PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
PERATURAN DAERAH
PROVINSI SULAWESI SELATAN
NOMOR 4 TAHUN
2010
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR SULAWESI SELATAN,
Menimbang : a. bahwa
perkembangan dan penularan HIV dan AIDS di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami perkembangan yang semakin memprihatinkan,
dimana jumlah kasus HIV dan AIDS terus meningkat dan wilayah
penularannya semakin meluas;
b.
bahwa
untuk membangun
mekanisme kerja dalam sistem pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Sulawesi
Selatan diperlukan konsolidasi dan koordinasi integrasi program secara kelembagaan dan fungsional;
c.
bahwa
kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS perlu dilaksanakan secara
terpadu melalui upaya peningkatan perilaku hidup sehat yang dapat mencegah
penularan, memberikan pengobatan, perawatan, dan dukungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia kepada orang yang mengidap HIV dan AIDS serta keluarganya yang secara
keseluruhan dapat meminimalisir dampak epidemik dan mencegah diskriminasi serta
stigmatisasi;
d.
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Pencegahan Dan Penanggulangan HIV Dan AIDS.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960 tentang Pembentukan
Daerah Sulawesi Selatan Tenggara Dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 2102) juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I
Sulawesi Tengah Dan Daerah Tingkat I
Sulawesi Tenggara dengan
mengubah Undang-Undang Nomor
47 Prp. Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi
Selatan Tenggara Dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara Tengah menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1964 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2687);
2.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76);
3.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3886);
4.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
5.
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);
6.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4337); sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
7.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5062);
8. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
9.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,
Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
11. Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional;
12. Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia Nomor 02/PER/MENKO/ KESRA/I/2007, tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV
Dan AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan
Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif Suntik;
13. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep.68/Men/IV/2004 tentang Pencegahan Dan
Penanggulangan HIV Dan AIDS Di Tempat Kerja;
14. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Rangka Penanggulangan
HIV Dan AIDS Di Daerah;
15. Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan
Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008
Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 235);
16. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2008 - 2028 (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2008 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor
243);
17. Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2008 - 2013 (Lembaran
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 244);
18. Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008
Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 239)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Perubahan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Nomor 6 Tahun 2008 (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2009 Nomor 10).
19. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Nomor 5 Tahun 2009 tentang Legislasi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Nomor 247);
20. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Nomor 1 Tahun 2010 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2010 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Nomor 251);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
dan
GUBERNUR SULAWESI SELATAN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1.
Daerah
adalah Provinsi Sulawesi Selatan.
2.
Pemerintah
adalah Pemerintah Pusat.
3.
Gubernur
adalah Gubernur Sulawesi Selatan.
4.
Pemerintah
Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
5.
Biro
Bina Napza dan HIV-AIDS adalah Biro Bina
Napza HIV-AIDS Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
6.
Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV
adalah virus yang menyerang sel darah putih yang mengakibatkan menurunnya
sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh manusia mudah terserang oleh
berbagai macam penyakit.
7.
Acquired Immuno Deficiency Syndromes yang selanjutnya disingkat AIDS
adalah sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh menurunnya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat Virus HIV.
8.
Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya yang selanjutnya disingkat Napza adalah
zat kimiawi yang mampu mengubah pikiran, perasaan, fungsi mental, dan perilaku
seseorang yang apabila disalahgunakan untuk tujuan di luar pengobatan akan
mengubah kerja syaraf otak sehingga si pemakai berfikir, berperasaan, dan
berperilaku tidak normal.
9. Pencegahan
adalah upaya-upaya agar penyebarluasan virus HIV tidak meluas dan
terkonsentrasi di mayarakat melalui berbagai intervensi perilaku pada penjaja
seks dan pelanggan dengan penggunaan alat pencegah, penggunaan jarum suntik dan
alat kesehatan lain yang steril, pengguna narkoba, skrining darah donor pada
transfusi darah, penerima donor, penerima organ atau jaringan tubuh, ibu hamil
yang telah terinfeksi HIV dan bayi yang dikandungnya serta kewaspadaan umum
pada tenaga kesehatan.
10. Penanggulangan
adalah upaya-upaya atau program-program dalam rangka mengatasi masalah HIV dan
AIDS melalui promosi, kegiatan pencegahan HIV dan AIDS, perawatan, pengobatan,
dan dukungan kepada orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) dan orang hidup dengan HIV
dan AIDS (OHIDHA),
surveilans, penelitian, dan riset operasional, pemutusan mata rantai penularan,
lingkungan kondusif, koordinasi dan harmonisasi multipihak, kesinambungan
pencegahan dan penanggulangan, penyediaan sarana dan sarana pendukung.
11.
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi yang
selanjutnya disingkat KPAP adalah lembaga non struktural yang ditetapkan oleh
Gubernur yang berfungsi sebagai wadah koordinasi, fasilitasi, dan advokasi
serta merumuskan kebijakan, strategi, dan langkah-langkah yang diperlukan dalam
rangka pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Sulawesi Selatan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
12. Orang Dengan HIV dan AIDS yang
selanjutnya disingkat ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV dan AIDS baik
pada tahap belum bergejala maupun yang sudah bergejala.
13. Orang
Hidup Dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat OHIDHA adalah `orang,
badan, atau anggota keluarga yang hidup bersama dengan ODHA dan memberikan
perhatian kepada mereka.
14. Populasi
kunci adalah kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi terhadap
penularan HIV dan AIDS yaitu pekerja seks komersial, pelanggan penjaja seks,
pasangan tetap penjaja seks, pengguna narkoba suntik, pasangan pengguna narkoba
suntik, laki-laki seks dengan laki-laki, waria, narapidana, dan anak jalanan.
15. Tenaga
Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
16. Konselor adalah orang yang memiliki
kompetensi dan pengakuan untuk melaksanakan percakapan yang efektif sehingga
bisa tercapai pencegahan, perubahan perilaku dan dukungan emosi pada konseling.
17. Pekerja penjangkau atau pendamping
adalah tenaga yang langsung bekerja di masyarakat yang melakukan pendampingan
terhadap kelompok rawan perilaku risiko tinggi terutama untuk melakukan
pencegahan dan pemberdayaan.
18. Manajer kasus adalah tenaga yang mendampingi
dan melakukan pemberdayaan terhadap ODHA.
19. Infeksi Menular Seksual yang
selanjutnya disingkat IMS adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan
seksual.
20. Upaya
kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh
Pemerintah dan/atau masyarakat.
21. Perawatan dan pengobatan adalah
upaya tenaga medis untuk meningkatkan derajat kesehatan ODHA.
22. Dukungan adalah upaya-upaya baik
dari sesama orang dengan HIV dan AIDS maupun dari keluarga, organisasi, dan
orang-orang yang bersedia untuk memberi dukungan pada orang dengan HIV dan AIDS
dengan lebih baik lagi dan berkelanjutan.
23. Surveilans HIV dan AIDS adalah
kegiatan pengumpulan, pengolahan dan analisis data HIV dan AIDS serta
penyebarluasan hasil analisis dengan maksud untuk meningkatkan perencanaan,
pelaksanaan dan monitoring evaluasi penanggulangan penyakit.
24. Kewaspadaan umum adalah
prosedur-prosedur yang harus dijalankan oleh petugas kesehatan untuk mengurangi
risiko penularan penyakit yang berhubungan dengan bahan-bahan terpapar oleh
darah dan cairan tubuh lain yang infeksius.
25. Skrining adalah test yang dilakukan
pada darah donor sebelum ditransfusikan.
26. Persetujuan Tindakan Medik (Informed conscent) adalah persetujuan
yang diberikan oleh seseorang untuk dilakukan suatu tindakan pemeriksaan,
perawatan dan pengobatan kepadanya, setelah memperoleh penjelasan tentang
tujuan dan cara tindakan yang akan dilakukan tes HIV secara sukarela.
27. Voluntary Counselling and Testing
yang selanjutnya disingkat VCT adalah gabungan konseling dan tes HIV secara
sukarela dan dijamin kerahasiaannya dengan informed consent.
28. Prevention Mother to Child
Transmition yang selanjutnya disingkat PMTCT adalah pencegahan
penularan HIV dari ibu kepada bayinya.
29. Harm
reduction adalah kegiatan untuk
memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS yang terdiri dari 12 (dua belas)
komponen yaitu pendidikan sebaya, pelayanan kesehatan dasar, perawatan dan
pengobatan HIV dan AIDS, substitusi oral, terapi napza, komunikasi informasi
edukasi, penjangkauan, VCT, konseling, pencegahan infeksi, pertukaran jarum
suntik, dan pemusnahan jarum suntik bekas pakai.
30. Diskriminasi
adalah semua tindakan atau kegiatan seperti pembedaan respon
yang diberikan seseorang kepada orang tertentu.
31. Stigmatisasi adalah penafsiran
negatif terhadap orang-orang yang memiliki perilaku penyimpangan sosial.
32. Alat pencegah adalah sarung karet (lateks)
yang pada penggunaannya dipasang pada alat kelamin laki-laki atau pada
perempuan pada waktu melakukan hubungan seksual dengan maksud untuk mencegah
penularan penyakit akibat hubungan seksual maupun pencegahan kehamilan.
33. Alat suntik steril adalah penggunaan jarum
suntik yang baru atau yang sudah disucihamakan agar tidak berpotensi menularkan
penyakit kepada orang lain.
34. Obat anti retroviral adalah obat-obatan
yang dapat menghambat perkembangan HIV dalam tubuh pengidap, sehingga bisa
memperlambat proses menjadi AIDS.
35. Obat anti infeksi opportunist adalah
obat-obatan yang diberikan untuk infeksi opportunistik yang muncul pada diri
ODHA.
36. Pola penularan HIV adalah proses penularan melalui hubungan seksual tanpa alat
pencegah yang berganti-ganti
pasangan, transfusi darah, ibu hamil ke janinnya, jarum suntik tidak steril, dan
lain-lain.
37. Promosi adalah program/kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan terhadap
HIV dan AIDS.
38. Mandatory test adalah tes/pengujian yang dilakukan kepada orang yang patut dicurigai
mengidap HIV dan AIDS.
39. Lembaga pendidikan adalah lembaga
pendidikan formal mulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi,
baik negeri maupun swasta, serta lembaga pendidikan nonformal seperti diklat
penjenjangan, struktural dan teknis fungsional.
40. Dunia usaha adalah semua organisasi yang
memiliki badan hukum usaha baik yang bergerak pada sektor barang maupun sektor
jasa.
41.
Peran serta masyarakat adalah keterlibatan
masyarakat secara aktif dalam setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam
rangka pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dengan memberikan tenaga,
pikiran, dana, dan kontribusi lainnya.
42.
Organisasi
nonpemerintah adalah lembaga swadaya masyarakat yang disingkat LSM yang
menyelenggarakan kegiatan dalam bidang pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS menurut prinsip dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB II
ASAS, MAKSUD, TUJUAN DAN SASARAN
Pasal 2
Pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS
berasaskan:
1.
Kemanusian;
2.
Keadilan;
3.
Keterpaduan;
4.
Kesetaraan
gender; dan
5.
Keberlanjutan.
Pasal 3
Maksud pengaturan pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS adalah
memberikan landasan hukum dan bentuk komitmen Pemerintah Daerah dalam mengatur,
memfasilitasi serta mengkoordinasikan
upaya pencegahan dan penanggulangan masalah HIV dan AIDS atas partisipasi masyarakat yang optimal.
Pasal 4
Tujuan pengaturan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS adalah:
1.
Tujuan
Umum, yaitu mencegah dan mengurangi penularan HIV dan AIDS, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta
mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu,
keluarga dan masyarakat.
2.
Tujuan
Khusus, yaitu:
a. Menyediakan dan menyebarluaskan informasi
dan menciptakan suasana kondusif untuk mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, dengan
menitikberatkan pencegahan dan penanggulangannya pada
sub-populasi berperilaku risiko tinggi dan lingkungannya dengan tetap
memperhatikan sub-populasi lainnya;
b. Menyediakan dan meningkatkan mutu
pelayanan, perawatan,
pengobatan, dan dukungan kepada ODHA yang terintegrasi dengan upaya pencegahan;
c.
Meningkatkan
peran serta remaja, perempuan, keluarga dan masyarakat umum termasuk ODHA dalam
berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS;
d. Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan
antara lembaga pemerintah, organisasi nonpemerintah, sektor swasta dan dunia usaha, organisasi
profesi, dan mitra internasional di pusat dan di daerah untuk meningkatkan
respons nasional terhadap HIV dan AIDS;
e. Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional
dan daerah serta inisiatif dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
Pasal 5
Sasaran pengaturan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dalam
Peraturan Daerah ini adalah Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, organisasi nonpemerintah, dan masyarakat secara umum di Sulawesi Selatan.
BAB
III
PENCEGAHAN
DAN PENANGGULANGAN
Pasal 6
Kegiatan pencegahan dan penanggulangan meliputi:
1.
Promosi;
2.
Pencegahan;
3.
Konseling
dan tes HIV;
4.
Pengobatan;
5. Perawatan
dan dukungan
6. Kelembagaan;
7. Peran
serta;
8. Pembiayaan; dan
9. Sanksi.
Pasal
7
Lingkup promosi/penyuluhan, meliputi:
1. Kegiatan
promosi dilakukan secara komprehensif, integratif, partisipatif, dan berkesinambungan.
2. Kegiatan
promosi sebagaimana dimaksud pada angka
1, dilakukan melalui:
a. peningkatan komunikasi, informasi,
dan edukasi;
b. upaya perubahan sikap dan perilaku.
3. Kegiatan
promosi sebagaimana dimaksud pada angka
1, dilaksanakan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, organisasi
nonpemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.
Pasal 8
(1) Kegiatan
pencegahan dilakukan secara komprehensif, integratif, partisipatif, dan berkelanjutan, yang meliputi:
a.
pengembangan
kebijakan yang menjamin efektivitas usaha pencegahan dan penanggulangan infeksi
HIV dan AIDS guna melindungi setiap orang dari infeksi HIV termasuk kelompok
rawan/berisiko tinggi.
b.
melakukan program komunikasi, informasi dan
edukasi pencegahan infeksi HIV yang benar, jelas dan lengkap, melalui media
massa, organisasi nonpemerintah, dunia usaha, masyarakat, maupun lembaga
pendidikan yang bergerak di bidang kesehatan secara periodik dan
berkesinambungan.
c.
melakukan pendidikan, pelatihan keterampilan hidup dengan tenaga yang
kompeten untuk menghindari infeksi HIV dan penggunaan Napza melalui lembaga
pendidikan.
d.
melaksanakan penanggulangan penyakit menular
seksual (PMS) secara terpadu dan berkala di tempat-tempat perilaku berisiko
tinggi.
e.
mendorong dan melaksanakan test dan konseling
HIV secara sukarela kepada populasi kunci.
f.
melaksanakan kewaspadaan umum (universal
precaution) pada sarana pelayanan kesehatan dasar, rujukan dan
penunjang milik Pemerintah maupun swasta sehingga dapat mencegah penyebaran
infeksi HIV serta dapat melindungi staf/petugas dan pekerjanya serta pasien lain.
g.
melaksanakan skrining yang standar terhadap HIV
atas seluruh darah, fraksi darah, dan jaringan tubuh yang didonorkan kepada
orang lain.
h.
melaksanakan surveilans epidemiologi HIV, AIDS, IMS dan surveilans perilaku.
i. memfasilitasi pengembangan
penatalaksanaan pelayanan untuk program PMTCT, termasuk pengembangan sumber
daya manusianya.
j. memfasilitasi tersedianya jarum suntik
steril untuk mendukung program harm reduction termasuk program metadhone di
kalangan pengguna napza suntik.
k. menerapkan penggunaan jarum suntik
steril dalam setiap layanan kesehatan dan pemusnahan jarum suntik bekas pakai.
(2)
Kebijakan sebagaimana dimaksud pada angka Ayat (1) dapat dilakukan dengan mengembangkan jejaring untuk:
a.
surveilans
epidemiologi HIV, AIDS, IMS dan surveilans perilaku;
b.
melakukan
pembinaan kewaspadaan umum pada sarana kesehatan;
c.
mengembangkan
sistem dukungan, perawatan dan pengobatan untuk ODHA;
d.
mengembangkan
penggunaan alat pencegah dan alat suntik steril di lingkungan kelompok perilaku risiko tinggi.
Pasal 9
Bagi setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV
dilarang untuk:
1.
Melakukan
hubungan seksual dengan orang lain, kecuali bila pasangannya telah diberitahu
tentang status HIV-nya dan secara sukarela menerima risiko tersebut.
2. Menggunakan secara bersama-sama alat
suntik, alat medis atau alat lain yang patut diketahui
dapat menularkan virus HIV kepada orang lain.
3. Mendonasikan darah dan produk-produk darah, atau organ/jaringan tubuh kepada orang
lain.
4. Melakukan tindakan apa saja yang patut
diketahui dapat menularkan atau menyebarkan infeksi HIV kepada orang lain, baik
dengan bujuk rayu, atau pun kekerasan.
Pasal 10
(1) Kegiatan
konseling dilakukan dalam
bentuk konseling pra testing dan konseling pasca testing.
(2) Kegiatan tes HIV dilakukan berupa:
1.
Test
HIV dilakukan di laboratorium milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta yang ditunjuk.
2.
Prosedur
untuk mendiagnosis infeksi HIV harus dilakukan secara sukarela dan didahului
dengan memberikan informasi yang benar kepada yang bersangkutan (informed concent).
3.
Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan diberikan kewenangan melakukan mandatory
test HIV.
4.
Setiap
orang karena tugas dan pekerjaannya mengetahui atau memiliki informasi tentang
status HIV seseorang wajib merahasiakan, kecuali:
a. jika ada persetujuan/izin yang tertulis
dari orang yang bersangkutan;
b. jika ada persetujuan/izin dari orang tua
atau wali dari anak yang belum cukup umur, cacat atau tidak sadar;
c. jika ada keputusan hakim yang
memerintahkan status HIV seseorang dapat dibuka;
d. jika ada kepentingan rujukan medis atau
layanan medis, dengan komunikasi antar dokter atau fasilitas kesehatan dimana
orang dengan HIV dan AIDS tersebut dirawat;
5.
Tenaga
kesehatan dapat membuka informasi sebagaimana dimaksud pada angka 4 dengan persetujuan ODHA kepada pasangan seksual
dan/atau pengguna alat suntik bersama, bila:
a.
ODHA
telah mendapat konseling yang cukup namun tidak mau atau tidak kuasa untuk
memberitahu pasangan seksual dan/atau pengguna alat
suntik bersama;
b.
tenaga
kesehatan atau konselor telah memberitahu pada ODHA bahwa untuk kepentingan
kesehatan akan dilakukan pemberitahuan kepada
pasangan seksualnya atau pengguna alat suntik bersama;
c.
ada
indikasi bahwa telah terjadi transmisi pada pasangannya;
d. untuk
kepentingan pemberian dukungan pengobatan dan perawatan pada pasangan
seksualnya atau pengguna alat suntik bersama.
Pasal 11
Kegiatan pemberian dukungan, pengobatan dan perawatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 10 angka 5 huruf d, meliputi masing-masing:
1. Pemerintah
dan Pemerintah Daerah melindungi
hak-hak pribadi, hak-hak sipil dan hak asasi ODHA termasuk perlindungan dari kerahasiaan status HIV;
2. Setiap
ODHA dan OHIDHA berhak memperoleh
pelayanan pengobatan dan perawatan serta dukungan tanpa diskriminasi dalam
bentuk apapun;
3.
Perawatan
terhadap penderita HIV dan AIDS didasari kepada nilai luhur kemanusiaan dan
penghormatan terhadap harkat dan martabat hidup manusia;
4.
Seluruh
pelayanan kesehatan dasar, rujukan dan penunjang milik Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah dan swasta tidak boleh menolak memberikan
pelayanan kepada pasien yang terinfeksi HIV;
5.
Penyedia
layanan kesehatan wajib memberikan pelayanan kepada ODHA dan OHIDHA tanpa diskriminasi.
Pasal 12
(1)
Kegiatan pengobatan ODHA dilakukan berdasarkan
pendekatan
a. berbasis klinik; dan
b.
berbasis keluarga, kelompok dukungan serta masyarakat.
(2)
Kegiatan
pengobatan berbasis klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
pada pelayanan kesehatan dasar, rujukan dan layanan
penunjang milik Pemerintah/Pemerintah
Daerah maupun swasta.
(3)
Kegiatan
pengobatan berbasis keluarga, kelompok dukungan, serta masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan di rumah ODHA oleh keluarganya atau
anggota masyarakat lainnya.
Pasal 13
(1) Pemerintah
Daerah dalam melaksanakan pengobatan menyediakan sarana pelayanan kesehatan berupa;
a. pendukung pengobatan;
b. pengadaan obat anti retroviral;
c. obat anti infeksi oportunistik;
d. pengadaan obat Infeksi menular seksual (IMS).
e. dan lain-lain
(2) Ketersediaan sarana pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus
bermutu dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
BAB IV
KELEMBAGAAN
Pasal 14
(1)
KPAP adalah Lembaga Non
Struktural yang merupakan wadah koordinasi, fasilitasi dan advokasi mempunyai
tugas mengkoordinasikan perumusan
kebijakan, strategi dan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka pencegahan
dan penanggulangan HIV dan AIDS.
(2)
Dalam
rangka pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, KPAP membentuk kelompok kerja (Pokja) yaitu:
1.
Pokja
Informasi HIV dan AIDS
di tempat kerja;
2.
Pokja
rumah sakit;
3.
Pokja
harm reduction;
4.
Pokja
care, support, treatment disingkat CST;
5.
Pokja
media;
6.
Pokja
edukasi;
7.
Pokja
agama;
(3) KPAP dalam menyelenggarakan pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS, berkoordinasi dengan Biro Bina Napza dan HIV-AIDS.
(4) Uraian
tugas dan tata cara kerja Pokja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
Pasal 15
(1) Pencegahan
dan penanggulangan HIV dan AIDS dikelola secara terpadu dan sesuai dengan
bidang kerja masing-masing unit terkait dalam pembentukan pokja sebagaimana dimaksud dalam pasal 14.
(2)
Pokja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkewajiban membangun sistem rujukan serta memfasilitasi
dukungan pengobatan, perawatan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan.
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 16
(1) Pemerintah
Daerah memberi ruang dan kesempatan yang sama bagi
masyarakat dan dunia usaha untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara:
a. berperilaku hidup
sehat;
b. meningkatkan ketahanan hidup keluarga untuk
mencegah penularan HIV dan AIDS;
c. tidak melakukan
diskriminasi terhadap ODHA;
d. menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi ODHA dan keluarganya;
e. terlibat dalam kegiatan promosi,
pencegahan, tes dan kerahasiaan, pengobatan, serta
perawatan dan dukungan.
(2) Pemerintah
Daerah menggerakkan
keswadayaan masyarakat untuk memberdayakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS yang dilakukan oleh masyarakat, organisasi nonpemerintah dan dunia usaha.
(3) Dunia usaha atau perusahaan yang
mempekerjakan karyawan lebih 20 (dua puluh) orang sesuai
dengan Undang-undang Ketenagakerjaan wajib membuat program kegiatan pencegahan
dan penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja yang terintegrasi ke dalam program kesehatan dan keselamatan kerja ( K3).
(4) Setiap pemilik hotel dan/atau pengelola tempat hiburan wajib
memberikan informasi atau penyuluhan secara berkala mengenai pencegahan
dan penanggulangan HIV dan AIDS
kepada semua karyawannya.
(5) Setiap pemilik hotel dan/atau pengelola
tempat hiburan wajib memeriksakan karyawannya yang berisiko dan menjadi tanggungjawabnya secara
berkala ke tempat-tempat pelayanan IMS yang disediakan Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga nirlaba dan/atau swasta yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan Provinsi.
(6) Pembiayaan yang timbul akibat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditanggung sendiri oleh masing-masing perusahaan
atau pengelola tempat hiburan.
(7) Masyarakat yang peduli pada pencegahan
dan penanggulangan HIV dan AIDS
dapat berperan serta sebagai Pekerja Penjangkau atau Pendamping kelompok risiko
tinggi.
(8)
Lingkup
kegiatan/upaya pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan KPAP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), dikoordinasikan dan difasilitasi oleh Biro Bina Napza
dan HIV-AIDS.
BAB VI
PEMBIAYAAN
Pasal 17
(1)
Pembiayaan
untuk kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta sumber lain yang sah dan menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Pertanggungjawaban
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah
dan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 18
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah
diberi wewenang khusus sebagai penyidik terhadap pelanggaran Peraturan Daerah
ini.
Pasal 19
(1) Wewenang
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 adalah:
a. menerima,
mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan
tindak pidana agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti,
mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana tersebut;
c. meminta
keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau
badan sehubungan dengan tindak pidana;
d. memeriksa
buku-buku, catatan-catatan dan dokurnen-dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti, pembukuan, pencatatan dan
dokumen-dokumen lain, serta melakukan
penyitaan terhadap barang
bukti tersebut;
f. meminta
bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang
seseorang meninggalkan ruangan
atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas
orang atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
h.
memotret
seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
i.
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
j.
menghentikan
penyidikan;
k.
melakukan
tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana menurut
hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2)
Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya
kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 20
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9, Pasal 11 angka 4 dan angka 5, Pasal 16 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diancam pidana kurungan
paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
(2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), adalah
pelanggaran;
(3) Tindak Pidana terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan penularan HIV dan AIDS selain dimaksud pada ayat (1), diancam pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
(4)
Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), adalah kejahatan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini
sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
Pasal 22
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Ditetapkan
di Makassar
pada
tanggal April 2010
GUBERNUR SULAWESI SELATAN,
SYAHRUL
YASIN LIMPO
Diundangkan di Makassar
pada tanggal April 2010.
SEKRETARIS DAERAH
PROVINSI SULAWESI SELATAN
A. MUALLIM
LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2010 NOMOR
4