja;
f.     pemberdayaan masyarakat;
g.    mental dan spiritual;
h.   Napza dan HIV/AIDS; dan
i.     hukum dan HAM.
(7)   Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6), intervensi primer juga dapat dilakukan oleh instansi dan lembaga lain yang terkait.
(8)   Dalam penyelenggaraan intervensi primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melibatkan orang tua, keluarga, dan masyarakat. 
(9)   Intervensi primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara sistematis dan integratif, dengan berpedoman pada Rencana Aksi Daerah.
(10) Rencana Aksi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Paragraf 2
Intervensi Sekunder

Pasal 16

(1)  Intervensi sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, meliputi:
a.    deteksi dini dan pengurangan resiko pada wilayah-wilayah yang rawan terjadi tindak pidana anak.
b.    peningkatan efektifitas pencegahan agar anak tidak terlibat dengan masalah hukum pada wilayah-wilayah rawan.
(2)  Intervensi sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a.    Gubernur melalui SKPD/Unit Kerja terkait; dan
b.    Bupati/Walikota melalui SKPD/Unit Kerja terkait.
(3)  SKPD/Unit Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas SKPD/Unit Kerja  yang membidangi:
b.    pendidikan;
c.    kesehatan;
d.    pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
e.    sosial;
f.     pemberdayaan masyarakat;
g.    pertanian;
h.   peternakan;
i.     perikanan;
j.     perindustrian dan perdagangan;  
k.    koperasi dan UKM; 
l.     mental dan spiritual;
m.  Napza dan HIV/AIDS; dan
n.   hukum dan HAM.
(4)  Selain SKPD/Unit Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (3), intervensi sekunder juga dapat dilakukan oleh instansi dan lembaga lain yang terkait.
(5)  Dalam penyelenggaraan intervensi sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berkoordinasi dan bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan melibatkan  orang tua, keluarga, serta masyarakat.
(6)  Intervensi sekunder sebagaimana dimaksud ayat (1), dilakukan secara sistematis dan integratif, dengan berpedoman pada Rencana Aksi Daerah.
(7)  Rencana Aksi Daerah sebagaimana dimaksud ayat (6), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Paragraf 3
Intervensi Tersier

Pasal 17

(1)  Intervensi tersier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, meliputi:
a.    mengutamakan penyelesaian secara diversi bagi anak berhadapan hukum sebagai pelaku; dan
b.    kewajiban membangun lingkungan proteksi bagi anak berhadapan hukum dalam sistem peradilan formal. 
(2)  Penyelesaian secara diversi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, menekankan pada:
a.            kepentingan terbaik anak melalui keadilan restorative;
b.            rehabilitasi;
c.             pembinaan; dan
d.             pemulihan  hubungan baik antara pelaku, korban  dan masyarakat. 
(3)  Membangun lingkungan proteksi dalam sistem peradilan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, menggunakan prosedur ramah anak dan responsif gender.
(4)  Intervensi tersier sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan instansi penegak hukum berkoordinasi dan bekerjasama dengan SKPD/Unit Kerja terkait, dan masyarakat.
(5)  SKPD/Unit Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4), terdiri atas SKPD/Unit Kerja  yang membidangi:
  1. pendidikan;
  2. kesehatan;
  3. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
  4. sosial;
  5. mental dan spiritual; dan
  6. hukum dan HAM.
(6)  Selain SKPD/Unit Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (5), intervensi tersier juga dapat dilakukan oleh lembaga lain yang terkait, dengan melibatkan  orang tua, dan keluarga.




Paragraf 4
Fasilitasi

Pasal 18

(1)    Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mendukung:
a.    penyediaan layanan bantuan hukum secara cuma-cuma;
b.    penyediaan layanan bantuan pendidikan secara cuma-cuma;
c.    penyediaan layanan bantuan kesehatan secara cuma-cuma;
d.    penempatan anak yang sedang menjalani proses peradilan pada LPAS yang tersedia dan telah disediakan oleh Pemerintah; dan
e.    penempatan anak yang menjalani masa pemidanaan pada LPKA yang tersedia dan telah disediakan oleh Pemerintah.
(2)    Penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan bantuan pembiayaan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
(3)    Penyelenggaraan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh SKPD/Unit Kerja yang membidangi masing-masing:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c.  pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
d. sosial;
e. mental dan spiritual; dan
f.   hukum dan HAM.
(4)   Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyediaan layanan juga dapat dilakukan oleh instansi dan lembaga lain yang terkait.
(5)    LPAS dan LPKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e, belum tersedia maka penyediaan layanan dapat difasilitasi oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
(6)    Tata cara penyelenggaraan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.    

Bagian Keempat
Perubahan Perilaku

Pasal 19

(1)    Perubahan perilaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c, meliputi:
a.    perubahan cara berfikir;
b.    perubahan cara bersikap; dan
c.  perubahan cara bertindak. 
(2)    Perubahan perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a. Gubernur melalui seluruh SKPD/Unit Kerja; dan
b.  Bupati/Walikota melalui seluruh SKPD/Unit Kerja.
(3)    Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, perubahan perilaku juga dapat dilakukan oleh seluruh instansi dan lembaga lain yang terkait, dengan melibatkan masyarakat, keluarga, orang tua, dan anak.
(4)    Perubahan perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan mempertimbangkan budaya dan nilai-nilai positif masyarakat Sulawesi Selatan.
(5)    Perubahan perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terintegrasi ke dalam setiap intervensi primer, sekunder dan tersier.
(6)    Tata cara integrasi perubahan perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.    

Bagian Kelima
Data Dan Informasi

Pasal 20

(1)  Data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), tentang:
a.    prevalensi faktor resiko;
b.    prevalensi kasus;
c.    cakupan kasus; dan
d.    evaluasi program dan layanan.
(2)  Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan untuk:
a.  menentukan bentuk intervensi primer, sekunder, dan tersier yang akan dilakukan;
b.  memberi kejelasan tentang penyebab, karakteristik, dan kecenderungan, permasalahan perlindungan anak;
c.  perencanaan kebijakan dan program perlindungan anak;
d.  pengalokasian anggaran untuk program perlindungan anak; dan
e.  monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program perlindungan anak.
(3) Penyusunan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a.  SKPD/Unit Kerja terkait tingkat provinsi; dan
b.  SKPD/Unit Kerja terkait tingkat kabupaten/kota.
(4) Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, penyusunan data dan informasi juga dapat dilakukan oleh seluruh instansi dan lembaga lain yang terkait, dengan melibatkan masyarakat, keluarga, orang tua, dan anak.
(5)  Penyusunan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menggunakan perangkat teknologi informasi.
(6)  Pengolahan data dan informasi dalam penyelenggaraan sistem perlindungan anak secara teknis dikoordinasikan oleh SKPD/Unit Kerja yang membidangi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
(7)  Tata cara penyusunan serta pengkoordinasian data dan informasi perlindungan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Pasal 21

(1)  Masyarakat berhak memeroleh akses layanan informasi tentang penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
(2)  Layanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diakses pada SKPD/Unit Kerja, instansi dan lembaga lain yang terkait.
(3)  Publikasi data dan informasi dapat melalui media cetak dan elektronik.
(4)  Masyarakat yang tidak mendapatkan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat melaporkan kepada lembaga atau instansi yang membidangi pengaduan pelayanan publik.





BAB VII
Kerjasama

Pasal 22

(1)    Penyelenggaraan sistem perlindungan anak dapat dilakukan melalui bentuk kerjasama.
(2)    Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan oleh dan antar:
a.    Pemerintah Pusat;
b.    Pemerintah Provinsi;
c.    Pemerintah Kabupaten/Kota;
d.    Organisasi Masyarakat;
e.    Dunia usaha;
f.     Kepolisian;
g.    Kejaksaan;
h.   Kehakiman;
i.     Pengadilan;
j.     Lembaga Keagamaan;
k.    BAPAS;
l.     LPAS;
m.  LPKA; dan
n.   Perguruan Tinggi.
(3)    Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didasarkan pada perjanjian kerjasama.
(4)    Perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memuat sekurang-kurangnya:
a. Pembiayaan penyelenggaraan sistem perlindungan anak; dan
b.  Penyediaan fasilitas penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
(5)    Ketentuan lebih lanjut tentang kerjasama penyelenggaran sistem perlindungan anak diatur dan disetujui bersama oleh masing-masing pihak.

BAB VIII
EVALUASI DAN PELAPORAN

Pasal 23

(1)    Evaluasi atas penyelenggaraan sistem perlindungan anak dilakukan untuk  mengukur tingkat pencapaian penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
(2)    Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui  rapat koordinasi dan konsolidasi.
(3)    Rapat koordinasi dan konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan  paling sedikit  2 (dua) kali setiap tahun.
(4)    Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a. Gubernur melalui SKPD/Unit Kerja terkait; dan
b. Bupati/Walikota melalui SKPD/Unit Kerja terkait.
(5)    Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, secara teknis dikoordinasikan oleh SKPD/Unit Kerja yang membidangi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
(6)    Tata cara evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Pasal 24

(1)    Capaian penyelenggaraan sistem perlindungan anak:
a.     Tingkat Kabupaten/Kota dilaporkan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur; dan
b.     Tingkat Provinsi dilaporkan oleh Gubernur kepada Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
(2)    Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali setiap 3 (tiga) bulan.
(3)    Capaian penyelenggaraan sistem perlindungan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diakses oleh masyarakat.
(4)    Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), secara teknis dikoordinasikan oleh SKPD/Unit Kerja yang membidangi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
(5)    Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur

BAB IX
PEMBIAYAAN

Pasal 25

(1)  Biaya penyelenggaraan sistem perlindungan anak bersumber dari:
a.    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi;
b.                                                          Anggara Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota; dan
c.    Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.
(2)   Biaya penyelenggaraan sistem perlindungan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, didasarkan pada:
a.          Kemampuan keuangan daerah;
b.  Nota Kesepahaman antar Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(3)  SKPD/Unit Kerja, instansi dan lembaga lain yang terkait dengan penyelenggaraan sistem perlindungan anak wajib mengelola dan mempertanggungjawabkan anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak.

BAB X
KOORDINASI, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu
Koordinasi

Pasal 26

(1)  Koordinasi penyelenggaraan sistem perlindungan anak dimaksudkan untuk menciptakan:
a.    Efisiensi; dan
b.    Efektivitas.
(2)  Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh:
  1. Gubernur melalui seluruh SKPD/Unit Kerja;
  2. Bupati/Walikota melalui seluruh SKPD/Unit Kerja;
  3. Instansi dan lembaga lain;
  4. Organisasi Masyarakat; dan
  5. Kelompok kerja lainnya.
(3)  Tata cara pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
Bagian Kedua
Pembinaan

Pasal 27

(1)  Pembinaan dalam penyelenggaraan sistem perlindungan anak dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas intervensi dalam kesejahteraan anak dan keluarga, peradilan anak, maupun upaya-upaya perubahan perilaku.
(2)  Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a.    Gubernur melalui seluruh SKPD/Unit Kerja; dan
b.    Bupati/Walikota melalui seluruh SKPD/Unit Kerja.
(3)  Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, pembinaan juga dapat dilakukan oleh instansi dan lembaga lain, dengan melibatkan masyarakat, keluarga, orang tua, dan anak.
(4)  Tata cara pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Bagian Ketiga
Pengawasan

Pasal 28

(1)  Pengawasan dalam sistem perlindungan anak dimaksudkan agar penyelenggaraan intervensi dalam kesejahteraan anak dan keluarga, peradilan anak, dan perubahan perilaku, telah berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
(2)  Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a.    Gubernur melalui SKPD/Unit Kerja; dan
b.    Bupati/Walikota melalui SKPD/Unit Kerja.
(3)  Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan oleh SKPD/Unit Kerja yang membidangi pengawasan.
(4)  Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengawasan juga dapat dilakukan oleh instansi dan lembaga lain yang terkait, masyarakat, keluarga, orang tua, dan anak.
(5)  Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

BAB XI
PENGHARGAAN

Pasal 29
(1)    Masyarakat, dan/atau lembaga yang secara nyata memberikan kontribusi dalam penyelenggaraan sistem perlindungan anak dapat diberikan penghargaan.
(2)    Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa :
a.  Piagam; dan/atau
b.  Bentuk lain.
(3)    Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan oleh Gubernur dan/atau Bupati/Walikota.
(4)    Tata cara pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.



BAB XII
KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 30

(1)    Selain Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang perlindungan anak, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)    Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan pengelolaan anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
b.  melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan pengelolaan anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
c.  memanggil dan/atau mendatangkan secara paksa orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana atas kegiatan pengelolaan anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
d.  menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan pengelolaan anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
e.  melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan pengelolaan anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
f.   menyegel dan/atau menyita alat kegiatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan pengelolaan anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak sebagai alat bukti; dan/atau
g.  mendatangkan dan/atau meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan pengelolaan anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak;

Pasal 31

(1)   Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dapat membantu mengamankan pelaku tindak pidana dalam kegiatan pengelolaan anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
(2)   Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulai penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku;
(3)   Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menghentikan penyidikannya dalam hal tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana; dan
(4)   Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.


BAB XIII
SANKSI

Bagian Kesatu
Sanksi Administrasi

Pasal 32

(1)  Gubernur, Bupati atau Walikota sesuai kewenangannya, dapat memberikan sanksi administrasi kepada:
a.    SKPD/Unit Kerja yang terkait dengan penyelenggaraan sistem perlindungan anak; dan
b.    Instansi dan lembaga lain yang terkait dengan penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
(2)  Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa:
a.    peringatan lisan; dan/atau
b.    peringatan tertulis.
(3)  Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa:
a.    peringatan tertulis;
b.    penghentian sementara dari kegiatan;
c.    pemutusan kerjasama;
d.    pencabutan surat keterangan terdaftar;
e.    pencabutan ijin operasional;
f.     penarikan fasilitas; dan/atau
g.    pengenaan denda.  
(4)   Penerapan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dilakukan secara berjenjang sesuai kualifikasi dan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
(5)    Tata cara pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Bagian Kedua
Sanksi Pidana

Pasal 33

(1)    Setiap orang dan badan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), dikenakan sanksi berupa denda paling banyak Rp.50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) atau pidana kurungan paling lama 6 (Enam) bulan.
(2)    Dalam hal perbuatan pidana yang dilakukan dikualifikasikan sebagai kejahatan, maka dikenakan sanksi pidana dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 34

(1)  Paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Peraturan Daerah ini Pemerintah Kabupaten/Kota menindaklanjuti secara selaras dalam bentuk pengaturan untuk penyelenggaraan sistem perlindungan anak di daerah masing-masing.
(2)  Dalam hal Kabupaten/Kota yang telah membentuk Peraturan Daerah Tentang Perlindungan Anak, maka dilakukan penyesuaian atas substansi pengaturan dan keselarasannya paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Peraturan Daerah ini.  

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35

Gubernur dalam menyelenggarakan koordinasi, pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, pasal 27, dan pasal 28, dilakukan baik dalam kedudukannya sebagai Kepala Daerah maupun sebagai Wakil Pemerintah di Daerah.

Pasal 36

Peraturan Gubernur tentang pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Peraturan Daerah ini.

Pasal 37

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

Ditetapkan di Makassar
pada tanggal         Maret 2013.

GUBERNUR SULAWESI SELATAN,



SYAHRUL YASIN LIMPO


Diundangkan di Makassar
pada tanggal         Maret 2013.

SEKRETARIS DAERAH
PROVINSI SULAWESI SELATAN,



A. MUALLIM



LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2013 NOMOR





LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2012 NOMOR ...
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
NOMOR........TAHUN…..
TENTANG
SISTEM PERLINDUNGAN ANAK

I.   UMUM

Anak adalah Amanah dan Karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, dan belum matang secara fisik, mental, seksual, moral, spiritual dan sosial, sehingga secara sosial-budaya anak tidak hanya bergantung pada orang tua/keluarga juga pada sistem yang berlaku di masyarakat. Sebagai manusia, anak memiliki hak asasi yang harus dihormati, dipromosikan, dipenuhi, dan dilindungi.

Sebagai tunas yang potensial dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, anak memiliki ciri dan sifat khusus serta peran strategis yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan eksistensi bangsa dan negara di masa depan.

Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Oleh karena itu, promosi, penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan anak mutlak diwujudkan oleh negara agar anak tumbuh dan berkembang secara wajar, serta mendapat perlindungan yang memadai dari negara.

Perlindungan anak merupakan salah satu urusan wajib Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Karena itu, Pemerintah Daerah perlu mengembangan sistem perlindungan anak yang efektif untuk menjamin semua anak berada dalam lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangannya.

Dalam rangka mewujudkan Visi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008-2013 menjadi sepuluh provinsi terbaik dalam pemenuhan hak dasar termasuk hak dasar anak, dimana perlindungan anak yang efektif harus menggunakan pendekatan sistem guna menciptakan lingkungan yang protektif untuk melindungi anak-anak dari  segala bentuk kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran, termasuk anak berhadapan dengan hukum dan anak dalam situasi darurat. Sistem perlindungan anak terdiri dari tiga komponen utama yang saling terkait yaitu kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga, peradilan anak, dan perubahan perilaku sosial. Ketiga komponen tersebut didasarkan pada hukum dan kebijakan dan didukung dengan data dan informasi.

Peraturan Daerah ini mengatur sistem perlindungan anak dengan menekankan pada komponen sistem kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga, peradilan anak, dan data dan informasi. Sistem kesejahteraan sosial dan anak dititikberatkan pada intervensi primer, intervensi sekunder, dan intervensi tersier. Peradilan anak menekankan diversi dan keadilan restoratif dengan menguatkan peran masyarakat dalam melakukan advokasi terhadap aparat penegak hukum dan memfasilitasi penyelesaian kasus anak berhadapan dengan hukum secara musyawarah dan mufakat. Sedangkan data dan informasi menitikberatkan pada pengumpulan data secara terstruktur dan pemanfaatan data dan informasi untuk pembuatan kebijakan, perencanaan, penganggaran, dan monitoring-evaluasi perlindungan anak.

Pelaksanaan perlindungan anak dengan menggunakan pendekatan sistem merupakan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, di dalamnya termasuk memperkuat orangtua, keluarga, dan masyarakat untuk bertanggungjawab dan berperan dalam perlindungan anak.

II.  PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
         Cukup Jelas
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud pencegahan adalah penciptaan kondisi untuk menghindarkan anak dari hal yang memungkinkan terjadinya kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran.
Huruf b
Yang dimaksud penanganan adalah upaya yang dilakukan secara langsung untuk menyelesaikan permasalahan yang  terkait dengan kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran.
         Huruf c
Yang dimaksud keterpaduan adalah pelibatan semua pihak yang terkait dengan sistem perlindungan anak
Huruf d
Yang dimaksud nondiskriminasi adalah tidak memandang ras, warna kulit, jenis kelamin,bahasa agama, pandangan politik, asal usul bangsa, suku bangsa atau sosial, harta kekayaan, disabilitas, kelahiran atau status lain dari anak atau dari orang tua anak atau walinya yang sah menurut hukum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan  keberpihakan pada anak adalah semua  tindakan yang menyangkut anak, yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama antara lain menjamin kerahasiaan, beretika, menghargai martabat dan pandangan anak, pemenuhan seluruh hak anak secara holistik dan terintegrasi
Huruf f
Yang dimaksud dengan aksesibilitas adalah ukuran kemudahan yang meliputi waktu, biaya dan lokasi dengan jarak tempuh yang terjangkau
Huruf g
Yang dimaksud dengan  proaktif adalah  dorongan atau motivasi diri untuk melakukan tindakan nyata yang didasarkan atas tingkat intelegensi, keberanian dan kekuatan diri untuk mencapai tujuan
Huruf h
Yang dimaksud dengan integratif adalah keterpaduan hubungan  antar dan lintas pemangku kepentingan baik prinsip dan mekanisme kerja yang ada
         Huruf i
Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah seluruh pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus mempertanggung jawabkan hasil kerja kepada masyarakat;


         Huruf j
Yang dimaksud dengan penghargaan terhadap pendapat anak adalah mendengarkan dan menghargai kemampuan anak untuk menyatakan secara bebas pandangannya mengenai semua hal yang menyangkut dirinya, dengan bobot dan nilai sesuai dengan usia dan kematangannya. 

Pasal 4
Yang dimaksud dengan lingkungan proteksi adalah tatanan yang terbangun atas komitmen dan kerjasama berbagai pemangku kepentingan untuk mendorong adanya kebijakan pemerintah, kesadaran masyarakat, layanan pencegahaan dan penanganan, mengembangkan keterampilan hidup anak, menyediakan ruang partisipasi anak, monitoring dan pelaporan  untuk menciptakan pemerintahan yang memperhatikan hak dan perlindungan anak dengan mewujudkan aturan-aturan.    

Perlakuan salah, penelantaran, eksploitasi dan kekerasan bisa dialami sebagian atau seluruhnya pada anak yang rentan antara lain:
Anak terlantar yaitu anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial;
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar;
Anak yang memiliki keunggulan yaitu anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa;
Anak angkat yaitu anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan; dan
Anak asuh yaitu anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.

Pasal 5
         Ayat (1)      
Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
                  Huruf f
                           Cukup jelas
                  Huruf g
                           Cukup jelas
Ayat (2)
                  Cukup jelas
        
Pasal 6
         Ayat (1)
                  Huruf a
Yang dimaksud menghormati (to respect) adalah tidak diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang melanggar hak asasi (misalnya  perlakuan kekerasan terhadap anak dalam tahanan);
Yang dimaksud melindungi (to protect) adalah melindungi setiap warga negara dari aktor-aktor non-negara (misalnya Negara harus mengadopsi undang-undang dan kebijakan untuk melindungi setiap individu dengan mengkriminalisasi perilaku yang melanggar hak-asasi manusia);
Yang dimaksud memenuhi (to fulfill) adalah Negara harus mengambil tindakan untuk memenuhi hak-hak anak dan hal tersebut tidak bisa terlaksana tanpa intervensi negara (misalnya alokasi anggaran, membangun sekolah, rumah sakit);
Yang dimaksud memajukan (to promote)  adalah langkah awal dalam mempromosikan pemenuhan hak-hak anak (misalnya melakukan pelatihan dan kampanye sosialisasi perlindungan di masyarakat);
         Yang dimaksud dengan hak sipil dan kebebasan adalah kewajiban negara dalam memenuhi hak-hak anak khususnya Hak anak atas akte kelahiran, nama,  kebangsaan, mengetahui dan diasuh orang tuanya. Hak anak atas Identitas: Hak Kewarganegaraan, Nama dan Hubungan keluarga, mendapatkan bantuan dan perlindungan untuk memulihkan identitas anak (Jika identitas tersebut direnggut);
         Yang dimaksud hak atas lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif adalah negara menjamin pengasuhan anak secara berkesinambungan sehingga anak tetap memperoleh hak pengasuhan dan tidak terlantar;
         Yang dimaksud hak kesehatan dan kesejahteraan dasar adalah negara berkewajiban mengakui hak-hak Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk menikmati secara penuh atas kehidupannya, menghormati martabat, meningkatkan rasa percaya diri dan  partisipasi aktif ABK di dalam masyarakat;  Hak anak berkebutuhan khusus atas perawatan khusus serta menjamin tersedianya kebutuhan khusus ABK yang  Gratis, Pendidikan, Pelatihan, Pelayanan kesehatan,  Pelayanan rehabilitasi, Persiapan kerja, Kesempatan rekreasi dan Kerjasama internasional bagi anak berkebutuhan khusus;
Kewajiban negara untuk memenuhi Hak anak untuk menikmati standard kesehatan yang tertinggi, Menjamin akses kesehatan tak tercabut dan  Implementasi sepenuhnya atas hak ini khususnya untuk mengurangi angka kematian bayi dan anak, menjamin bantuan medis dan kesehatan (pelayanan kesehatan dasar) Memerangi penyakit dan malnutrisi, menjamin perawatan kesehatan bagi para ibu ketika sebelum dan sesudah melahirkan, menjamin pendidikan kesehatan bagi masyarakat untuk melakukan langkah preventif, bimbingan dan pelayanan KB dan orangtua serta kerjasama internasional;
Yang dimaksud hak pendidikan adalah Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/kota menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Selain itu, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota mendorong pendidikan menengah umum dan kejururan serta mempermudah akses bagi setiap anak, mempermudah akses ke pendidikan yang lebih tinggi dengan penyediaan fasilitas yang memadai, menyediakan informasi dan panduan tentang pendidikan dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadiran di sekolah dan penurunan tingkat putus sekolah;
Yang dimaksud perlindungan khusus adalah kewajiban negara memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalagunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak yang menjadi korban penularan HIV/AIDS, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak berkebutuhan khusus dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
Yang dimaksud kelompok kerja adalah kelompok-kelompok kerja atau gugus tugas yang dibentuk oleh pemerintah daerah dan pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan program atau kegiatan-kegiatan perlindungan anak, seperti Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), Pusat Krisis Terpadu (PKT) yang berbasis Rumah Sakit, atau Puskesmas, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) yang berbasis di Kepolisian, Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) pada Dinas Sosial, BP4 dan lembaga-lembaga keumatan lainnya, Kejaksaan dan Pengadilan, Satuan Tugas Pelayanan Warga pada Perwakilan RI di luar negeri, Women Crisis Center (WCC), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan Hukum (KPRS-ABH), dan lembaga sejenis lainnya, dan layanan ini dapat berbentuk satu atap (one stop crisis center) atau berbentuk jejaring, tergantung kebutuhan di masing-masing daerah.
Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e
Yang dimaksud dengan tenaga kesejahteraan sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial anak.
Huruf f
Yang dimaksud pelaksana sistem perlindungan anak adalah penyelenggara pemerintahan di daerah dan kabupaten/kota, instansi, lembaga yang terkait dengan perlindungan anak, orang tua, dan masyarakat
                  Huruf g
                           Cukup jelas
                  Huruf h
Yang dimaksud sarana dan prasarana adalah termasuk menyediakan tempat pengaduan, tempat layanan rujukan, tempat perlindungan sementara, pengasuhan alternatif, dengan pengasuhan dalam lembaga kesejahteraan sosial sebagai alternatif terakhir, penempatan sementara anak jika anak harus terpisah dari keluarga.
Pengasuhan alternatif tersebut di evaluasi  secara berkala minimal  6 (enam) bulan sekali  dengan tujuan untuk segera mengembalikan anak ke dalam keluarga dan atau lingkungan terdekatnya.
Huruf i
         Partisipasi dilakukan dengan melibatkan anak secara aktif baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring pembangunan sesuai usia dan kematangannya, agar proses penyelenggaraan pemerintahan dapat melindungi anak dan untuk kepentingan terbaik anak.
         Ayat (2)
                  Huruf a
                           Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
Ayat (3)
                  Cukup jelas
Pasal 7
         Ayat (1)
Cukup jelas
         Ayat (2)
                  Huruf a
                           Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
Cukup jelas
                  Huruf e      
Yang dimaksud pernikahan dini adalah pernikahan yang dilaksanakan dimana satu atau kedua mempelainya berusia anak
                  Huruf f
Yang dimaksud dengan pandangan anak dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan adalah menjamin hak anak yang berkemampuan untuk menyatakan secara bebas pandangannya sendiri mengenai semua hal yang menyangkut anak itu, dengan diberikannya bobot yang layak pada pandangan-pandangan anak yang mempunyai nilai sesuai dengan usia dan kematangan dari anak yang bersangkutan. 
                  Huruf g
                           Cukup jelas

Pasal 8               
         Ayat (1)
                  Cukup jelas
         Ayat (2)
                  Huruf a
                           Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
         Ayat (3)
                  Cukup jelas
         Ayat (4)
                  Cukup jelas

Pasal 9
         Ayat (1)      
Cukup jelas
         Ayat (2)
                  Huruf a
                           Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
                  Huruf f
                           Cukup jelas
                  Huruf g
                           Cukup jelas
                  Huruf h
         Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Ayat (3)
         Cukup jelas
Ayat (4)
         Cukup jelas

Pasal 10
         Ayat (1)      
Huruf a
                           Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
         Ayat (2)
Cukup jelas        
         Ayat (3)
                  Cukup jelas
Pasal 11
         Ayat (1)      
Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
         Ayat (2)
                  Cukup jelas
                 
Pasal 12
         Ayat (1)
                  Huruf a
                           Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
         Ayat (2)
                  Huruf a               
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
Yang dimaksud dengan peningkatan kapasitas bagi orang tua dan keluarga adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam mengasuh, memelihara, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, menghormati harkat dan martabat anak, melindungi anak dari perlakuan salah, penelantaran, eksploitasi dan kekerasan terutama kepada anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, mencegah anak berhadapan dengan hukum, mencegah terjadinya pernikahan dini, menghormati pandangan anak dalam kehidupan keluarga, memberikan dukungan ekonomi, sosial, pendidikan dan kesehatan, serta mental dan spiritual kepada anak; dan menghindarkan keterpisahan anak dari keluarga inti.
Yang dimaksud dengan peningkatan kapasitas bagi masyarakat adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam mendukung upaya-upaya pengasuhan untuk tumbuh kembang anak, menghormati harkat dan  martabat anak, melindungi anak dan mencegah, serta tidak membiarkan terjadinya perlakuan salah, penelantaran, eksploitasi dan kekerasan terutama kepada anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, melindungi dan mencegah anak berhadapan dengan hukum, melindungi anak dan mencegah, serta tidak membiarkan terjadinya pernikahan dini, menghormati pandangan anak dalam kehidupan masyarakat dan lingkungannya, dan menghindarkan keterpisahan anak dari keluarga luas.
         Ayat (3)
                  Huruf a               
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas

         Ayat (4)     
                  Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
Huruf f
                           Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
                  Huruf h
                           Cukup jelas
Huruf i
                           Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
                  Huruf k
                           Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
                  Huruf m
                           Cukup jelas
Huruf n
                           Cukup jelas
Huruf o
Cukup jelas
                  Huruf p
                           Cukup jelas
Huruf q
Cukup jelas
                  Huruf r
                           Cukup jelas
                  Huruf s
                           Cukup jelas
         Ayat (5)
Yang dimaksud dengan instansi dan lembaga lain yang terkait adalah lembaga vertikal yang terkait dengan penyelenggaraan sistem perlindungan anak antara lain Kepolisian, Kantor Urusan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, Kejaksaan, Kehakiman, serta lembaga pemerhati anak.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan sistematis adalah melakukan desain penyelenggaraan perlindungan anak secara bertahap mulai perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi untuk melakukan intervensi primer kesejahteraan sosial anak dan keluarga agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan dan anggaran.
Yang dimaksud dengan integrative adalah dalam melakukan intervensi primer kesejahteraan sosial anak dan keluarga secara bersama oleh SKPD/Unit Kerja, instansi, dan lembaga terkait lainnya yang tidak terpisah dari tugas pokok dan fungsi masing-masing.

Ayat (7)
                  Cukup jelas
         Ayat (8)
                  Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud anak dari keluarga rentan adalah anak dari orang tua yang menikah dibawah 18 tahun, orang tua tunggal, kedua orangtua yang bekerja, orang tua pengangguran, pemabuk, pecandu, pengidap HIV/AIDS, suku minoritas dan terisolasi, orang tua yang disabilitas, kekerasan dalam rumahtangga, perceraian, dan dari orang tua lainnya yang mengalami masalah dalam keluarga
         Huruf b
                  Cukup jelas
         Huruf c
                  Cukup jelas
         Huruf d               
Yang dimaksud layanan dukungan keluarga adalah layanan yang diberikan kepada keluarga rentan untuk mengurangi terjadinya risiko lebih lanjut terhadap tumbuh kembang anak.
Layanan dukungan dapat dilakukan melalui dukungan ekonomi, jaminan sosial, jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, dan layanan pengasuhan dan konseling.
Dukungan ekonomi seperti Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE), Usaha Ekonomi Produktif (UEP), Usaha Simpan Pinjam dan bentuk lainnya.
Jaminan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH) dan bentuk lainnya.
Jaminan kesehatan seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS), Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) dan bentuk lainnya.
Jaminan pendidikan seperti bea siswa, layanan sekolah khusus bagi pekerja anak dan Anak Berhadapan Hukum, Paket A, B, C, pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus.
Layanan pengasuhan dan konseling seperti PPT, P2TP2A, TPA, RPSA, BKB, PAUD
         Huruf e
Yang dimaksud dengan anak dalam situasi darurat adalah anak yang menjadi pengungsi, korban kerusuhan, korban bencana alam dan anak dalam situasi konflik bersenjata.
         Huruf f
                  Cukup jelas
         Huruf g
Yang dimaksud lembaga alternatif adalah lembaga kesejahteraan sosial anak yang bersifat sementara sampai diperolehnya pengasuhan berbasis keluarga yang permanen.
Ayat (2)
Huruf a               
Cukup jelas
                 
Huruf b
                           Cukup jelas
         Ayat (3)
                  Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
Huruf f
                           Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
                  Huruf h
                           Cukup jelas
Huruf i
                           Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
                  Huruf k
                           Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
                  Huruf m
                           Cukup jelas
                  Huruf n
                           Cukup jelas
                  Huruf o
                           Cukup jelas
         Ayat (4)
                  Cukup jelas
         Ayat (5)
                  Cukup jelas
         Ayat (6)
Yang dimaksud dengan sistematis adalah melakukan desain penyelenggaraan perlindungan anak secara bertahap mulai perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi untuk melakukan intervensi sekunder kesejahteraan sosial anak dan keluarga agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan dan anggaran.
Yang dimaksud dengan integrative adalah dalam melakukan intervensi primer kesejahteraan sosial anak dan keluarga secara bersama oleh SKPD/Unit Kerja, instansi, dan lembaga terkait lainnya yang tidak terpisah dari tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Ayat (7)
                  Cukup jelas

Pasal 14                                       
         Ayat (1)
                  Huruf a
Yang dimaksud dengan sistem terpadu satu atap adalah kegiatan pelaksanaan intervensi tersier yang proses penanganannya dilakukan dalam satu tempat.  
                      Yang dimaksud dengan sistem rujukan adalah mekanisme penanganan kasus yang terdiri dari penelaahan kasus, penyelamatan anak, pemulihan fisik dan psikologis, pengasuhan alternatif, bantuan hukum, perlindungan identitas yang melibatkan berbagai instansi terkait.
                  Huruf b
Yang dimaksud reunifikasi keluarga adalah menyatukan anak kembali ke dalam keluarganya.
Yang dimaksud reintegrasi sosial adalah menyatukan kembali ke dalam masyarakat sehingga dapat menjalankan fungsi sosialnya.
Yang dimaksud rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar.
                  Huruf c
Yang dimaksud pemantauan adalah memantau selama dalam pengasuhan, penanganan kasus anak yang menjadi korban, pelaku dan saksi.
                  Huruf d
                           Cukup jelas
         Ayat (2)
                  Huruf a
Yang dimaksud dengan tempat pengaduan adalah suatu wadah yang ditetapkan oleh penyelenggara sistem perlindungan anak sebagai tempat untuk menerima laporan adanya tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran anak yang diajukan oleh korban, keluarga, atau masyarakat.
                  Huruf b
Yang dimaksud dengan tempat layanan rujukan adalah suatu wadah yang ditetapkan oleh penyelenggara sistem perlindungan anak sebagai tempat untuk melayani korban yang dirujuk oleh SKPD/Unit Kerja, Instansi, dan lembaga lain yang terkait, sehingga petugas harus memeriksa terlebih dahulu surat rujukan ataupun data-data yang dikirimkan oleh perujuk.
Huruf c
Yang dimaksud dengan tempat perlindungan sementara adalah tempat yang aman bagi anak untuk bertempat tinggal sementara selama jangka waktu tertentu guna menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, misalnya shelter (rumah aman) dan bentuk lainnya
         Ayat (3)
Yang dimaksud Standar Operasional Prosedur adalah serangkaian langkah-langkah standar yang tertulis dan dibakukan mengenai berbagai proses dalam melakukan perlindungan sementara, antara lain bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana dan oleh siapa yang melakukan.
         Ayat (4)
Huruf a               
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas


         Ayat (5)
                  Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
Huruf f
                           Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
                  Huruf h
                           Cukup jelas
Huruf i
                           Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
                  Huruf k
                           Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
                  Huruf m
                           Cukup jelas
         Huruf n
                  Cukup jelas
         Ayat (6)
                  Cukup jelas
         Ayat (7)
Yang dimaksud dengan sistematis adalah melakukan desain penyelenggaraan perlindungan anak secara bertahap mulai perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi untuk melakukan intervensi tersier kesejahteraan sosial anak dan keluarga agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan dan anggaran.
Yang dimaksud dengan integrative adalah dalam melakukan intervensi tersier kesejahteraan sosial anak dan keluarga secara bersama oleh SKPD/Unit Kerja, Instansi, dan lembaga terkait lainnya yang tidak terpisah dari tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Ayat (8)
                  Cukup jelas
         Ayat (9)
                  Cukup jelas

Pasal 15
         Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
Ayat (2)
                  Huruf a               
Cukup jelas
        
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
         Ayat (3)
                  Huruf a               
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e      
                           Cukup jelas
         Ayat (4)
                  Cukup jelas        
Ayat (5)
                  Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
         Ayat (6)
Huruf a
                           Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
                  Huruf g
                           Cukup jelas
                  Huruf h
                           Cukup jelas
                  Huruf i
                           Cukup jelas
         Ayat (7)
                  Cukup jelas
         Ayat (8)
Cukup jelas
         Ayat (9)
Yang dimaksud dengan sistematis adalah melakukan desain penyelenggaraan perlindungan anak secara bertahap mulai perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi untuk melakukan intervensi primer dan fasilitasi dalam peradilan anak agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan dan anggaran.
Yang dimaksud dengan integrative adalah dalam melakukan intervensi primer dan fasilitasi dalam peradilan anak secara bersama oleh SKPD/Unit Kerja, Instansi, dan lembaga terkait lainnya yang tidak terpisah dari tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Ayat (10)
                  Cukup jelas
        
Pasal 16
         Ayat (1)      
Huruf a
Yang dimaksud dengan deteksi dini dan pengurangan resiko adalah memetakan target kerentanan, kebutuhan, dan issu yang relevan dengan kelompok anak maupun keluarga tertentu yang spesifik, yang didasarkan pada hasil riset dan/atau bukti nyata bahwa kelompok atau wilayah tersebut rawan terjadi tindak pidana anak. 
                  Huruf b
Yang dimaksud dengan efektifitas pencegahan pada wilayah-wilayah rawan adalah penentuan jenis kegiatan yang akan dilakukan pada wilayah rawan berdasarkan hasil deteksi dini, yang melibatkan Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat, keluarga, dan orang tua, agar anak tidak terlibat dengan masalah hukum,
         Ayat (2)
                  Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
                  Huruf f
                           Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
                  Huruf h
                           Cukup jelas
                  Huruf i
                           Cukup jelas
                  Huruf j
                           Cukup jelas
                  Huruf k
                           Cukup jelas
                  Huruf l
                           Cukup jelas
                  Huruf m
                           Cukup jelas
                  Huruf n
                           Cukup jelas
         Ayat (4)
Cukup jelas
         Ayat (5)
                  Cukup jelas
         Ayat (6)
Yang dimaksud dengan sistematis adalah melakukan desain penyelenggaraan perlindungan anak secara bertahap mulai perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi untuk melakukan intervensi sekunder dan fasilitasi dalam peradilan anak agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan dan anggaran.
Yang dimaksud dengan integrative adalah dalam melakukan intervensi sekunder dan fasilitasi dalam peradilan anak secara bersama oleh SKPD/Unit Kerja, Instansi, dan lembaga terkait lainnya yang tidak terpisah dari tugas pokok dan fungsi masing-masing.
         Ayat (7)
                  Cukup jelas

Pasal 17
         Ayat (1)
                  Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
Sistem peradilan formal adalah proses hukum bagi anak sebagai pelaku melalui suatu peradilan khusus yang dimulai dari terjadinya penyidikan, penangkapan, penahanan dan pelembagaan anak.
Ayat (2)
                  Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan prosedur ramah anak dan responsif gender dalam sistem peradilan formal adalah indikator-indikator perlindungan anak yang harus dipenuhi saat anak berhadapan hukum melalui jalur formal peradilan anak baik kuantitatif maupun kebijakan misalnya anak-anak dalam tahanan, kematian anak dalam tahanan, menyakiti diri sendiri, penganiayaan seksual, pemisahan dari orang dewasa, dikurung tertutup atau sendiri, kontak dengan orang tua atau keluarga, exit interview, inspeksi berkala secara independen, mekanisme pengaduan, pembatasan pengekangan fisik dan penggunaan kekuatan, serta tindakan dan prosedur disipliner khusus.     
Ayat 4
                  Cukup jelas
Ayat 5
                  Huruf a
                           Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
                  Huruf f
                           Cukup jelas        
Ayat (6)
                  Cukup jelas

Pasal 18
         Ayat (1)      
Huruf a
                           Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
         Ayat (2)
                  Cukup jelas
Ayat (3)
                  Huruf a
                           Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
                  Huruf f
                           Cukup jelas
         Ayat (4)
                  Cukup jelas
         Ayat (5)
                  Cukup jelas
         Ayat (6)
                  Cukup jelas

Pasal 19
         Ayat (1)
                  Huruf a
Yang dimaksud dengan perubahan cara berfikir adalah proses merubah pikiran dari suatu hal yang tidak diketahui menjadi diketahui tentang segala sesuatu yang terkait dengan perlindungan anak, baik melalui intervensi primer, sekunder, maupun tersier.
                  Huruf b
Yang dimaksud dengan perubahan cara bersikap adalah proses merubah sikap dari tidak mau melakukan menjadi mau melakukan atau bukan hanya sekedar mengetahui tetapi juga mau melakukan perlindungan terhadap segala bentuk kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran yang terjadi pada anak. 


Huruf c
Yang dimaksud dengan perubahan cara bertindak adalah proses merubah tindakan dari yang tidak responsif terhadap anak menjadi respon terhadap segala permasalahan yang menimpa anak. Perubahan cara bertindak sangat dipengaruhi oleh cara berfikir dan bersikap. 
         Ayat (2)
                  Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
Ayat (3)
                  Cukup jelas
         Ayat (4)
         Cukup jelas
Ayat (5)
         Cukup jelas
Ayat (6)
         Cukup jelas

Pasal 20    
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud prevalensi faktor resiko adalah bagian dari sistem informasi yang dapat mengidentifikasi faktor resiko dan mendorong strategi pencegahan untuk dapat menurunkan prevalensi kasus perlindungan anak,  identifikasi anak yang rentan sebelum menjadi korban persoalan perlindungan anak yang serius, memungkinkan untuk memonitor keadaan anak dan menyediakan layanan pencegahan.
Huruf b
Yang dimaksud prevalensi kasus adalah  memberikan gambaran lengkap dari besaran masalah perlindungan anak.
Huruf c
Yang dimaksud cakupan kasus adalah  menggambarkan proporsi anak yang mengakses layanan dari anak-anak yang membutuhkan layanan.
Huruf d
Yang dimaksud data evaluasi adalah  berhubungan dengan ketiga komponen lainnya. Evaluasi rutin dibutuhkan untuk memastikan bahwa program dan layanan yang disediakan efektif, digunakan untuk perencanaan (termasuk penganggaran), monitoring, dan evaluasi.
         Ayat 2
Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
Yang dimaksud dengan penyebab permasalahan anak adalah hubungan kausalitas langsung ataupun tidak langsung terjadinya resiko pada anak baik dari keluarga, masyarakat, lingkungan, penyedia layanan, maupun dari komitmen pengambil kebijakan.
Yang dimaksud dengan karakteristik permasalahan anak adalah gambaran permasalahan  anak berdasarkan geografi, strata sosial, gender, dll.
Yang dimaksud dengan kecenderungan permasalahan anak adalah trend atau periodesasi permasalahan anak.
         Huruf c
                  Cukup jelas
         Huruf d
                  Cukup jelas
         Huruf e
                  Cukup jelas
Ayat (3)
         Huruf a               
Cukup jelas
         Huruf b
                  Cukup jelas
         Ayat (4)
                  Cukup jelas
         Ayat (5)
                  Cukup jelas
         Ayat (6)
                  Cukup jelas
         Ayat (7)
                  Cukup jelas

Pasal 21
         Ayat (1)
Yang dimaksud dengan masyarakat dalam hal ini termasuk penyelenggaraan negara, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga pendidikan, media, orang tua dan anak di seluruh wilayah Sulawesi Selatan.
         Ayat (2)
                  Cukup jelas
         Ayat (3)
                  Cukup jelas
         Ayat (4)
                  Cukup jelas

Pasal 22
         Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kerjasama adalah salah satu cara untuk cepat mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menciptakan lingkungan protektif bagi anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran.  Bentuk kerjasama dapat mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku, antara lain Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Kerjasama Daerah.
Ayat (2)
                  Huruf a               
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
Huruf f               
Cukup jelas
                 
Huruf g
                           Cukup jelas
                  Huruf h
                           Cukup jelas
                  Huruf i
                           Cukup jelas
                  Huruf j
                           Cukup jelas
                  Huruf k
                           Cukup jelas
                  Huruf l
                           Cukup jelas
                  Huruf m
                           Cukup jelas
                  Huruf n
                           Cukup jelas
Ayat (3)
                  Cukup jelas
         Ayat (4)
                  Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
         Ayat (5)
                  Cukup jelas

Pasal 23
         Ayat (1)
Cukup jelas
                  Ayat (2)
                           Cukup jelas
                  Ayat (3)
                           Cukup jelas
                  Ayat (4)
                           Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Ayat (5)
                           Cukup jelas
                  Ayat (6)
                           Cukup jelas

Pasal 24
         Ayat (1)
                  Huruf a               
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
Ayat (2)
                  Cukup jelas
         Ayat (3)
                           Yang dimaksud dengan dapat diakses oleh masyarakat adalah disampaikan secara terbuka baik dalam rapat koordinasi, website, media cetak dan elektronik, dan media lainnya sehingga mudah diakses oleh masyarakat.
         Ayat (4)
                  Cukup jelas
Ayat (5)
                           Cukup jelas

Pasal 25
         Ayat (1)      
Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
         Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
         Ayat (3)
                  Cukup jelas

Pasal 26
         Ayat (1)
                  Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
Ayat (2)
                  Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
         Ayat (3)
                  Cukup jelas

Pasal 27
         Ayat (1)      
Cukup jelas
         Ayat (2)
                  Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
Ayat (3)      
Cukup jelas
         Ayat (4)
                  Cukup jelas

Pasal 28
         Ayat (1)
Cukup jelas
         Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
        
Ayat (3)
                  Cukup jelas
         Ayat (4)
                  Cukup jelas
         Ayat (5)
                  Cukup jelas
        
Pasal 29
         Ayat (1)
Cukup jelas
         Ayat (2)
                  Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
         Ayat (3)
                  Cukup jelas
         Ayat (4)
                  Cukup jelas

Pasal 30
         Ayat (1)
                  Cukup jelas
         Ayat (2)
                  Huruf a
                           Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
                  Huruf f
                           Cukup jelas
                  Huruf g
                           Cukup jelas

Pasal 31
         Ayat 1
                  Cukup jelas
         Ayat 2
                  Cukup jelas
         Ayat 3
                  Cukup jelas
         Ayat 4
                  Cukup jelas

Pasal 32
         Ayat (1)      
Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
         Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
         Ayat (3)
                  Huruf a
                           Cukup jelas
                  Huruf b
                           Cukup jelas
                  Huruf c
                           Cukup jelas
                  Huruf d
                           Cukup jelas
                  Huruf e
                           Cukup jelas
                  Huruf f
                           Cukup jelas
                  Huruf g
                           Cukup jelas
         Ayat (4)
                  Cukup jelas        
         Ayat (5)
                  Cukup jelas

Pasal 33
         Ayat (1)
Cukup jelas
         Ayat (2)
                  Cukup jelas

Pasal 34
         Ayat (1)
Cukup jelas
         Ayat (2)
                  Cukup jelas

Pasal 35
         Cukup jelas

Pasal 36
         Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2013 NOMOR ………….