Friday, April 28, 2017

Toleransi, Lisan, dan Tulisan-mu

Kehidupan mengajarkan untuk selalu menjaga Lisan saya.
Agama saya pun mengajarkan demikian.
Karena apa yang telah keluar dari mulut tidak akan mampu kamu tarik kembali...

Salah satu cara menjaga lisan (dan/atau tulisan) di era sos-med saat ini adalah dengan menahan diri utk tidak berkomentar atau share tentang Agama/Keyakinan orang lain.
Karena yakinlah komentar & status tsb pasti salah, tidak tepat, dan menyakiti perasaan.

Ajaran Agama/keyakinan lain pasti sulit diterima nalar dan logika mereka yang berbeda.
 Itulah sebabnya Agama tsb tidak menjadi Agama-mu atau Keyakinan-mu.
Maka akan sangat bijak jika kita Berhenti membuat komentar dan status atas sesuatu yg tidak kamu yakini/pahami benar.

Menjaga lisan dan tulisan kita adalah bentuk Toleransi yang sebenar-benarnya...🍃

(Note: Tulisan singkat ini dibuat di kendaraan yang membawa saya ke tujuan hari ini, setelah membaca sebuah berita di media online komentar seorg pejabat tentang penggunaan jilbab pada anak sekolah)

#stophujat #stopNyinyir #moveon #toleransiberagama #toleransi_tidakkomen_agamaorang
#toleransi_tidaknyinyir_agamaorang

Friday, April 21, 2017

Kartini, Kebaya, dan Kami

Oleh: Dr. Aerin Nizar (Wakil Ketua DPD Partai Demokrat Sulsel)

Setiap tanggal 21 April, anak perempuanku dan anak-anak lainnya merayakannya dengan mengenakan kebaya atau batik ke sekolah - dan perusahaan serta toko memberikan diskon, voucher, dan penawaran menarik kepada semua perempuan sebagai bentuk tribute atau penghargaan kepada perempuan Indonesia yang dianggap sebagai pejuang perempuan dan feminis pertama, yakni Raden Ajeng Kartini. Para karyawan di kantor-kantor pemerintah dan bank-bank pun tak mau kalah ikut memeriahkan Hari Kartini dengan memberikan pelayanan dalam balutan busana-busana daerah yang menarik. Pertanyaannya, apakah memang sesederhana itukah makna Hari Kartini?

Hari Kartini merupakan sebuah momentum penting yang selayaknya tidak hanya dirayakan simbolis dengan kebaya, batik, konde, atau diskon. Dari 250 juta penduduk Indonesia, 120 juta jiwa penduduk Indonesia adalah perempuan. Ada beragam isu krusial di masa kini tentang perempuan daripada sekedar menonjolkan simbol kebaya dan konde ala Kartini di masa lalu. Isu-isu yang lekat dengan keseharian perempuan adalah misalnya kemiskinan, kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi di tempat kerja, meningkatnya jumlah tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri, yang sebagian besar bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan mengasuh anak majikan untuk membiayai anak-anak mereka yang ditinggalkan di kampung halaman, serta pernikahan anak.

Jika ingin merefleksi kembali, masih teringat jelas di ingatan kita beberapa kasus-kasus kekerasan yang korbannya adalah perempuan dan anak yang terjadi di sepanjang tahun 2016 kemarin. Seperti misalnya kasus kekerasan seksual sadis pada anak yang terjadi di Lampung, kasus perkosaan yang berujung pada pembunuhan sadis pada buruh perempuan di kamar kost, dan kasus-kasus kekerasan seksual lainnya yang kemudian berujung pada wacana untuk memberlakukan hukuman dalam bentuk Perpu Kebiri dan pemasangan chip bagi para pelaku kejahatan seksual tersebut. Ribut-ribut soal kebiri dan pemasangan chip ini, kemudian membuat banyak pihak yang terlupa, bahwa ada korban-korban yang menyimpan trauma kekerasan yang memerlukan perhatian yang sama dan tidak ada satupun regulasi yang secara khusus memberikan hak-hak korban kejahatan seksual seperti upaya rehabilitasi, kompensasi, bantuan medis, psikologis, dan psikososial untuk korban kejahatan seksual terutama pada anak. Hanya ada satu regulasi yang tersedia yakni pada UU Nomor 31 tahun 2016 tentang perlindungan saksi dan korban, namun regulasi ini terbatas dan tidak komprehensif menyentuh kebutuhan esensil dari para korban kejahatan ini. Ini baru tentang kekerasan seksual, belum lagi kasus kemiskinan perempuan yang berujung pada pernikahan anak, imigrasi pekerja perempuan ke luar negeri menjadi TKW yang diikuti dengan sejumlah masalah seperti kekerasan fisik dan seksual, hukuman mati, pembunuhan, dan kasus-kasus lainnya yang menjadi collateral effects dari minimnya perhatian pada kebutuhan esensil perempuan yakni kesetaraan dan keadilan.

Masih lekat di ingatan kita pula, di tahun 2017 ini, cerita tentang Ibu Patmi seorang ibu dari Pegunungan Kendeng yang menyemen kakinya di depan istana sebagai bentuk protes atas pendirian pabrik semen di wilayah karst di Pati Jawa Tengah yang kemudian meninggal sakit dalam perjuangan tersebut. Ibu Patmi merupakan salah satu dari 9 Kartini dari Kendeng yang berjalan kaki, diintimidasi, meninggalkan ternak dan keluarga, menyemen kaki di depan istana demi untuk memperjuangkan kelestarian lingkungan dan kehidupan masyarakat di sekitar Karst Kendeng. Almarhumah Ibu Patmi ini menjadi contoh mulia bagaimana seorang perempuan tak kenal lelah dan rela berkorban demi keyakinannya dan keteguhannya untuk mendapatkan keadilan. Refleksi Hari Kartini yang dilaksanakan di Komnas Perempuan pada 20 April 2017 kemarin juga ikut mengkritisi isu tentang kekerasan Politik dan Kepemimpinan Perempuan, dan cerita tentang perjuangan 9 Kartini Kendeng dan Ibu Patmi ini menjadi kisah inspiratif perjuangan perempuan.

Tahukah anda semboyan RA Kartini? Beliau berkata “Aku mau!” dua kata sederhana itulah yang telah beberapa kali mendukung dan membawa kartini mampu melintasi besarnya kesulitan yang dia hadapi. Kartini tidak berkata “Aku Tiada Dapat!” karena menurutnya kata itu melenyapkan rasa berani yang membuat kita sulit mendaki puncak gunung tertinggi. Masih banyaknya isu-isu krusial perempuan, baiknya tidak membuat perempuan yang mampu bersuara, memiliki kewenangan, memiliki talenta dan kapasitas, serta kemauan berjuang bersama melawan kekerasan dan ketidakadilan, jadi berpuas diri dengan pencapaian yang dimiliki saat ini. Karena layaknya RA Kartini, yang hanya menyuarakan keresahannya atas ketidakadilan dan ketimpangan sosial melalui surat-surat ternyata masih mampu menggema sampai saat ini.   

RA Kartini berusia pendek, meninggal di usia 24 tahun tak lama setelah melahirkan anak pertamanya. Walaupun berumur tidak panjang, namun RA Kartini berhasil meninggalkan sebuah legacy penting yang telah mendorong ditegakkannya hak-hak para Kartini masa kini. Perjuangan dan tantangan yang dihadapi oleh Kartini masa kini, belum selesai. Kartini abad modern di masa ini juga belum terlepas dari stereotype faham patriarkis yang terkadang masih mendikte tentang bagaimana seharusnya perempuan berpendapat, bertindak, berbicara, bersikap, beraktifitas, berbusana, berpendidikan, dan sebagainya. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh perempuan Indonesia masa kini, termasuk isu-isu kemanusiaan yang lekat dengan kehidupan perempuan, dan RA Kartini telah memberikan inspirasi untuk melanjutkan upaya-upaya yang bisa menerobos tembok penghalang kemajuan perempuan Indonesia.

Selamat Hari Lahir Ibu RA Kartini. Surah Al Fatihah terkirim untukmu.


Makassar, 21 April 2017.