PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
NOMOR ....... TAHUN 2013
TENTANG
SISTEM PERLINDUNGAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR SULAWESI SELATAN,
Menimbang : a. bahwa anak adalah Amanah dan Karunia Tuhan
Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya, yang secara fisik, psikis, dan sosial masih bergantung
pada orang tua/keluarga dan masyarakat;
b.
bahwa anak
memiliki hak dasar yang wajib
dipenuhi secara komprehensif sehingga perlu diatur
dalam
suatu sistem perlindungan anak yang akan
menciptakan lingkungan
proteksi bagi anak dari
segala bentuk penelantaran, perlakuan salah,
eksploitasi, dan kekerasan melalui upaya pencegahan, deteksi
dini, dan penanganan secara terpadu dan berkelanjutan;
c.
bahwa penyelenggaraan
perlindungan anak merupakan kewajiban dan
tanggung jawab pemerintah, masyarakat,
dan keluarga sebagaimana diatur pada Pasal 20 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak;
d.
bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan tentang Sistem Perlindungan Anak;
Mengingat :1. Undang-Undang Nomor
47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara dan Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan Utara Tengah (Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 1960
Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2102) yuncto dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun
1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingat I
Sulawesi Tenggara dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960
tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, Tenggara dan Daerah
Tingkat I Sulawesi Utara Tengah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1964 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2687);
2.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1);
3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3890);
4. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3143);
5.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
6.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
8. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
9.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4720);
10.
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4846);
11.
Undang-undang Nomor 37 Tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899);
12.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);
13. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);
14.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
15.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5235);
16.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248);
17.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 153), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332);
18.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indoensia Nomor 4593);
19.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
20.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5107) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 44);
21.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun
2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135);
22.
Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan
dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan;
23.
Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan;
24.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi
Hak Anak;
25.
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 234);
26.
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 235);
27.
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008-2028 (Lembaran Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2008 Nomor 10);
28.
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Gratis (Lembaran Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Nomor 244);
29.
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Gratis Di Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Nomor 246);
30.
Peraturan Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 5 Tahun 2009 tentang Legislasi Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2479);
31.
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1 Tahun 2010 tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 250);
32.
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2010 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Nomor 251);
33.
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 2010 tentang Air Susu Ibu Ekslusif (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 256);
34.
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Nomor 6 Tahun 2012 tentang Partisipasi Pihak Ketiga Dalam Pembangunan Daerah Di Provinsi Sulawesi
Selatan (Lembaran Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2012 Nomor 6);
35.
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesehatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2012 Nomor 7);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
SULAWESI SELATAN
dan
GUBERNUR SULAWESI SELATAN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN
DAERAH TENTANG SISTEM PERLINDUNGAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1.
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Pemerintah Daerah adalah
Gubernur dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
3.
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kotadi Sulawesi Selatan.
4.
Gubernur adalah Gubernur
Sulawesi Selatan.
5.
Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.
6.
Daerah adalah Provinsi
Sulawesi Selatan.
7.
Satuan Kerja Perangkat Daerah
yang selanjutnya disingkat SKPD dan unit kerja adalah SKPD dan unit kerja yang terkait dengan penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
8.
Instansi dan lembaga terkait adalah
lembaga vertikal dan lembaga pemerhati anak yang terkait dalam penyelenggaraan
sistem perlindungan anak.
9.
Rencana Aksi Daerah adalah
pedoman atau acuan bagi semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan sistem perlindungan
anak yang memuat norma, struktur, dan prosedur.
10.
Organisasi masyarakat adalah
organisasi yang didirikan dengan sukarela oleh warga Negara Indonesia yang
dibentuk berdasarkan kesamaan tujuan, kepentingan, dan kegiatan, untuk dapat
berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
11.
Lembaga Pembinaan Khusus Anak
selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa
pidananya.
12.
Lembaga Penempatan Anak
Sementara selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama
proses peradilan berlangsung.
13.
Perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
14.
Perlindungan khusus adalah
perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang
dieksploitasi, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(NAPZA), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan
baik fisik dan/atau mental, anak berkebutuhan khusus, dan anak korban perlakuan
salah dan penelantaran.
15.
Sistem perlindungan anak adalah
suatu kesatuan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, Instansi dan lembaga yang terkait, masyarakat, keluarga, dan orang
tua, dalam penyelenggaraan kesejahteraan anak dan
keluarga, peradilan anak, perubahan perilaku, yang didukung oleh data dan informasi serta hukum dan kebijakan, untuk
menciptakan lingkungan proteksi agar anak terhindar dari
segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
16. Intervensi primer adalah semua langkah
yang diambil pemerintah untuk mencegah terjadinya segala bentuk tindakan
kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran dalam semua situasi
kehidupan anak termasuk anak yang berhadapan dengan hukum dan anak dalam
situasi darurat.
17. Intervensi sekunder adalah semua
langkah yang diambil pemerintah untuk melakukan pencegahan atau intervensi awal
dan deteksi dini atas adanya gejala masalah yang dihadapi anak dan keluarga
dalam kondisi rentan terjadinya segala bentuk tindakan kekerasan, eksploitasi,
perlakuan salah, dan penelantaran dalam semua situasi kehidupan anak termasuk
anak yang berhadapan dengan hukum dan anak dalam situasi darurat.
18. Intervensi tersier adalah semua langkah
yang diambil pemerintah dan masyarakat dalam menangani anak yang telah
mengalami kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran dalam semua
situasi kehidupan anak termasuk anak yang berhadapan dengan hukum dan anak
dalam situasi darurat.
19.
Kesejahteraan anak dan
keluarga adalah keseluruhan proses untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak
dalam pengasuhan, kesejahteraan, perlindungan dan menjamin bimbingan bagi anak
mencakup pelayanan yang komprehensif yang berinteraksi dengan layanan lainnya
seperti agama, pendidikan, kesehatan dan jaringan pengaman sosial.
20.
Peradilan Anak adalah
keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang
dimulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah
menjalani pidana.
21.
Perubahan perilaku adalah tindakan proaktif dan responsif berupa non
verbal atau fisik, keputusan, kebijakan, dan praktik-praktik dari individu,
kelompok dan institusi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, orang tua dan
keluarga.
22.
Data dan informasi
perlindungan anak adalah satu rangkaian proses rutin yang terintegrasi untuk
pengumpulan, analisa, dan interpretasi data dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi program perlindungan anak.
23. Hukum adalah seperangkat aturan yang
mengatur perilaku sosial dan ditegakkan oleh institusi.
24. Kebijakan adalah tindakan yang dipilih
oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan atau untuk tidak melakukan tindakan
dalam rangka penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
25.
Hak anak adalah bagian dari
hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
26.
Anak adalah setiap orang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
27.
Anak Berhadapan dengan Hukum
selanjutnya disingkat ABH, adalah anak yang melakukan
tindak pidana, menjadi korban tindak pidana maupun menjadi saksi dalam tindak
pidana.
28.
Anak berkebutuhan khusus
adalah anak yang mengalami keterbatasan/ keluarbiasaan, baik fisik, mental,
intelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh secara signifikan dalam
proses pertumbuhan atau perkembangan dibandingkan dengan anak-anak lain yang
seusia dengannya.
29.
Anak dari kelompok minoritas
dan terisolasi adalah anak dari kelompok individu yang tidak dominan dengan
ciri khas bangsa, suku bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda dari
mayoritas penduduk, atau jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
penduduk lainnya dari daerah/negara yang bersangkutan dan memiliki
karakteristik etnis, agama, maupun bahasa yang berbeda dan secara implisit
menampakkan sikap solidaritas yang ditujukan pada pelestarian budaya, tradisi,
agama dan bahasa.
30.
Anak dalam situasi darurat
adalah anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana
alam dan anak dalam situasi konflik bersenjata.
31.
Anak yang diperdagangkan
(trafiking) adalah anak yang direkrut, diangkut, ditampung, dikirim,
dipindahkan atau penerimaan seseorang anak dengan cara ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara,
untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan anak tereksploitasi.
32.
Kekerasan terhadap anak adalah
segala bentuk tindakan/perlakuan menyakitkan secara fisik atau pun emosional,
penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi seksual komersial atau pun
eksploitasi lainnya, yang mengakibatkan cidera/kerugian nyata ataupun potensial
terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang atau martabat
anak.
33.
Eksploitasi adalah tindakan
atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memeroleh
keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.
34.
Eksploitasi seksual adalah
segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban
untuk mendapatkan keuntungan tetapi tidak terbatas pada kegiatan pelacuran dan
pencabulan.
35. Perlakuan salah adalah segala perlakuan
terhadap anak yang akibat-akibatnya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang
anak, baik secara fisik, psikososial, maupun mental dan mencakup lebih dari
satu kategori menurut dampak yang
ditimbulkan baik secara seksual, fisik, maupun mental.
36.
Penelantaran
adalah ketidakpedulian orangtua, atau orang yang bertanggung jawab atas anak
pada kebutuhan mereka baik fisik maupun psikis seperti pengabaian pada
kesehatan anak, pengabaian dan penelantaran pada pendidikan anak, pengabaian
pada pengembangan emosi dan spiritual, penelantaran pada pemenuhan gizi,
pengabaian pada penyediaan perumahan, dan pengabaian pada kondisi keamanan dan
kenyamanan.
37. Keadilan restoratif adalah suatu
penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula
dan bukan pembalasan.
38.
Diversi adalah suatu
pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di
luar peradilan pidana.
39.
Orang tua adalah ayah dan/atau
ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
40.
Orang tua asuh adalah orang
tua tunggal atau orang tua selain keluarga yang menerima kewenangan untuk
melakukan pengasuhan anak yang bersifat sementara, tidak terikat dalam hubungan
pengangkatan anak.
41.
Keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau suami istri dan anaknya,
atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis
lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
42.
Wali adalah orang atau badan
yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap
anak.
43.
Masyarakat adalah seluruh
pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai kelompok, dunia usaha, badan
hukum, dan orang perseorangan kecuali orang tua.
44.
Pekerja
sosial adalah sumberdaya manusia yang terdiri dari tenaga kesejahteraan sosial,
pekerja sosial professional, relawan sosial dan penyuluh sosial.
45.
Pengasuhan adalah upaya
untuk mendapatkan kebutuhan akan kasih
sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan
berkelanjutan demi kepentingan terbaik
anak, yang dilaksanakan oleh orang tua atau keluarga atau orang tua
asuh, orang tua angkat, wali serta lembaga pengasuhan sebagai alternatif
terakhir.
46.
Pengasuhan alternatif adalah
pengasuhan berbasis keluarga yang dilakukan oleh orang tua asuh, wali, orang
tua angkat, atau pengasuhan yang berbasis keluarga.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang
lingkup pengaturan dalam peraturan daerah ini
meliputi:
a.
asas, prinsip, dan tujuan;
b.
wewenang
Pemerintah Daerah;
c.
kewajiban
dan tanggung jawab;
d.
sistem perlindungan anak;
e.
kerjasama;
f.
evaluasi dan
pelaporan;
g.
pembiayaan;
h.
koordinasi, pembinaan dan pengawasan; dan
i.
penghargaan;
j.
ketentuan penyidikan;
k.
sanksi;
l.
ketentuan peralihan; dan
m.
ketentuan penutup.
BAB III
ASAS DAN TUJUAN
Bagian
Kesatu
Asas
Pasal 3
Sistem
perlindungan anak berdasarkan asas:
a. pencegahan;
b.
penanganan;
c.
keterpaduan;
d.
nondiskriminasi;
e.
keberpihakan pada anak;
f.
aksesibilitas;
g.
proaktif;
h.
integratif;
i.
akuntabilitas; dan
j.
penghargaan terhadap pendapat anak.
Bagian
Kedua
Tujuan
Pasal 4
Sistem perlindungan anak bertujuan untuk memperkuat lingkungan proteksi bagi anak dari segala bentuk:
a.
kekerasan;
b.
eksploitasi;
c.
perlakuan salah; dan
d.
penelantaran.
BAB IV
WEWENANG PEMERINTAH DAERAH
Pasal 5
(1) Pemerintah Daerah berwenang melakukan:
a. perencanaan
kebijakan dalam penyelenggaraan kesejahteraan dan perlindungan anak;
b. pelaksanaan
kebijakan tentang kesejahteraan dan perlindungan
anak;
c. pengintegrasian
hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan;
d. evaluasi kebijakan tentang kesejahteraan dan perlindungan anak;
e. koordinasi dan fasilitasi dalam penyelenggaraan sistem perlindungan
anak;
f. pembinaan, pembimbingan, konseling serta pengawasan dalam rangka penyelenggaraan sistem perlindungan anak; dan
g. pertanggungjawaban pelaksanaan sistem perlindungan anak.
(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Gubernur.
BAB V
KEWAJIBAN
DAN TANGGUNG JAWAB
Bagian Kesatu
Kewajiban dan Tanggungjawab Pemerintah Daerah
Pasal 6
(1) Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggungjawab:
a.
menghormati, melindungi,
memenuhi dan memajukan hak-hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan
pengasuhan alternatif, kesehatan dan kesejahteraan dasar,
pendidikan dan perlindungan khusus dalam rangka melaksanakan sistem perlindungan anak;
b. membangun data dan informasi dalam penyelenggaraan sistem perlindungan anak yang meliputi
pengumpulan, analisis, dan pemanfaatan data dan informasi;
- mengoordinasikan dan memfasilitasi pelaksanaan sistem perlindungan anak antar SKPD/Unit
Kerja lingkup Pemerintah Daerah,
Instansi,
lembaga lain, organisasi
masyarakat, serta kelompok kerja lainnya
yang terkait dengan perlindungan anak;
- melaksanakan intervensi
primer, intervensi sekunder, dan intervensi
tersier dalam penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
- mengembangkan
perlindungan anak berbasis keluarga dan komunitas dengan menyediakan dan
mengefektifkan tenaga kesejahteraan sosial;
- meningkatkan kapasitas pelaksana sistem perlindungan
anak pada Pemerintah Daerah dan Pemerintah
Kabupaten/Kota;
- melakukan pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan
sistem perlindungan anak yang
dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota;
- menyediakan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan sistem perlindungan anak; dan
- mengembangkan partisipasi anak sesuai
dengan usia dan kematangannya.
(2) Pemenuhan
dan pemajuan hak-hak sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi
antara lain:
a. Akta
kelahiran; dan
b.
Kartu Tanda Penduduk bagi anak yang telah berusia
17 tahun.
(3) Tata cara penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
Bagian Kedua
Tanggung
Jawab dan Peran Serta Masyarakat
Pasal
7
(1) Masyarakat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
sistem perlindungan anak.
(2)
Tanggung jawab masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a.
mendukung upaya-upaya pengasuhan untuk tumbuh kembang anak;
b.
menghormati harkat
dan martabat anak;
c.
melindungi dan mencegah, serta tidak
membiarkan terjadinya perlakuan
salah, penelantaran, eksploitasi dan kekerasan terutama kepada anak-anak yang
membutuhkan perlindungan khusus;
d.
melindungi dan mencegah anak
berhadapan dengan hukum;
e.
melindungi dan mencegah, serta
tidak membiarkan terjadinya pernikahan dini;
f.
menghormati
pandangan anak dalam kehidupan masyarakat dan lingkungannya; dan
g.
menghindarkan keterpisahan anak dari keluarga.
Pasal 8
(1) Masyarakat berhak berperan serta seluas-luasnya dalam penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
(2) Peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a.
keterlibatan dalam musyawarah
mufakat untuk terciptanya keadilan restorasi bagi anak yang berhadapan dengan
hukum melalui jalur informal dan dilaksanakan pada tingkat Pemerintahan Desa/Kelurahan;
b.
melakukan promosi tentang
perlindungan anak sebagai upaya penyadaran sikap dan perilaku sosial masyarakat
untuk perlindungan anak;
c.
mengidentifikasi/deteksi dini
terhadap anak yang rentan mengalami kekerasan, eksploitasi, perlakukan salah,
dan penelantaran, termasuk anak berhadapan dengan hukum dan anak dalam situasi
darurat;
d.
mediasi dan bimbingan bagi
keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, konflik rumah tangga, dan
perceraian; dan
e.
menyediakan dana dan atau
barang dan atau jasa sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosial dalam rangka
pelaksanaan sistem perlindungan anak.
(3) Untuk
mendorong pemenuhan tanggungjawab dan hak peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) dan pada ayat (2) pasal ini, Pemerintah Daerah
melakukan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, serta monitoring dan evaluasi.
(4)
Tata cara
pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Gubernur.
Bagian Ketiga
Tanggungjawab Orang Tua
Pasal 9
(1)
Orang tua bertanggung jawab mendukung penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a.
mengasuh, memelihara, dan
melindungi anak;
b.
menumbuhkembangkan anak sesuai
dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c.
menghormati harkat dan martabat anak;
d.
melindungi dan mencegah, serta tidak
membiarkan terjadinya perlakuan
salah, penelantaran, eksploitasi dan kekerasan terutama kepada anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus;
e.
melindungi dan mencegah anak berhadapan dengan hukum;
f.
melindungi dan mencegah,
serta tidak membiarkan terjadinya pernikahan dini;
g.
menghormati pandangan anak
dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan lingkungannya;
h.
memberikan dukungan ekonomi, sosial, pendidikan dan kesehatan, serta mental dan spiritual; dan
i.
menghindarkan keterpisahan anak dari keluarga.
(3)
Untuk mendorong pemenuhan
tanggungjawab orangtua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah
melakukan sosialisasi dan fasilitasi.
(4)
Tata cara pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Gubernur.
BAB VI
SISTEM PERLINDUNGAN ANAK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 10
(1) Sistem perlindungan
anak terdiri atas:
a. kesejahteraan anak dan keluarga;
b. dukungan
intervensi dan fasilitasi peradilan anak; dan
c. perubahan perilaku.
(2)
Penyelenggaraan sistem perlindungan anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didukung
data dan informasi;
(3) Data dan
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam rangka menentukan bentuk intervensi dan/atau kebijakan.
Pasal 11
(1) Penyelenggaraan
sistem perlindungan anak dapat dilakukan melalui:
a. intervensi primer;
b. intervensi sekunder; dan
c.
intervensi tersier.
(2) Tata cara
penyelenggaraan intervensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
Bagian Kedua
Kesejahteraan Sosial Anak dan Keluarga
Paragraf 1
Intervensi Primer
Pasal 12
(1)
Intervensi primer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, meliputi:
a. promosi;
b. penguatan; dan
c. peningkatan kapasitas perlindungan anak.
(2)
Promosi, penguatan dan
peningkatan kapasitas perlindungan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a.
komunikasi, informasi dan
edukasi kepada masyarakat tentang hak dan perlindungan
anak;
b.
pengembangan dan penguatan pengasuhan keluarga dan pengasuhan alternatif untuk menghormati harkat dan martabat
anak; dan
c.
peningkatan kapasitas bagi
orang tua, keluarga dan masyarakat tentang pencegahan perlakuan salah, penelantaran,
eksploitasi dan kekerasan pada anak.
(3)
Intervensi primer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a.
Gubernur melalui SKPD/Unit Kerja terkait; dan
b.
Bupati/Walikota melalui SKPD/Unit Kerja terkait.
(4) SKPD/Unit
Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri atas SKPD/Unit
Kerja yang membidangi:
a. perencanaan
pembangunan daerah;
b. pendidikan;
c. kesehatan;
d. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
e. sosial;
f. tenaga kerja;
g. penanggulangan
bencana;
h. pemberdayaan masyarakat;
i. mental dan
spiritual;
j. NAPZA dan
HIV/AIDS;
k. kesejahteraan
rakyat;
l. pariwisata;
m. pertanian;
n. peternakan;
o. perikanan;
p. pertambangan;
q. perkebunan;
r. perindustrian
dan perdagangan; dan
s.
koperasi dan UKM.
(5)
Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), intervensi primer juga dapat dilakukan oleh instansi dan lembaga lain yang
terkait.
(6)
Dalam penyelenggaraan intervensi primer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melibatkan orang tua, keluarga, dan
masyarakat.
(7)
Intervensi primer sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan secara sistematis dan integratif, dengan berpedoman pada Rencana
Aksi Daerah.
(8) Rencana
Aksi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Gubernur.
Paragraf 2
Intervensi sekunder
Pasal 13
(1)
Intervensi sekunder sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, meliputi:
a. identifikasi dan/atau deteksi
dini terhadap anak yang berasal dari keluarga rentan;
b. mediasi dan konseling bagi keluarga rentan;
c. fasilitasi peningkatan keterampilan dalam mendidik dan melindungi anak bagi keluarga rentan;
d. layanan dukungan keluarga;
e. perlindungan dan perawatan anak dalam situasi darurat;
f.
menghindarkan keterpisahan
anak dari keluarga kecuali dalam kasus yang dengan jelas bertentangan dengan
kepentingan terbaik anak;
g. pengalihan pengasuhan anak dari keluarga inti mengutamakan
pengasuhan dalam keluarga lain/pengganti dan
pengasuhan pada lembaga kesejahteraan sosial anak sebagai alternatif terakhir.
(2) Intervensi sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a.
Gubernur melalui SKPD/unit kerja terkait; dan
b.
Bupati/Walikota melalui SKPD/unit kerja terkait.
(3) SKPD/Unit
Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas SKPD/Unit
Kerja yang membidangi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
d. sosial;
e. tenaga kerja;
f. penanggulangan
bencana;
g. pemberdayaan masyarakat;
h. mental dan
spiritual;
i. pertanian;
j. peternakan;
k. perikanan;
l. perkebunan;
m. pertambangan;
n. perindustrian
dan perdagangan; dan
o.
koperasi dan UKM.
(4)
Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), intervensi sekunder juga dapat dilakukan oleh instansi dan lembaga lain
yang terkait.
(5)
Dalam penyelenggaraan intervensi sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melibatkan orang tua, keluarga, dan masyarakat.
(6)
Intervensi sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan secara sistematis dan integratif, dengan berpedoman pada Rencana
Aksi Daerah.
(7) Rencana
Aksi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Gubernur.
Paragraf 3
Intervensi Tersier
Pasal
14
(1) Intervensi tersier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, meliputi:
a.
penanganan kasus yang dilakukan
melalui sistem terpadu satu atap atau sistem rujukan;
b.
reunifikasi keluarga, reintegrasi sosial, dan rehabilitasi dilakukan
berdasarkan kepentingan terbaik anak;
c.
pemantauan terhadap
perkembangan kemajuan penanganan kasus anak; dan
d.
layanan dukungan keluarga.
(2) Dalam melaksanakan intervensi tersier sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyiapkan:
a.
tempat pengaduan;
b.
tempat layanan rujukan; dan
c.
tempat perlindungan
sementara;
(3)
Pelayanan perlindungan anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dilakukan berdasarkan standar operasional prosedur
tempat perlindungan sementara.
(4) Intervensi tersier
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a.
Gubernur melalui SKPD/unit kerja terkait;
b.
Bupati/Walikota melalui SKPD/unit kerja terkait;
dan
c.
Masyarakat.
(5) SKPD/unit
kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, terdiri atas SKPD/Unit
Kerja yang membidangi:
a.
pendidikan;
b.
kesehatan;
c.
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
d.
sosial;
e.
tenaga kerja;
f.
penanggulangan bencana;
g.
pemberdayaan masyarakat;
h.
mental dan spiritual;
i.
Napza dan HIV/AIDS;
j.
pertanian;
k.
peternakan;
l.
perikanan;
m. perindustrian
dan perdagangan; dan
n.
koperasi dan UKM.
(6) Selain SKPD/Unit
Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5), intervensi tersier juga dapat
dilakukan oleh instansi dan lembaga lain yang terkait.
(7) Dalam penyelenggaraan intervensi tersier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan orang tua, dan keluarga.
(8) Intervensi
tersier sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara sistematis dan
integratif, dengan berpedoman pada Rencana Aksi Daerah.
(9) Rencana
Aksi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (8), diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Gubernur.
Bagian Ketiga
Dukungan
Intervensi dan Fasilitasi Dalam Peradilan Anak
Paragraf 1
Intervensi Primer
Pasal 15
(1) Intervensi primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a,
meliputi:
a. peningkatan kapasitas aparat dan masyarakat; dan
b. pencegahan anak
agar tidak terlibat dalam masalah hukum.
(2) Peningkatan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dilakukan dalam bentuk:
a. seminar;
b. pendidikan;
c. pelatihan;
d.
workshop; dan
e. lokakarya.
(3) Peningkatan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan di bidang:
a. instrumen hak dan
perlindungan anak;
b. anak
berhadapan dengan hukum;
c. perkembangan dan psikologi anak;
d. kesetaraan dan keadilan gender; serta
e.
diversi dan keadilan
restorasi;
(4) Materi peningkatan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan.
(5) Intervensi primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
oleh:
a.
Gubernur melalui SKPD/Unit Kerja terkait; dan
b.
Bupati/Walikota melalui SKPD/Unit Kerja terkait.
(6) SKPD/Unit
Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, terdiri atas SKPD/Unit
Kerja yang membidangi:
a.
pendidikan;
b.
kesehatan;
c.
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
d.
sosial;
e.
tenaga kerja;
f.
pemberdayaan masyarakat;
g.
mental dan spiritual;
h.
Napza dan HIV/AIDS; dan
i.
hukum dan HAM.
(7)
Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(6), intervensi primer juga dapat dilakukan oleh instansi dan lembaga lain yang
terkait.
(8)
Dalam penyelenggaraan
intervensi primer sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), melibatkan orang tua,
keluarga, dan masyarakat.
(9)
Intervensi primer sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan secara sistematis dan integratif, dengan berpedoman pada Rencana
Aksi Daerah.
(10) Rencana
Aksi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Gubernur.
Paragraf
2
Intervensi
Sekunder
Pasal
16
(1) Intervensi
sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, meliputi:
a. deteksi
dini dan pengurangan resiko pada wilayah-wilayah yang rawan terjadi tindak
pidana anak.
b.
peningkatan
efektifitas pencegahan agar anak tidak terlibat dengan masalah hukum pada
wilayah-wilayah rawan.
(2) Intervensi sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
oleh:
a.
Gubernur melalui SKPD/Unit Kerja terkait; dan
b. Bupati/Walikota
melalui SKPD/Unit Kerja terkait.
(3) SKPD/Unit
Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas SKPD/Unit
Kerja yang membidangi:
b. pendidikan;
c. kesehatan;
d. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
e. sosial;
f. pemberdayaan masyarakat;
g. pertanian;
h. peternakan;
i. perikanan;
j. perindustrian dan perdagangan;
k. koperasi dan UKM;
l. mental dan
spiritual;
m. Napza dan
HIV/AIDS; dan
n.
hukum dan HAM.
(4) Selain SKPD/Unit Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), intervensi sekunder juga dapat dilakukan oleh instansi dan lembaga lain yang terkait.
(5) Dalam penyelenggaraan intervensi sekunder sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, berkoordinasi
dan bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan melibatkan orang tua, keluarga, serta masyarakat.
(6) Intervensi sekunder
sebagaimana dimaksud ayat (1), dilakukan secara sistematis dan integratif, dengan
berpedoman pada Rencana Aksi Daerah.
(7) Rencana
Aksi Daerah sebagaimana dimaksud ayat (6), diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Gubernur.
Paragraf 3
Intervensi Tersier
Pasal 17
(1) Intervensi tersier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, meliputi:
a.
mengutamakan penyelesaian secara diversi bagi anak berhadapan hukum sebagai pelaku; dan
b. kewajiban membangun
lingkungan proteksi bagi anak berhadapan hukum dalam sistem peradilan formal.
(2) Penyelesaian
secara diversi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, menekankan pada:
a.
kepentingan
terbaik anak melalui keadilan restorative;
b.
rehabilitasi;
c.
pembinaan; dan
d.
pemulihan hubungan
baik antara pelaku, korban dan masyarakat.
(3) Membangun lingkungan
proteksi dalam sistem peradilan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, menggunakan prosedur ramah anak dan responsif gender.
(4) Intervensi
tersier sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan instansi penegak hukum berkoordinasi
dan bekerjasama dengan SKPD/Unit Kerja terkait, dan masyarakat.
(5) SKPD/Unit
Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4), terdiri atas SKPD/Unit
Kerja yang membidangi:
- pendidikan;
- kesehatan;
- pemberdayaan perempuan
dan perlindungan anak;
- sosial;
- mental dan spiritual; dan
- hukum
dan HAM.
(6) Selain
SKPD/Unit Kerja terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (5), intervensi tersier
juga dapat dilakukan oleh lembaga lain yang terkait, dengan melibatkan orang tua, dan keluarga.
Paragraf 4
Fasilitasi
Pasal 18
(1)
Pemerintah
Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mendukung:
a.
penyediaan
layanan bantuan hukum secara cuma-cuma;
b.
penyediaan
layanan bantuan pendidikan secara cuma-cuma;
c.
penyediaan
layanan bantuan kesehatan secara cuma-cuma;
d.
penempatan anak yang sedang menjalani proses
peradilan pada LPAS yang tersedia dan telah disediakan oleh Pemerintah; dan
e.
penempatan anak yang
menjalani masa pemidanaan pada LPKA yang tersedia dan telah disediakan oleh Pemerintah.
(2)
Penyediaan layanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan bantuan pembiayaan sesuai dengan
kemampuan keuangan daerah.
(3) Penyelenggaraan layanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh SKPD/Unit
Kerja yang membidangi masing-masing:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
d. sosial;
e. mental dan
spiritual; dan
f. hukum dan
HAM.
(4) Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), penyediaan layanan juga dapat dilakukan oleh instansi dan lembaga
lain yang terkait.
(5)
LPAS dan LPKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e, belum tersedia maka penyediaan layanan
dapat difasilitasi oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
(6) Tata cara penyelenggaraan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Gubernur.
Bagian Keempat
Perubahan Perilaku
Pasal 19
(1) Perubahan
perilaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c, meliputi:
a. perubahan
cara berfikir;
b. perubahan
cara bersikap; dan
c. perubahan
cara bertindak.
(2)
Perubahan perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a. Gubernur
melalui seluruh SKPD/Unit Kerja; dan
b. Bupati/Walikota
melalui seluruh SKPD/Unit Kerja.
(3) Selain
SKPD/Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, perubahan perilaku
juga dapat dilakukan oleh seluruh instansi dan lembaga lain yang terkait,
dengan melibatkan masyarakat, keluarga, orang tua, dan anak.
(4)
Perubahan perilaku
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dengan mempertimbangkan budaya dan nilai-nilai positif
masyarakat Sulawesi Selatan.
(5)
Perubahan perilaku
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terintegrasi ke dalam setiap
intervensi primer, sekunder dan tersier.
(6)
Tata cara integrasi
perubahan perilaku sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
Bagian
Kelima
Data
Dan Informasi
Pasal 20
(1) Data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (2), tentang:
a.
prevalensi faktor resiko;
b.
prevalensi kasus;
c.
cakupan kasus; dan
d. evaluasi program dan layanan.
(2) Data dan
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan untuk:
a. menentukan bentuk intervensi primer, sekunder, dan
tersier yang akan dilakukan;
b. memberi kejelasan tentang penyebab, karakteristik, dan
kecenderungan, permasalahan perlindungan anak;
c. perencanaan kebijakan dan program perlindungan anak;
d. pengalokasian anggaran untuk program perlindungan anak; dan
e. monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program
perlindungan anak.
(3) Penyusunan data dan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a. SKPD/Unit Kerja terkait
tingkat provinsi; dan
b. SKPD/Unit Kerja terkait tingkat kabupaten/kota.
(4) Selain SKPD/Unit
Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, penyusunan data dan informasi juga dapat dilakukan oleh seluruh instansi dan lembaga lain yang terkait,
dengan melibatkan masyarakat, keluarga, orang tua, dan anak.
(5) Penyusunan data dan
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menggunakan perangkat
teknologi informasi.
(6) Pengolahan
data dan informasi dalam penyelenggaraan sistem perlindungan anak secara teknis dikoordinasikan
oleh SKPD/Unit Kerja yang membidangi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
(7) Tata cara penyusunan
serta pengkoordinasian data dan informasi perlindungan anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6), diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Gubernur.
Pasal 21
(1) Masyarakat berhak memeroleh akses layanan informasi tentang penyelenggaraan
sistem perlindungan anak.
(2)
Layanan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat diakses pada SKPD/Unit Kerja, instansi dan lembaga lain yang
terkait.
(3)
Publikasi data dan informasi dapat melalui media
cetak dan elektronik.
(4)
Masyarakat yang tidak
mendapatkan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat melaporkan kepada lembaga atau instansi
yang membidangi pengaduan pelayanan publik.
BAB VII
Kerjasama
Pasal 22
(1)
Penyelenggaraan sistem
perlindungan anak dapat dilakukan melalui bentuk kerjasama.
(2)
Kerjasama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan oleh dan antar:
a.
Pemerintah Pusat;
b.
Pemerintah Provinsi;
c.
Pemerintah Kabupaten/Kota;
d.
Organisasi Masyarakat;
e.
Dunia usaha;
f.
Kepolisian;
g.
Kejaksaan;
h.
Kehakiman;
i.
Pengadilan;
j.
Lembaga Keagamaan;
k.
BAPAS;
l.
LPAS;
m. LPKA; dan
n. Perguruan Tinggi.
(3)
Kerjasama sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), didasarkan pada perjanjian kerjasama.
(4)
Perjanjian kerjasama
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memuat sekurang-kurangnya:
a. Pembiayaan
penyelenggaraan sistem perlindungan anak; dan
b.
Penyediaan fasilitas penyelenggaraan sistem
perlindungan anak.
(5)
Ketentuan lebih lanjut tentang kerjasama
penyelenggaran sistem perlindungan anak diatur dan disetujui bersama oleh
masing-masing pihak.
BAB VIII
EVALUASI DAN PELAPORAN
Pasal 23
(1) Evaluasi
atas penyelenggaraan sistem perlindungan anak dilakukan untuk mengukur tingkat pencapaian penyelenggaraan
sistem perlindungan anak.
(2)
Evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan melalui rapat koordinasi dan
konsolidasi.
(3)
Rapat koordinasi dan
konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan paling sedikit 2 (dua) kali setiap tahun.
(4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
a. Gubernur melalui SKPD/Unit Kerja
terkait; dan
b. Bupati/Walikota
melalui SKPD/Unit Kerja terkait.
(5)
Pelaksanaan
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, secara teknis dikoordinasikan oleh SKPD/Unit Kerja yang membidangi
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
(6) Tata cara evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
Pasal 24
(1) Capaian penyelenggaraan sistem perlindungan anak:
a. Tingkat
Kabupaten/Kota dilaporkan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur;
dan
b.
Tingkat
Provinsi dilaporkan oleh Gubernur kepada Pemerintah melalui Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
(2)
Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), disampaikan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali setiap 3 (tiga)
bulan.
(3)
Capaian penyelenggaraan sistem perlindungan anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat
diakses oleh masyarakat.
(4)
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), secara teknis dikoordinasikan oleh SKPD/Unit Kerja
yang membidangi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
(5) Tata cara
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur
BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 25
(1) Biaya
penyelenggaraan sistem perlindungan anak bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Provinsi;
b.
Anggara Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota; dan
c. Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.
(2) Biaya penyelenggaraan sistem perlindungan anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, didasarkan pada:
a.
Kemampuan keuangan daerah;
b. Nota
Kesepahaman antar Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(3) SKPD/Unit
Kerja, instansi dan lembaga lain yang terkait dengan penyelenggaraan sistem
perlindungan anak wajib mengelola dan mempertanggungjawabkan anggaran
penyelenggaraan sistem perlindungan anak.
BAB X
KOORDINASI,
PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN
Bagian
Kesatu
Koordinasi
Pasal 26
(1) Koordinasi penyelenggaraan sistem perlindungan anak
dimaksudkan untuk menciptakan:
a.
Efisiensi; dan
b.
Efektivitas.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
oleh:
- Gubernur melalui seluruh SKPD/Unit Kerja;
- Bupati/Walikota melalui seluruh SKPD/Unit Kerja;
- Instansi dan lembaga lain;
- Organisasi Masyarakat; dan
- Kelompok kerja lainnya.
(3) Tata cara pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Gubernur.
Bagian
Kedua
Pembinaan
Pasal
27
(1) Pembinaan dalam penyelenggaraan sistem
perlindungan anak dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas intervensi dalam kesejahteraan
anak dan keluarga, peradilan anak, maupun upaya-upaya perubahan perilaku.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan oleh:
a.
Gubernur
melalui seluruh SKPD/Unit Kerja; dan
b.
Bupati/Walikota
melalui seluruh SKPD/Unit Kerja.
(3) Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, pembinaan juga dapat dilakukan
oleh instansi dan lembaga lain,
dengan melibatkan masyarakat, keluarga, orang tua, dan anak.
(4) Tata
cara pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
Bagian Ketiga
Pengawasan
Pasal 28
(1) Pengawasan dalam sistem perlindungan
anak dimaksudkan agar penyelenggaraan intervensi dalam kesejahteraan anak dan
keluarga, peradilan anak, dan perubahan perilaku, telah berjalan sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan oleh:
a. Gubernur melalui SKPD/Unit Kerja; dan
b. Bupati/Walikota melalui SKPD/Unit Kerja.
(3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan oleh SKPD/Unit Kerja yang membidangi pengawasan.
(4) Selain SKPD/Unit Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), pengawasan juga dapat dilakukan oleh instansi dan
lembaga lain yang terkait, masyarakat, keluarga, orang tua, dan anak.
(5) Tata
cara pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Gubernur.
BAB XI
PENGHARGAAN
Pasal 29
(1)
Masyarakat, dan/atau lembaga yang secara nyata memberikan
kontribusi dalam penyelenggaraan sistem
perlindungan anak dapat diberikan penghargaan.
(2)
Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa :
a.
Piagam; dan/atau
b.
Bentuk lain.
(3)
Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), diberikan oleh Gubernur dan/atau Bupati/Walikota.
(4)
Tata cara pemberian penghargaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
BAB XII
KETENTUAN
PENYIDIKAN
Pasal
30
(1) Selain Penyidik
Polisi Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah di
lingkungan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang
perlindungan anak, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang:
a. melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana dalam kegiatan pengelolaan anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan
anak;
b. melakukan
pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam
kegiatan pengelolaan anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
c. memanggil
dan/atau mendatangkan secara paksa orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana atas kegiatan pengelolaan
anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
d. menggeledah
tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana
dalam kegiatan pengelolaan anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
e. melakukan
pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan dan menghentikan penggunaan peralatan
yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan pengelolaan
anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
f. menyegel
dan/atau menyita alat kegiatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam
kegiatan pengelolaan anggaran penyelenggaraan sistem perlindungan anak sebagai
alat bukti; dan/atau
g. mendatangkan
dan/atau meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan pengelolaan anggaran
penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
Pasal
31
(1) Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dapat membantu
mengamankan pelaku tindak pidana dalam kegiatan pengelolaan anggaran
penyelenggaraan sistem perlindungan anak;
(2) Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulai
penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang
berlaku;
(3) Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menghentikan
penyidikannya dalam hal tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan
merupakan tindak pidana; dan
(4) Pelaksanaan
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
BAB XIII
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Administrasi
Pasal 32
(1) Gubernur,
Bupati atau Walikota sesuai kewenangannya, dapat memberikan sanksi administrasi kepada:
a.
SKPD/Unit Kerja yang terkait dengan penyelenggaraan
sistem perlindungan anak; dan
b.
Instansi dan lembaga lain yang terkait dengan penyelenggaraan
sistem perlindungan anak.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat
berupa:
a.
peringatan lisan; dan/atau
b.
peringatan tertulis.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dapat berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
penghentian sementara dari kegiatan;
c.
pemutusan kerjasama;
d.
pencabutan surat keterangan terdaftar;
e.
pencabutan ijin operasional;
f.
penarikan fasilitas; dan/atau
g.
pengenaan denda.
(4)
Penerapan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3), dilakukan secara berjenjang sesuai kualifikasi dan tingkat
pelanggaran yang dilakukan.
(5) Tata cara pemberian
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Gubernur.
Bagian
Kedua
Sanksi
Pidana
Pasal
33
(1)
Setiap orang dan badan
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), dikenakan sanksi berupa denda
paling banyak Rp.50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) atau pidana kurungan
paling lama 6 (Enam) bulan.
(2)
Dalam hal perbuatan pidana
yang dilakukan dikualifikasikan sebagai kejahatan, maka dikenakan sanksi pidana
dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB
XIV
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 34
(1) Paling lama
1 (satu) tahun setelah berlakunya
Peraturan Daerah ini Pemerintah Kabupaten/Kota menindaklanjuti secara selaras dalam
bentuk pengaturan untuk penyelenggaraan sistem perlindungan anak di daerah masing-masing.
(2) Dalam hal
Kabupaten/Kota yang telah membentuk Peraturan Daerah Tentang Perlindungan Anak,
maka dilakukan penyesuaian atas substansi pengaturan dan keselarasannya paling
lama 1 (satu) tahun setelah
berlakunya Peraturan Daerah ini.
BAB
XV
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
35
Gubernur dalam menyelenggarakan koordinasi, pembinaan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, pasal 27, dan pasal 28, dilakukan
baik dalam kedudukannya sebagai Kepala Daerah maupun sebagai Wakil Pemerintah
di Daerah.
Pasal
36
Peraturan Gubernur tentang pelaksanaan Peraturan
Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Peraturan
Daerah ini.
Pasal 37
Peraturan Daerah ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Ditetapkan
di Makassar
pada
tanggal Maret 2013.
GUBERNUR
SULAWESI SELATAN,
SYAHRUL YASIN LIMPO
Diundangkan di Makassar
pada tanggal Maret 2013.
SEKRETARIS DAERAH
PROVINSI SULAWESI SELATAN,
A. MUALLIM
LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN
2013 NOMOR
LEMBARAN DAERAH PROVINSI
SULAWESI SELATAN TAHUN 2012 NOMOR ...
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
NOMOR........TAHUN……..
TENTANG
SISTEM PERLINDUNGAN ANAK
I.
UMUM
Anak adalah Amanah dan Karunia Tuhan Yang Maha
Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya,
dan belum matang secara fisik, mental, seksual, moral, spiritual dan sosial,
sehingga secara sosial-budaya anak tidak hanya bergantung pada orang
tua/keluarga juga pada sistem yang berlaku di masyarakat. Sebagai manusia, anak
memiliki hak asasi yang
harus dihormati, dipromosikan,
dipenuhi, dan dilindungi.
Sebagai tunas yang
potensial dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, anak memiliki
ciri dan sifat khusus serta peran strategis yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan eksistensi
bangsa dan negara di masa depan.
Pasal 34 Undang-Undang
Dasar 1945 mengamanatkan negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak
terlantar. Oleh karena itu, promosi, penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan
anak mutlak diwujudkan oleh negara agar anak tumbuh dan berkembang secara
wajar, serta mendapat perlindungan yang memadai dari negara.
Perlindungan anak merupakan salah satu urusan
wajib Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan
pelayanan dasar. Karena itu, Pemerintah Daerah perlu mengembangan sistem
perlindungan anak yang efektif untuk menjamin semua anak berada dalam
lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangannya.
Dalam rangka mewujudkan Visi Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2008-2013 menjadi sepuluh provinsi terbaik dalam
pemenuhan hak dasar termasuk hak dasar anak, dimana perlindungan anak yang efektif harus menggunakan
pendekatan sistem guna menciptakan lingkungan yang protektif untuk melindungi
anak-anak dari segala bentuk kekerasan,
eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran, termasuk anak
berhadapan dengan hukum dan anak dalam situasi darurat. Sistem perlindungan
anak terdiri dari tiga komponen utama yang saling terkait yaitu kesejahteraan
sosial bagi anak dan keluarga, peradilan anak, dan perubahan perilaku
sosial. Ketiga komponen tersebut didasarkan pada hukum dan kebijakan dan didukung dengan data
dan informasi.
Peraturan Daerah ini
mengatur sistem perlindungan anak dengan menekankan pada komponen sistem
kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga, peradilan anak,
dan data dan informasi. Sistem kesejahteraan sosial dan anak dititikberatkan
pada intervensi primer, intervensi sekunder, dan intervensi tersier. Peradilan anak
menekankan diversi dan keadilan restoratif dengan menguatkan peran masyarakat dalam melakukan
advokasi terhadap aparat penegak hukum dan memfasilitasi penyelesaian kasus
anak berhadapan dengan hukum secara musyawarah dan mufakat. Sedangkan data dan
informasi menitikberatkan pada pengumpulan data secara terstruktur dan
pemanfaatan data dan informasi untuk pembuatan kebijakan, perencanaan,
penganggaran, dan monitoring-evaluasi perlindungan anak.
Pelaksanaan perlindungan
anak dengan menggunakan pendekatan sistem merupakan kewajiban dan tanggung
jawab Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota,
di dalamnya termasuk memperkuat orangtua, keluarga, dan masyarakat untuk
bertanggungjawab dan berperan dalam perlindungan anak.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup
Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud pencegahan adalah penciptaan kondisi untuk menghindarkan anak
dari hal yang memungkinkan terjadinya kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran.
Huruf b
Yang dimaksud penanganan adalah upaya yang dilakukan secara langsung untuk
menyelesaikan permasalahan yang terkait
dengan kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran.
Huruf c
Yang dimaksud keterpaduan adalah pelibatan semua pihak yang terkait dengan
sistem perlindungan anak
Huruf d
Yang dimaksud nondiskriminasi adalah tidak memandang ras, warna kulit,
jenis kelamin,bahasa agama, pandangan politik, asal usul bangsa, suku bangsa atau sosial, harta kekayaan, disabilitas, kelahiran atau status lain dari anak atau dari orang tua
anak atau walinya yang sah menurut
hukum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan keberpihakan
pada anak adalah semua tindakan yang menyangkut anak, yang terbaik bagi
anak harus menjadi pertimbangan utama
antara lain menjamin kerahasiaan, beretika, menghargai martabat
dan pandangan anak, pemenuhan seluruh hak anak secara
holistik dan terintegrasi
Huruf f
Yang dimaksud dengan aksesibilitas adalah ukuran kemudahan yang meliputi waktu, biaya dan lokasi dengan jarak tempuh yang terjangkau
Huruf g
Yang dimaksud dengan proaktif adalah
dorongan atau motivasi diri untuk
melakukan tindakan nyata yang didasarkan atas tingkat intelegensi, keberanian
dan kekuatan diri untuk mencapai tujuan
Huruf h
Yang dimaksud dengan integratif adalah keterpaduan hubungan antar dan lintas pemangku kepentingan baik
prinsip dan mekanisme kerja yang ada
Huruf i
Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah seluruh pembuat kebijakan pada
semua tingkatan harus mempertanggung jawabkan hasil kerja kepada masyarakat;
Huruf j
Yang
dimaksud dengan penghargaan terhadap pendapat anak adalah mendengarkan dan
menghargai kemampuan anak untuk menyatakan secara bebas pandangannya mengenai semua
hal yang menyangkut dirinya, dengan
bobot dan nilai sesuai dengan usia dan
kematangannya.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan lingkungan proteksi adalah tatanan yang terbangun atas
komitmen dan kerjasama berbagai pemangku kepentingan untuk mendorong adanya
kebijakan pemerintah, kesadaran masyarakat, layanan pencegahaan dan penanganan,
mengembangkan keterampilan hidup anak, menyediakan ruang partisipasi anak,
monitoring dan pelaporan untuk
menciptakan pemerintahan yang memperhatikan hak dan perlindungan anak dengan
mewujudkan aturan-aturan.
Perlakuan salah, penelantaran, eksploitasi dan
kekerasan bisa dialami sebagian atau seluruhnya pada anak yang rentan antara
lain:
Anak terlantar yaitu anak yang tidak
terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun
sosial;
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang
mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan
perkembangannya secara wajar;
Anak yang memiliki keunggulan yaitu anak
yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat
istimewa;
Anak angkat yaitu anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan; dan
Anak asuh yaitu anak yang
diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan,
perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang
tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup
jelas
Huruf c
Cukup
jelas
Huruf d
Cukup
jelas
Huruf e
Cukup
jelas
Huruf f
Cukup
jelas
Huruf g
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud menghormati (to respect) adalah tidak diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang melanggar hak asasi (misalnya perlakuan
kekerasan terhadap anak dalam tahanan);
Yang
dimaksud melindungi (to protect)
adalah melindungi setiap warga negara dari aktor-aktor
non-negara (misalnya Negara harus mengadopsi undang-undang dan kebijakan untuk melindungi setiap individu dengan mengkriminalisasi
perilaku yang melanggar hak-asasi manusia);
Yang
dimaksud memenuhi (to fulfill) adalah Negara harus mengambil
tindakan untuk memenuhi hak-hak anak dan hal tersebut tidak bisa terlaksana
tanpa intervensi negara (misalnya alokasi anggaran, membangun sekolah, rumah
sakit);
Yang dimaksud memajukan (to
promote) adalah langkah awal dalam
mempromosikan pemenuhan hak-hak anak (misalnya melakukan pelatihan dan kampanye
sosialisasi perlindungan di masyarakat);
Yang dimaksud dengan hak sipil dan kebebasan adalah
kewajiban negara dalam memenuhi hak-hak anak khususnya Hak anak atas akte
kelahiran, nama, kebangsaan, mengetahui
dan diasuh orang tuanya. Hak anak atas Identitas: Hak Kewarganegaraan, Nama dan
Hubungan keluarga, mendapatkan bantuan dan perlindungan untuk memulihkan
identitas anak (Jika identitas tersebut direnggut);
Yang dimaksud hak atas lingkungan
keluarga dan pengasuhan alternatif adalah negara menjamin pengasuhan anak
secara berkesinambungan sehingga anak tetap memperoleh hak pengasuhan dan tidak
terlantar;
Yang dimaksud hak kesehatan dan kesejahteraan dasar
adalah negara berkewajiban mengakui hak-hak Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk menikmati secara penuh
atas kehidupannya,
menghormati martabat, meningkatkan rasa percaya diri dan partisipasi aktif ABK di
dalam masyarakat; Hak anak berkebutuhan khusus
atas perawatan khusus serta menjamin tersedianya kebutuhan khusus ABK
yang Gratis, Pendidikan, Pelatihan,
Pelayanan kesehatan, Pelayanan
rehabilitasi, Persiapan kerja, Kesempatan rekreasi dan Kerjasama internasional
bagi anak berkebutuhan khusus;
Kewajiban negara untuk
memenuhi Hak anak untuk menikmati standard kesehatan yang tertinggi, Menjamin
akses kesehatan tak tercabut dan
Implementasi sepenuhnya atas hak ini khususnya untuk mengurangi angka
kematian bayi dan anak, menjamin bantuan medis dan kesehatan (pelayanan
kesehatan dasar) Memerangi penyakit dan malnutrisi, menjamin perawatan
kesehatan bagi para ibu ketika sebelum dan sesudah melahirkan, menjamin
pendidikan kesehatan bagi masyarakat untuk melakukan langkah preventif,
bimbingan dan pelayanan KB dan orangtua serta kerjasama internasional;
Yang dimaksud hak pendidikan
adalah Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/kota menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Selain itu, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota mendorong pendidikan menengah umum dan
kejururan serta mempermudah akses bagi setiap anak, mempermudah akses ke
pendidikan yang lebih tinggi dengan penyediaan fasilitas yang memadai,
menyediakan informasi dan panduan tentang pendidikan dan mengambil
langkah-langkah untuk mendorong kehadiran di sekolah dan penurunan tingkat
putus sekolah;
Yang dimaksud perlindungan
khusus adalah kewajiban negara memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang berhadapan hukum, anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalagunaan narkotika, alkohol,
psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak yang menjadi korban penularan HIV/AIDS, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak
korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak berkebutuhan
khusus dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Huruf
b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud kelompok kerja adalah kelompok-kelompok kerja atau gugus tugas yang dibentuk oleh pemerintah daerah dan
pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan program
atau kegiatan-kegiatan perlindungan anak, seperti Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), Pusat Krisis Terpadu (PKT) yang berbasis Rumah
Sakit, atau Puskesmas, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
dan Anak (P2TP2A), Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) yang berbasis di Kepolisian, Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), Rumah Perlindungan
Sosial Anak (RPSA) pada Dinas Sosial, BP4 dan lembaga-lembaga
keumatan lainnya, Kejaksaan dan Pengadilan, Satuan Tugas Pelayanan
Warga pada Perwakilan RI di luar negeri, Women Crisis Center (WCC), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan Hukum
(KPRS-ABH), dan
lembaga sejenis lainnya, dan layanan ini dapat berbentuk satu atap (one stop
crisis center) atau berbentuk jejaring, tergantung kebutuhan di
masing-masing daerah.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan tenaga kesejahteraan sosial
adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan
tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja,
baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di
bidang kesejahteraan sosial anak.
Huruf f
Yang dimaksud pelaksana sistem perlindungan anak adalah
penyelenggara pemerintahan di daerah dan kabupaten/kota, instansi,
lembaga yang terkait dengan perlindungan anak, orang tua, dan masyarakat
Huruf
g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud sarana dan prasarana adalah termasuk menyediakan
tempat pengaduan, tempat layanan rujukan, tempat perlindungan sementara, pengasuhan
alternatif, dengan pengasuhan dalam lembaga kesejahteraan sosial sebagai
alternatif terakhir, penempatan sementara anak jika anak harus terpisah dari
keluarga.
Pengasuhan alternatif tersebut di evaluasi secara
berkala minimal 6 (enam) bulan
sekali dengan tujuan untuk segera
mengembalikan anak ke dalam keluarga dan atau lingkungan terdekatnya.
Huruf i
Partisipasi dilakukan dengan melibatkan anak secara aktif baik dalam
lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring pembangunan sesuai
usia dan kematangannya, agar proses penyelenggaraan pemerintahan dapat
melindungi anak dan untuk kepentingan terbaik anak.
Ayat
(2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup
jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud pernikahan dini adalah pernikahan
yang dilaksanakan dimana satu atau kedua mempelainya
berusia anak
Huruf f
Yang dimaksud dengan pandangan anak dalam kehidupan
masyarakat dan lingkungan adalah menjamin hak anak yang berkemampuan untuk
menyatakan secara bebas pandangannya sendiri mengenai semua hal yang menyangkut
anak itu, dengan diberikannya bobot yang layak pada pandangan-pandangan
anak yang mempunyai nilai sesuai dengan usia dan kematangan dari anak yang
bersangkutan.
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup
jelas
Huruf i
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Ayat (2)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Yang
dimaksud dengan peningkatan kapasitas bagi orang tua dan keluarga adalah
peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam mengasuh, memelihara, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai
dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, menghormati
harkat
dan martabat anak, melindungi anak dari perlakuan salah, penelantaran,
eksploitasi dan kekerasan terutama kepada anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, mencegah anak berhadapan dengan hukum, mencegah terjadinya pernikahan dini, menghormati pandangan anak
dalam kehidupan keluarga, memberikan dukungan ekonomi, sosial, pendidikan dan kesehatan, serta mental dan spiritual kepada anak; dan menghindarkan keterpisahan anak
dari keluarga inti.
Yang
dimaksud dengan peningkatan kapasitas bagi masyarakat adalah peningkatan
pengetahuan dan keterampilan dalam mendukung upaya-upaya pengasuhan untuk tumbuh kembang anak, menghormati
harkat
dan martabat anak, melindungi anak dan mencegah, serta tidak
membiarkan terjadinya perlakuan
salah, penelantaran, eksploitasi dan kekerasan terutama kepada anak-anak yang
membutuhkan perlindungan khusus, melindungi dan mencegah anak
berhadapan dengan hukum, melindungi anak dan mencegah, serta tidak membiarkan
terjadinya pernikahan dini, menghormati
pandangan anak dalam kehidupan masyarakat dan lingkungannya, dan menghindarkan keterpisahan anak
dari keluarga luas.
Ayat (3)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Ayat (4)
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup
jelas
Huruf
f
Cukup
jelas
Huruf
g
Cukup
jelas
Huruf
h
Cukup
jelas
Huruf
i
Cukup
jelas
Huruf
j
Cukup
jelas
Huruf
k
Cukup
jelas
Huruf
l
Cukup
jelas
Huruf
m
Cukup
jelas
Huruf
n
Cukup
jelas
Huruf
o
Cukup
jelas
Huruf
p
Cukup
jelas
Huruf
q
Cukup
jelas
Huruf
r
Cukup
jelas
Huruf
s
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Yang
dimaksud dengan instansi dan lembaga lain yang terkait adalah lembaga vertikal
yang terkait dengan penyelenggaraan sistem perlindungan anak antara lain
Kepolisian, Kantor Urusan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, Kejaksaan, Kehakiman,
serta lembaga pemerhati anak.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan sistematis adalah melakukan desain penyelenggaraan perlindungan anak secara
bertahap mulai perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi untuk melakukan intervensi
primer kesejahteraan sosial anak dan keluarga agar tidak terjadi tumpang tindih
kegiatan dan anggaran.
Yang
dimaksud dengan integrative adalah dalam melakukan intervensi primer kesejahteraan sosial anak dan keluarga secara
bersama oleh SKPD/Unit Kerja, instansi, dan lembaga terkait lainnya yang tidak
terpisah dari tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Ayat (7)
Cukup
jelas
Ayat
(8)
Cukup
jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud anak dari keluarga rentan adalah anak dari orang tua yang menikah dibawah 18 tahun,
orang tua tunggal, kedua orangtua yang bekerja, orang tua pengangguran,
pemabuk, pecandu, pengidap HIV/AIDS, suku minoritas dan terisolasi, orang tua yang disabilitas, kekerasan
dalam rumahtangga, perceraian, dan dari orang tua lainnya yang mengalami masalah
dalam keluarga
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud layanan dukungan keluarga adalah layanan yang diberikan
kepada keluarga rentan untuk mengurangi terjadinya risiko lebih lanjut terhadap
tumbuh kembang anak.
Layanan dukungan dapat dilakukan melalui dukungan ekonomi, jaminan sosial,
jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, dan layanan pengasuhan dan konseling.
Dukungan ekonomi seperti Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE), Usaha
Ekonomi Produktif (UEP), Usaha Simpan Pinjam dan bentuk lainnya.
Jaminan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT),
Program Keluarga Harapan (PKH) dan bentuk lainnya.
Jaminan kesehatan seperti
Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS), Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA)
dan bentuk lainnya.
Jaminan pendidikan seperti
bea siswa, layanan sekolah khusus bagi pekerja anak dan Anak Berhadapan Hukum,
Paket A, B, C, pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus.
Layanan pengasuhan dan konseling seperti PPT, P2TP2A,
TPA, RPSA, BKB, PAUD
Huruf e
Yang dimaksud dengan anak dalam situasi darurat adalah
anak yang menjadi pengungsi, korban kerusuhan, korban bencana alam dan anak
dalam situasi konflik bersenjata.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud lembaga alternatif adalah lembaga
kesejahteraan sosial anak yang bersifat sementara sampai diperolehnya
pengasuhan berbasis keluarga yang permanen.
Ayat (2)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup
jelas
Huruf
f
Cukup
jelas
Huruf
g
Cukup
jelas
Huruf
h
Cukup
jelas
Huruf
i
Cukup
jelas
Huruf
j
Cukup
jelas
Huruf
k
Cukup
jelas
Huruf
l
Cukup
jelas
Huruf
m
Cukup
jelas
Huruf
n
Cukup
jelas
Huruf
o
Cukup
jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan sistematis adalah melakukan desain penyelenggaraan perlindungan anak secara
bertahap mulai perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi untuk melakukan
intervensi sekunder kesejahteraan sosial anak dan keluarga agar tidak terjadi
tumpang tindih kegiatan dan anggaran.
Yang
dimaksud dengan integrative adalah dalam melakukan intervensi primer kesejahteraan sosial anak dan keluarga secara
bersama oleh SKPD/Unit Kerja, instansi, dan lembaga terkait lainnya yang tidak
terpisah dari tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf
a
Yang dimaksud dengan sistem terpadu satu atap
adalah kegiatan pelaksanaan intervensi tersier yang proses penanganannya dilakukan
dalam satu tempat.
Yang
dimaksud dengan sistem rujukan adalah
mekanisme penanganan kasus yang terdiri dari penelaahan kasus, penyelamatan
anak, pemulihan fisik dan psikologis, pengasuhan alternatif, bantuan hukum, perlindungan
identitas yang melibatkan berbagai instansi terkait.
Huruf b
Yang dimaksud reunifikasi
keluarga adalah menyatukan anak kembali ke dalam keluarganya.
Yang dimaksud reintegrasi
sosial adalah menyatukan kembali ke dalam masyarakat sehingga dapat menjalankan
fungsi sosialnya.
Yang dimaksud rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan
terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial agar dapat tumbuh dan berkembang
secara wajar.
Huruf c
Yang dimaksud pemantauan adalah memantau selama dalam
pengasuhan, penanganan kasus anak yang menjadi korban, pelaku dan saksi.
Huruf d
Cukup
jelas
Ayat (2)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan tempat pengaduan adalah suatu wadah yang ditetapkan oleh
penyelenggara sistem perlindungan anak sebagai tempat untuk menerima laporan
adanya tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran anak
yang diajukan oleh korban, keluarga, atau masyarakat.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan tempat layanan rujukan adalah suatu wadah yang ditetapkan oleh
penyelenggara sistem perlindungan anak sebagai tempat untuk melayani korban
yang dirujuk oleh SKPD/Unit Kerja, Instansi, dan lembaga lain yang terkait, sehingga
petugas harus memeriksa terlebih dahulu surat rujukan ataupun data-data yang
dikirimkan oleh perujuk.
Huruf c
Yang dimaksud dengan tempat perlindungan sementara adalah
tempat yang aman bagi anak untuk bertempat tinggal sementara selama jangka
waktu tertentu guna menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak,
misalnya shelter (rumah aman) dan bentuk lainnya
Ayat (3)
Yang dimaksud Standar Operasional Prosedur adalah serangkaian langkah-langkah
standar yang tertulis dan dibakukan mengenai berbagai proses dalam melakukan perlindungan sementara, antara lain
bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana dan oleh siapa yang melakukan.
Ayat (4)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup jelas
Ayat (5)
Huruf a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup
jelas
Huruf
f
Cukup
jelas
Huruf
g
Cukup
jelas
Huruf
h
Cukup
jelas
Huruf
i
Cukup
jelas
Huruf
j
Cukup
jelas
Huruf
k
Cukup
jelas
Huruf
l
Cukup
jelas
Huruf
m
Cukup
jelas
Huruf n
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan sistematis adalah melakukan desain penyelenggaraan perlindungan anak secara
bertahap mulai perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi untuk melakukan
intervensi tersier kesejahteraan sosial anak dan keluarga agar tidak terjadi
tumpang tindih kegiatan dan anggaran.
Yang
dimaksud dengan integrative adalah dalam melakukan intervensi tersier kesejahteraan sosial anak dan keluarga secara
bersama oleh SKPD/Unit Kerja, Instansi, dan lembaga terkait lainnya yang tidak
terpisah dari tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat
(9)
Cukup
jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Ayat (2)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Huruf a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Ayat (5)
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup jelas
Ayat
(6)
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup
jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup
jelas
Huruf h
Cukup
jelas
Huruf i
Cukup
jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat
(9)
Yang dimaksud dengan sistematis adalah melakukan desain penyelenggaraan perlindungan anak secara
bertahap mulai perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi untuk melakukan
intervensi primer dan fasilitasi dalam peradilan anak agar tidak terjadi
tumpang tindih kegiatan dan anggaran.
Yang
dimaksud dengan integrative adalah dalam melakukan intervensi primer dan
fasilitasi dalam peradilan anak secara bersama oleh SKPD/Unit Kerja, Instansi,
dan lembaga terkait lainnya yang tidak terpisah dari tugas pokok dan fungsi
masing-masing.
Ayat (10)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Yang
dimaksud dengan deteksi dini dan pengurangan resiko adalah memetakan target
kerentanan, kebutuhan, dan issu yang relevan dengan kelompok anak maupun
keluarga tertentu yang spesifik, yang didasarkan pada hasil riset dan/atau
bukti nyata bahwa kelompok atau wilayah tersebut rawan terjadi tindak pidana
anak.
Huruf b
Yang dimaksud dengan efektifitas pencegahan pada
wilayah-wilayah rawan adalah penentuan jenis kegiatan yang akan dilakukan pada
wilayah rawan berdasarkan hasil deteksi dini, yang melibatkan Pemerintah
Kabupaten/Kota, masyarakat, keluarga, dan orang tua, agar anak tidak terlibat
dengan masalah hukum,
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup
jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup
jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup
jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup
jelas
Huruf i
Cukup
jelas
Huruf j
Cukup
jelas
Huruf k
Cukup
jelas
Huruf l
Cukup
jelas
Huruf m
Cukup
jelas
Huruf n
Cukup
jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Ayat
(6)
Yang dimaksud dengan sistematis adalah melakukan desain penyelenggaraan perlindungan anak secara
bertahap mulai perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi untuk melakukan intervensi
sekunder dan fasilitasi dalam peradilan anak agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan dan
anggaran.
Yang
dimaksud dengan integrative adalah dalam melakukan intervensi sekunder dan
fasilitasi dalam peradilan anak secara bersama oleh SKPD/Unit Kerja, Instansi,
dan lembaga terkait lainnya yang tidak terpisah dari tugas pokok dan fungsi
masing-masing.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf
b
Sistem
peradilan formal adalah proses hukum bagi anak sebagai pelaku melalui suatu
peradilan khusus yang dimulai dari terjadinya penyidikan, penangkapan,
penahanan dan pelembagaan anak.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan prosedur ramah anak dan responsif gender dalam sistem peradilan
formal adalah indikator-indikator perlindungan anak yang harus dipenuhi saat
anak berhadapan hukum melalui jalur formal peradilan anak baik kuantitatif
maupun kebijakan misalnya anak-anak dalam tahanan, kematian anak dalam tahanan,
menyakiti diri sendiri, penganiayaan seksual, pemisahan dari orang dewasa,
dikurung tertutup atau sendiri, kontak dengan orang tua atau keluarga, exit
interview, inspeksi berkala secara independen, mekanisme pengaduan, pembatasan
pengekangan fisik dan penggunaan kekuatan, serta tindakan dan prosedur
disipliner khusus.
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup
jelas
Huruf c
Cukup
jelas
Huruf d
Cukup
jelas
Huruf e
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup
jelas
Huruf c
Cukup
jelas
Huruf d
Cukup
jelas
Huruf e
Cukup
jelas
Huruf f
Cukup
jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat
(6)
Cukup
jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan perubahan cara berfikir adalah
proses merubah pikiran dari suatu hal yang tidak diketahui menjadi diketahui tentang
segala sesuatu yang terkait dengan perlindungan anak, baik melalui intervensi
primer, sekunder, maupun tersier.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan perubahan cara bersikap adalah proses merubah sikap dari tidak
mau melakukan menjadi mau melakukan atau bukan hanya sekedar mengetahui tetapi
juga mau melakukan perlindungan terhadap segala bentuk kekerasan, eksploitasi,
perlakuan salah, dan penelantaran yang terjadi pada anak.
Huruf
c
Yang
dimaksud dengan perubahan cara bertindak adalah proses merubah tindakan dari
yang tidak responsif terhadap anak menjadi respon terhadap segala permasalahan
yang menimpa anak. Perubahan cara bertindak sangat dipengaruhi oleh cara
berfikir dan bersikap.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf
a
Yang
dimaksud prevalensi faktor resiko adalah bagian dari sistem informasi yang
dapat mengidentifikasi faktor resiko dan mendorong strategi pencegahan untuk
dapat menurunkan prevalensi kasus perlindungan anak, identifikasi anak yang rentan sebelum menjadi
korban persoalan perlindungan anak yang serius, memungkinkan untuk memonitor
keadaan anak dan menyediakan layanan pencegahan.
Huruf
b
Yang
dimaksud prevalensi kasus adalah
memberikan gambaran lengkap dari besaran masalah perlindungan anak.
Huruf
c
Yang
dimaksud cakupan kasus adalah
menggambarkan proporsi anak yang mengakses layanan dari anak-anak yang
membutuhkan layanan.
Huruf
d
Yang
dimaksud data evaluasi adalah
berhubungan dengan ketiga komponen lainnya. Evaluasi rutin dibutuhkan
untuk memastikan bahwa program dan layanan yang disediakan efektif, digunakan
untuk perencanaan (termasuk penganggaran), monitoring, dan evaluasi.
Ayat
2
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf
b
Yang dimaksud dengan penyebab permasalahan anak
adalah hubungan kausalitas langsung ataupun tidak langsung terjadinya resiko
pada anak baik dari keluarga, masyarakat, lingkungan, penyedia layanan, maupun
dari komitmen pengambil kebijakan.
Yang dimaksud dengan karakteristik permasalahan
anak adalah gambaran permasalahan anak
berdasarkan geografi, strata sosial, gender, dll.
Yang
dimaksud dengan kecenderungan permasalahan anak adalah trend atau periodesasi
permasalahan anak.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup
jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup
jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup
jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat
(7)
Cukup
jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan masyarakat dalam hal
ini termasuk penyelenggaraan negara, organisasi
politik, organisasi masyarakat, lembaga pendidikan, media, orang tua dan anak di seluruh
wilayah Sulawesi Selatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kerjasama adalah salah satu cara
untuk cepat mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menciptakan lingkungan
protektif bagi anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah,
dan penelantaran. Bentuk kerjasama dapat
mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku, antara lain Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Kerjasama Daerah.
Ayat (2)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup
jelas
Huruf c
Cukup
jelas
Huruf d
Cukup
jelas
Huruf e
Cukup
jelas
Huruf
f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup
jelas
Huruf h
Cukup
jelas
Huruf i
Cukup
jelas
Huruf j
Cukup
jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup
jelas
Huruf m
Cukup
jelas
Huruf n
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Ayat
(6)
Cukup
jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan dapat diakses oleh masyarakat adalah disampaikan secara terbuka baik dalam rapat koordinasi, website, media cetak dan elektronik, dan media lainnya sehingga mudah diakses oleh masyarakat.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup
jelas
Pasal 25
Ayat
(1)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat
(2)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup
jelas
Huruf c
Cukup
jelas
Huruf d
Cukup
jelas
Huruf e
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal 30
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup
jelas
Huruf
f
Cukup
jelas
Huruf
g
Cukup
jelas
Pasal 31
Ayat
1
Cukup
jelas
Ayat
2
Cukup
jelas
Ayat
3
Cukup
jelas
Ayat
4
Cukup
jelas
Pasal 32
Ayat
(1)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Huruf
a
Cukup jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup
jelas
Huruf
f
Cukup
jelas
Huruf
g
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 34
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 35
Cukup
jelas
Pasal 36
Cukup
jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2013 NOMOR
………….
No comments:
Post a Comment