PEMERINTAH
PROVINSI SULAWESI SELATAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI
SELATAN
NOMOR 7 TAHUN 2010
TENTANG
PENGELOLAAN
AIR TANAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR SULAWESI SELATAN,
Menimbang : a. bahwa
air tanah merupakan sumber daya alam yang
sangat vital bagi kehidupan manusia, oleh karena itu harus dikelola secara adil
dan bijaksana dengan melakukan pengaturan yang menyeluruh dan berwawasan
lingkungan;
b. bahwa
pengelolaan air tanah perlu dilakukan secara optimal untuk kemanfaatan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat;
c. bahwa
pengendalian pengambilan air bawah tanah yang diatur dengan Peraturan Daerah
Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 12 Tahun 1996 tentang
Pengeboran dan Pengambilan Air Bawah Tanah sudah tidak sesuai lagi dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan tuntutan serta perkembangan
zaman;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu membentuk Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan tentang Pengelolaan Air Tanah.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960 tentang
Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara Dan Daerah Tingkat I
Sulawesi Utara Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 151,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2101) Juncto Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan
Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp
Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara Tengah Dan
Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2687);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia 4844);
6. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
8. Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Republik Indonesia Nomor 5059);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3225);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan Dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4593);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Privinsi, Dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah
Di Wilayah Provinsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5107);
18. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan Dan
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan;
19. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis
Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup;
20. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451.K/10/MEN/2000
tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pemerintahan Di Bidang Pengelolaan Air
Tanah;
21. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 7 Tahun 2003 tentang
Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air Di Provinsi Sulawesi
Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2003 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 216);
22. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawes
Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 235);
23. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penyelengaraan
Perizinan Dalam Lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 237);
24. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 8 Tahun
2008 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 241) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 11 Tahun 2009 (Lembaran
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 Nomor 11);
25. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 5 Tahun 2009 tentang Legislasi
Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 247);
26. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 – 2029 (Lembaran Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 249);
27. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1 Tahun 2010 tentang Pelayanan
Publik (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 251);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
dan
GUBERNUR SULAWESI SELATAN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang
dimaksud dengan:
1. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan Daerah.
3. Daerah adalah Provinsi Sulawesi Selatan.
4. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Selatan.
5. Dinas adalah Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Sulawesi Selatan.
6. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi
Sulawesi Selatan.
7. Kabupaten/Kota adalah
kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
8. Orang adalah Orang perorangan dan Badan.
9. Badan adalah badan usaha dan/atau non usaha yang berbentuk badan hukum dan/atau tidak berbadan
hukum yang menjalankan jenis usaha/kegiatan bersifat tetap, terus menerus dan
didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkedudukan dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
10.
Air
Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan (akuifer) di bawah
permukaan tanah.
11.
Akuifer
adalah lapisan batuan jenuh air tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air
tanah dalam jumlah cukup dan ekonomis.
12.
Cekungan
air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologis,
tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, pelepasan air tanah berlangsung.
13.
Hidrogeologi
adalah ilmu yang membahas mengenai air tanah yang bertalian dengan cara
terdapat, penyebaran, pengaliran, potensi dan sifat kimia serta fisika air
tanah.
14.
Daerah
imbuhan air tanah (recharge area)
adalah daerah resapan air yang mampu menambah air tanah secara alamiah pada
suatu cekungan air tanah.
15.
Daerah
lepasan air tanah (discharge area)
adalah daerah keluaran air tanah yang berlangsung secara alamiah pada suatu
cekungan air tanah.
16. Ketentuan teknis adalah acuan teknis dibidang air tanah berupa, pedoman,
norma, persyaratan, prosedur, kriteria dan standar.
17. Rekomendasi teknis adalah ketentuan teknis yang wajib dipenuhi untuk
melakukan kegiatan dibidang air tanah termasuk mata air.
18. Pengelolaan air tanah adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau dan
mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber
daya air dan pengendalian daya rusak air.
19. Inventarisasi air tanah adalah kegiatan pengumpulan, pencatatan, pengolahan
serta penyimpanan data dan informasi air tanah.
20. Konservasi air tanah adalah upaya melindungi dan memelihara keberadaan
kondisi dan lingkungan air tanah guna mempertahankan kelestarian dan atau
kesinambungan fungsi, ketersediaan dalam kuantitas dan kualitas yang memadai
untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik waktu sekarang maupun yang akan
datang.
21. Perlindungan air tanah adalah kegiatan pengamanan kondisi dan lingkungan
air tanah dari kerusakan yang ditimbulkan oleh ulah manusia baik bersifat
langsung maupun tidak langsung maupun alam.
22. Pemeliharaan air tanah adalah kegiatan perawatan air tanah untuk menjamin
kelestarian fungsi air tanah.
23. Pengawetan air tanah adalah kegiatan perawatan untuk menjaga keberadaan air
tanah agar secara kuantitas tersedia sesuai fungsinya.
24. Pengendalian kerusakan air tanah adalah upaya mencegah dan menanggulangi
kerusakan air tanah serta memulihkan kondisi air tanah agar fungsinya kembali
seperti semula.
25. Pengawasan air tanah adalah pengawasan terhadap kegiatan administrasi dan
teknis pengelolaan air tanah agar sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.
26. Pemulihan air tanah adalah kegiatan untuk memperbaiki atau merehabilitasi
kondisi dan lingkungan air tanah agar
lebih baik atau kembali seperti semula.
27. Pemantauan air tanah adalah kegiatan pengamatan dan pencatatan secara
menerus atas perubahan kuantitas, kualitas dan lingkungan air tanah.
28. Pengembangan Air Tanah adalah upaya peningkatan kemanfaatan fungsi air
tanah sesuai dengan daya dukungnya.
29. Pengambilan air tanah adalah setiap
kegiatan untuk mengeluarkan air tanah melalui sumur gali, sumur bor dan
bangunan penurapan atau dengan cara lainnya.
30. Izin pemakaian air tanah adalah dokumen administrasi yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah dalam rangka penggunaan hak pakai dan hak guna air tanah.
31. Izin pengusahaan air tanah adalah dokumen untuk memperoleh hak guna usaha
air dari pemanfaatan air tanah.
32. Pendayagunaan air tanah adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan,
pengembangan air tanah dan pengusahaan air tanah secara optimal agar
berhasilguna dan berdayaguna.
33. Pembinaan adalah segala usaha yang mencakup
pemberian pengarahan, petunjuk, bimbingan, pelatihan dan penyuluhan
dalam pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah.
34. Persyaratan teknik adalah ketentuan teknik yang harus dipenuhi untuk
melakukan kegiatan pemboran dan pengambilan
air bawah tanah.
35. Hak guna air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk keperluan tertentu.
36.
Hak
guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air.
37.
Eksplorasi
air bawah tanah adalah penyelidikan air bawah tanah secara detail untuk
menetapkan lebih teliti/seksama tentang sebaran dan karakteristik sumber air
tersebut.
38.
Sumur
Pantau adalah sumur yang dibuat untuk memantau muka dan atau mutu air bawah
tanah pada akuifer tertentu.
39.
Jaringan
Sumur pantau adalah kumpulan sumur pantau yang tertata berdasarkan kebutuhan
pemantauan air bawah tanah pada suatu cekungan air bawah tanah.
40.
Sumur
Bor adalah sumur yang pembuatannya dilakukan baik secara mekanis maupun manual.
41.
Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) adalah dokumen yang mengandung upaya penanganan
dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan pengambilan air tanah.
42.
Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) adalah dokumen yang mengandung upaya pemantauan
komponen lingkungan hidup yang terkena dampak dari rencana usaha dan/atau
kegiatan pengambilan air tanah.
43.
Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau
kegiatan pengambilan air tanah yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan serta penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
BAB II
ASAS,
TUJUAN, DASAR DAN RUANG LINGKUP
Bagian
Kesatu
Asas
Pasal 2
Pengelolaan air tanah berasaskan:
a. Keadilan;
b. Kemanfaatan;
c. kelestarian;
d. keseimbangan;
e. keterpaduan;
f. keserasian; dan
g. partisipatif.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Pengelolaan air tanah bertujuan untuk:
a.
mewujudkan kemanfaatan air untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat;
b.
mewujudkan perlindungan terhadap pengelolaan
air tanah;
c.
mewujudkan pengelolan air tanah secara berkelanjutan.
Bagian Ketiga
Dasar
Pasal 4
(1)
Dasar pengelolaan
air tanah adalah cekungan air tanah.
(2)
Cekungan air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
(3)
Cekungan air tanah
lintas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Bone-Bone seluas 2230 km2 melintasi Kabupaten Luwu Utara, Luwu
Timur, Luwu dan Palopo;
b. Pinrang-Sidenreng seluas 2270 km2 melintasi Kabupaten Soppeng, Wajo, Sidrap dan Pinrang;
c. Siwa-Pompanua seluas 939 km2 melintasi Kabupaten Wajo, Bone dan
Luwu;
d. Pangkajene seluas 2229 km2 melintasi Kabupaten Maros dan
Pangkep;
e. Makassar seluas 580 km2 melintasi Kabupaten Takalar, Kabupaten Gowa dan Kota
Makassar;
f. Gowa seluas 482 km2 melintasi Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten
Bulukumba;
g. Sinjai seluas 81 km2 melintasi Kabupaten Bone; dan
h. Bantaeng seluas 1433 km2 melintasi Kabupaten Jeneponto,
Kabupaten Gowa, Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Bulukumba.
(4) Kewenangan Provinsi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), adalah cekungan air tanah
lainnya yang ditetapkan kemudian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
WEWENANG
PENGELOLAAN AIR TANAH
Pasal 5
(1)
Kewenangan Pemerintah
Daerah dalam pengelolaan air tanah meliputi:
a. menetapkan kebijakan pengelolaan air tanah;
b. menetapkan pola pengelolaan air tanah lintas kabupaten/kota;
c. mengatur peruntukan dan pemanfaatan air tanah;
d. memberi rekomendasi teknis;
e. mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan air tanah lintas kabupaten/kota;
f. mengelola dan memberikan pelayanan data dan informasi
air tanah;
g. menetapkan dan mengatur Jaringan sumur pantau pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota;
h. melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan
pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota;
i. memfasilitasi penyelesaian sengketa antar pemerintah
kabupaten/kota dalam pengelolaan air tanah;
j. memberikan bantuan teknis di bidang pengelolaan air tanah
kepada pemerintah kabupaten/kota; dan
k. menetapkan zona konservasi air tanah lintas kabupaten/kota.
(2) Tata cara pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Gubernur.
BAB IV
KERANGKA DASAR
Pasal 6
(1)
Kerangka dasar
pengelolaan air tanah berisikan tentang:
a. tujuan
jangka panjang pengelolaan air tanah;
b. kebijakan teknis pengelolaan air tanah yang mendasar; dan
c. strategi
pengelolaan air tanah.
(2)
Kerangka dasar
pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan acuan dalam:
c.
merencanakan;
d.
melaksanakan;
e.
mengendalikan;
f.
mengawasi;
g.
mengevaluasi;
h.
konservasi; dan
i.
pendayagunaan air tanah.
BAB V
KEBIJAKAN
AIR TANAH
Pasal 7
(1) Kebijakan pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf a, ditujukan sebagai arahan dalam:
a. penyelenggaraan konservasi air tanah;
b. pendayagunaan air tanah;
c. pengendalian daya rusak air tanah; dan
d. sistem informasi air tanah yang disusun dengan memperhatikan kondisi air
tanah setempat.
(2) Pemerintah Daerah menyusun dan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air
tanah sesuai kewenangannya dengan berpedoman pada kebijakan pengelolaan air
tanah nasional.
(3) Penyusunan kebijakan teknis pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dilakukan melalui konsultasi publik dengan mengikutsertakan
instansi/Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait dan unsur masyarakat.
BAB VI
PENGELOLAAN
Pasal 8
(1)
Rencana pengelolaan air
tanah disusun oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kerangka dasar yang telah
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Rencana pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari:
a. rencana induk pengelolaan air tanah;
b. rencana pengelolaan air
tanah;
dan
c. rencana kegiatan pengelolaan air tanah.
Pasal 9
Rencana pengelolaan air tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, ditetapkan oleh Gubernur dengan
memperhatikan pendapat Dewan Sumberdaya Air Provinsi.
Pasal 10
(1)
Rencana induk
pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a, ditetapkan
untuk jangka waktu maksimal 10 (sepuluh) tahun.
(2)
Rencana induk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya:
a.
pengumpulan dan
pemasukan data potensi air tanah;
b.
analisa data potensi air
tanah;
c.
rencana pengelolaan
potensi air tanah; dan
d.
monitoring dan evaluasi
potensi air tanah.
(3)
Rencana induk
pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah:
a. dilakukan konsultasi publik; dan
b. melewati masa sanggah masyarakat terhitung 30 (tigapuluh)
hari sejak dilakukan konsultasi publik.
(4)
Rencana Induk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mempertimbangkan:
a.
kondisi dan potensi air
tanah; dan
b.
tingkat perubahan
potensi air tanah.
(5)
Rencana induk
pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau dan
dievaluasi sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun;
(6)
Tata cara penyusunan
rencana induk pengelolaan air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
Pasal 11
(1) Rencana pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) huruf b, dilakukan berdasarkan pada cekungan air tanah;
(2) Rencana pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), meliputi:
a.
inventarisasi rencana
pengelolaan air tanah yang mencakup kegiatan:
1)
pemetaan;
2)
penelitian;
3)
eksplorasi; dan
4)
evaluasi data air tanah.
b.
konservasi air tanah yang
mencakup kegiatan:
1)
perlindungan;
2)
pelestarian;
3)
pengawetan;
4)
pemulihan;
5) pengelolaan kualitas;
6) pengendalian pencemaran; dan
7) pengendalian kerusakan.
c.
pendayagunaan yang
mencakup kegiatan:
1) penggunaan;
2) penyediaan; dan
3) pengembangan air tanah.
d. pengendalian daya rusak.
Pasal 12
(1)
Untuk menjamin keberhasilan konservasi dan
perlindungan air tanah, dilakukan kegiatan pemantauan air tanah.
(2)
Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
masing-masing.
(3)
Pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan untuk:
a.
mengetahui perubahan kualitas dan kuantitas;
b.
mengetahui dampak pengambilan dan pemanfaatan
air tanah.
(4)
Pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a.
pemantauan perubahan kedudukan air muka air
tanah;
b.
pemantauan perubahan kualitas air tanah;
c. pemantauan pengambilan pemanfaatan air tanah;
d.
pemantauan pencemaran air tanah; dan
e.
pemantauan perubahan lingkungan air tanah.
(5) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan
dengan cara:
a. membuat
sumur pantau;
b. mengukur dan
mencatat kedudukan muka air tanah pada
sumur pantau dan/ atau sumur produksi
terpilih;
c.
memeriksa sifat fisika,
komposisi kimia dan kandungan biologi air tanah pada sumur pantau, sumur
produksi dan mata air;
d. memetakan
perubahan kualitas dan/atau kuantitas air tanah;
e.
mencatat jumlah
pengambilan dan pemanfaatan air tanah;
f.
mengamati dan mengukur
perubahan lingkungan fisik akibat pengambilan air tanah.
g. pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dilakukan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sesuai dengan jenis kegiatan
pemantauan.
BAB VII
INVENTARISASI, KONSERVASI, PENDAYAGUNAAN
DAN PENGENDALIAN DAYA RUSAK
Bagian Kesatu
Inventarisasi
Pasal 13
(1)
Inventarisasi air tanah dimaksudkan untuk:
a. perencanaan
pengelolaan;
b. daerah imbuh
dan lepasan;
c.
geometri dan karakteristik akuifer;
d.
pengambilan dan
pemanfaatan; dan
e.
neraca dan potensi.
(2)
Inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), digunakan sebagai bahan penyusunan zona konservasi.
(3)
Inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), disampaikan kepada Kementerian yang membidangi air tanah dengan tembusan
kepada bupati/walikota
masing-masing.
(4)
Tata cara inventarisasi air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan
Gubernur.
Bagian Kedua
Konservasi
Pasal 14
(1)
Konservasi air tanah dimaksudkan untuk:
a.
kelestarian;
b.
kesinambungan;
c.
ketersediaan;
d.
daya dukung lingkungan;
e.
fungsi; dan
f.
pemanfaatan.
(2)
Konservasi air tanah dilakukan melalui
kegiatan:
a.
perlindungan;
b.
pelestarian air tanah;
c.
pengawetan air;
d.
pengelolaan kualitas air; dan
e.
pengendalian pencemaran air;
(3)
Konservasi air tanah didasarkan pada:
a.
inventarisasi, identifikasi dan evaluasi
cekungan.
b.
kajian daerah imbuhan dan lepasan.
c.
rencana pengelolaan air tanah pada cekungan; dan
d. pemantauan
perubahan kondisi dan lingkungan.
(4)
Tata cara pelaksanaan inventarisasi air tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Gubernur.
Paragraf 1
Perlindungan dan Pelestarian
Pasal 15
(1)
Perlindungan
dan pelestarian air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a,
ditujukan untuk:
a.
melindungi;
b.
melestarikan
kondisi lingkungan; dan
c.
fungsi
air tanah.
(2)
Pemerintah
daerah menetapkan kawaan lindung air tanah sebagai upaya perlindungan dan
pelestarian air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Pelaksanaan
perlindungan dan pelestarian air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dengan:
a.
menjaga daya dukung dan fungsi daerah imbuhan air tanah;
b.
menjaga daya dukung akuifer; dan/atau
c.
memulihkan kondisi dan lingkungan air tanah pada zona kritis dan zona rusak.
Pasal 16
(1) Untuk menjaga daya
dukung dan fungsi daerah imbuhan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (3) huruf b, dilakukan dengan cara:
a. mempertahankan kemampuan imbuhan air
tanah;
b. melarang melakukan kegiatan pengeboran,
penggalian atau kegiatan lain dalam radius 200 (dua ratus) meter dari lokasi
pemunculan mata air; dan
c. membatasi penggunaan air tanah, kecuali
untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.
(2) Untuk
menjaga daya dukung akuifer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf
b, dilakukan dengan mengendalikan kegiatan yang dapat mengganggu sistem akuifer.
(3) Untuk memulihkan kondisi dan lingkungan air
tanah pada zona kritis dan zona rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(3) huruf c, dilakukan dengan cara:
a. melarang pengambilan
air tanah baru dan mengurangi secara bertahap pengambilan air tanah baru pada zona
kritis air tanah;
b.
melarang pengambilan
air tanah pada zona rusak air tanah; dan
c.
menciptakan imbuhan
buatan.
Paragraf 2
Pengawetan
Pasal
17
(1) Pengawetan air tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2) huruf c, ditujukan untuk menjaga keberadaan dan
kesinambungan ketersediaan air tanah.
(2) Pengawetan air tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a.
menghemat penggunaan
air tanah;
b.
meningkatkan
kapasitas imbuhan air tanah; dan/atau
c.
mengendalikan
penggunaan air tanah.
(3) Pengaturan lebih lanjut tentang pengawetan
air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan
Gubernur.
Pasal
18
(1) Penghematan air tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a, dilakukan dengan cara:
a. menggunakan air tanah
secara efektif dan efisien untuk berbagai macam kebutuhan;
b.
mengurangi
penggunaan, menggunakan kembali, dan mendaur ulang air tanah;
c.
mengambil air tanah
sesuai dengan kebutuhan;
d.
menggunakan air tanah
sebagai alternatif terakhir;
e.
memberikan insentif
bagi pelaku penghematan air tanah;
f.
memberikan
desinsentif bagi pelaku pemborosan air tanah; dan/atau
g. mengembangkan dan menerapkan teknologi hemat air.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghematan
air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan gubernur.
Pasal
19
(1) Peningkatan kapasitas imbuhan air tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b, dilakukan dengan cara memperbanyak
jumlah air permukaan menjadi air resapan melalui imbuhan buatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai imbuhan
buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan gubernur.
Pasal
20
(1) Pengendalian penggunaan air tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c, dilakukan dengan cara:
a. menjaga keseimbangan antara pengimbuhan, pengaliran,
dan pelepasan air tanah;
b. menerapkan perizinan dalam penggunaan air
tanah;
c. membatasi penggunaan air tanah dengan tetap mengutamakan
pemenuhan kebutuhan pokok seharihari;
d. mengatur lokasi dan kedalaman penyadapan
akuifer;
e. mengatur jarak antar sumur pengeboran atau penggalian
air tanah;
f. mengatur kedalaman pengeboran atau penggalian
air tanah; dan
g.
menerapkan tarif
progresif dalam penggunaan air tanah sesuai dengan tingkat konsumsi.
(2) Pengendalian penggunaan air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terutama dilakukan pada:
a. bagian cekungan air tanah yang pengambilan
air tanahnya intensif;
b. daerah lepasan air tanah yang mengalami
degradasi; dan
c. akuifer yang air tanahnya banyak
dieksploitasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian penggunaan
air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Gubernur.
Paragraf 3
Pengelolaan
Pasal
21
(1) Pengelolaan kualitas dan pengendalian
pencemaran air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d dan
huruf e, ditujukan untuk mempertahankan dan memulihkan kualitas air tanah
sesuai dengan kondisi alaminya.
(2) Pengelolaan kualitas dan pengendalian
pencemaran air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
cara:
a.
mencegah pencemaran air tanah;
b.
menanggulangi pencemaran air tanah; dan/atau
c. memulihkan kualitas air tanah yang
telah tercemar.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan
kualitas dan pengendalian pencemaran air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
lingkungan hidup.
Bagian Ketiga
Pendayagunaan
Pasal 22
(1)
Pendayagunaan air tanah dilaksanakan
berdasarkan rencana pengelolaan air tanah.
(2)
Pendayagunaan air tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan melalui:
a. penatagunaan;
b. penyediaan;
c.
penggunaan;
d. pengembangan;
dan
e.
pengusahaan.
(3)
Pendayagunaan air tanah dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan air secara adil dan berkelanjutan.
(4)
Pemenuhan kebutuhan air berdasarkan prioritas
kebutuhan.
(5)
Prioritas pemenuhan kebutuhan air sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), adalah untuk kebutuhan air minum dan rumah tangga.
Pasal 23
Pendayagunaan air tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22, harus memperhatikan:
a.
rencana pengelolaan air tanah yang telah
ditetapkan pada cekungan air tanah;
b.
konservasi air tanah;
c.
larangan dan ketentuan pendayagunaan air
tanah daerah imbuhan air tanah;
d.
zona konservasi air tanah terutama zona rawan
dan zona kritis air tanah;
e.
keberadaan dan ketersediaan sumber daya air
lainnya; dan
f.
keragaman kepentingan masyarakat, kepentingan
wilayah dan kepentingan berbagai sektor.
Pasal 24
(1)
Penatagunaan air tanah dimaksudkan untuk
menetapkan:
a. zona
pemanfaatan; dan
b.
peruntukan.
(2)
Zona pemanfaatan dan peruntukan air tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memperhatikan:
a.
potensi air tanah;
b.
ketersediaan sumber daya air;
c.
fungsi kawasan;
d.
kepentingan masyarakat; dan
e.
kepentingan pembangunan.
(3)
Zona pemanfaatan dan peruntukan air tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan acuan dalam rangka penyusunan:
a.
rencana penyediaan air tanah;
b.
rencana pengambilan air tanah;
c.
rencana penggunaan air tanah;
d.
pengembangan air tanah; dan
e.
rencana tata ruang wilayah.
(4)
Penetapan zona pemanfaatan dan peruntukan air
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur lebih
lanjut dalam peraturan gubernur.
Pasal 25
(1)
Penyediaan air tanah bertujuan untuk:
a. memenuhi
kebutuhan air minum;
b. rumah tangga; dan
c.
keperluan lainnya.
(2) Penyediaan
air sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sepanjang memenuhi kualitas
dan kuantitas air tanah.
(3)
Ketentuan
mengenai penyediaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih
lanjut dengan peraturan gubernur.
Pasal 26
(1)
Pengembangan air tanah pada cekungan air
tanah ditujukan untuk meningkatkan kemanfaatan fungsi air tanah guna memenuhi
penyediaan air tanah.
(2)
Pengembangan air tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diutamakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan
pertanian rakyat.
(3)
Pengembangan air tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan selama potensi air tanah masih
memungkinkan diambil secara aman serta tidak menimbulkan kerusakan air tanah
dan lingkungan hidup.
(4)
Pengembangan air tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diselenggarakan berdasarkan rencana pengelolaan air tanah dan
rencana tata ruang wilayah.
(5)
Pengembangan air tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib mempertimbangkan:
a. daya dukung
akuifer terhadap pengambilan air tanah;
b.
kondisi dan lingkungan air tanah;
c.
kawasan lindung air tanah;
d.
proyeksi kebutuhan air tanah;
e.
pemanfaatan air tanah yang sudah ada;
f.
data dan informasi hasil inventarisasi pada
cekungan air tanah; dan
g. ketersediaan
air permukaan.
(6)
Pengembangan air tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), dilakukan melalui tahapan kegiatan:
a.
survei hidrogeologi;
b.
eksplorasi air tanah melalui penyelidikan
geofisika, pengeboran, atau penggalian eksplorasi;
c.
pengeboran atau penggalian eksploitasi;
dan/atau
d.
pembangunan kelengkapan sarana pemanfaatan
air tanah.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis
pengembangan air tanah diatur dengan peraturan gubernur
Pasal 27
(1)
Urutan prioritas
peruntukan pemanfaatan air tanah
ditetapkan sebagai berikut:
a.
air minum;
b. air untuk
rumah tangga;
c.
air untuk peternakan dan
pertanian sederhana;
d. air untuk
industri;
e. air untuk
irigasi;
f.
air untuk pertambangan;
g. air untuk
usaha perkotaan; dan
h.
air untuk kepentingan lainnya.
(2)
Urutan prioritas peruntukan pemanfaatan air
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berubah dengan memperhatikan
kepentingan umum dan kondisi setempat.
(3)
Peruntukan pemanfataan air tanah untuk keperluan
selain air minum dapat ditentukan apabila tidak dapat dipenuhi dari sumber air
lainnya.
Pasal 28
(1) Pengusahaan air tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (2) huruf e, merupakan kegiatan penggunaan air tanah bagi
usaha yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan:
a. bahan
baku produksi;
b.
pemanfaatan potensi;
c. media
usaha; atau
d. bahan
pembantu atau proses produksi.
(2) Pengusahaan air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang penyediaan air tanah untuk kebutuhan
pokok sehari-hari dan pertanian rakyat masyarakat setempat terpenuhi.
(3) Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berbentuk:
a.
penggunaan air tanah pada suatu lokasi tertentu;
b.
penyadapan akuifer pada kedalaman tertentu; dan/atau
c.
pemanfaatan daya air tanah pada suatu lokasi tertentu.
(4)
Pengusahaan air tanah
wajib memperhatikan:
a.
rencana pengelolaan air tanah;
b.
kelayakan teknis dan ekonomi;
c. fungsi
sosial air tanah;
d.
kelestarian kondisi dan lingkungan air tanah; dan
e.
ketentuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
29
(1) Pengusahaan air tanah dilakukan setelah
memiliki hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah.
(2) Hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui izin pengusahaan air tanah
yang diberikan oleh bupati atau walikota.
(3) Izin pengusahaan air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha.
Pasal 30
(1)
Alokasi penggunaan air tanah sebagai berikut:
a. penggunaan;
dan
b. pengusahaan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut tentang alokasi
penggunaan dan pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
Bagian Keempat
Pengendalian
Pasal 31
(1) Pengendalian daya rusak air tanah dilakukan terhadap
cekungan air tanah.
(2)
Pengendalian daya rusak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditujukan untuk:
a. mencegah intrusi air asin;
b. menanggulangi intrusi air asin;
c. memulihkan kondisi air tanah akibat intrusi air asin; dan
d.
mencegah, menghentikan
atau mengurangi terjadinya amblesan tanah.
(3) Tata cara pengendalian daya rusak air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
BAB VIII
REKOMENDASI TEKNIS
Pasal 32
(1)
Setiap orang atau badan
yang akan memperoleh izin pemakaian air tanah dan izin pengusahaan air tanah
dan perpanjangan izin pemakaian air tanah dan izin pengusahaan air tanah,
terlebih dahulu memperoleh rekomendasi teknis dari Gubernur.
(2)
Syarat dan tata cara
untuk memperoleh rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih
lanjut dengan peraturan gubernur.
(3)
Rekomendasi teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dievaluasi untuk menemukan keselarasan atau
kesesuaian dengan izin yang diterbitkan oleh bupati atau walikota.
(4)
Apabila izin yang
diterbitkan oleh bupati atau walikota bertentangan dengan rekomendasi teknis,
maka izin tersebut dapat:
a. diubah; atau
b. dicabut.
Pasal 33
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (4) huruf a, diubah apabila:
a.
izin secara teknis memenuhi syarat;
b.
terjadi pertentangan antara rekomendasi teknis dengan
izin.
Pasal 34
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (4) huruf b, dicabut apabila izin secara teknis tidak memenuhi syarat.
Pasal 35
Bupati atau walikota dapat memberi kompensasi kepada
orang atau badan yang izin pemakaian air tanah dan/atau pengusahaan air tanah
dicabut.
BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 36
(1)
Masyarakat dapat
berperan serta dalam pengelolaan air tanah.
(2)
Peran serta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat berupa:
a.
memperoleh dan
memanfaatkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga;
b.
memperoleh informasi
yang berkaitan dengan pengelolaan air tanah;
c.
menyampaikan masukan
dalam penyusunan rencana pengelolaan air tanah;
d.
mengajukan pengaduan
terhadap penyimpangan dalam pengelolaan air tanah;
e.
berpartisipasi dan
berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan konservasi air tanah.
(3)
Tata cara pelaksanaan
peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Gubernur.
BAB X
SISTEM
INFORMASI AIR TANAH
Pasal 37
(1)
Gubernur
menyelenggarakan sistem informasi air tanah.
(2)
Sistem
informasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian
jaringan informasi sumber daya air yang dikelola dalam suatu pusat pengelolaan
data pada tingkat provinsi.
(3)
Informasi
air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi data dan informasi
tentang:
a. konfigurasi
cekungan air tanah;
b. hidrogeologi;
c. potensi
air tanah;
d. konservasi
air tanah;
e. pendayagunaan
air tanah;
f. kondisi
dan lingkungan air tanah;
g. pengendalian
dan pengawasan air tanah;
h. kebijakan
dan pengaturan di bidang air tanah; dan
i. kegiatan
sosial ekonomi budaya masyarakat yang terkait dengan air tanah.
Pasal
38
Pengelolaan
sistem informasi air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dilakukan
melalui tahapan:
a. pengambilan dan pengumpulan data;
b. penyimpanan dan pengolahan data;
c. pembaharuan
data; dan
d. penerbitan serta penyebarluasan data dan
informasi.
Pasal
39
(1) Gubernur menyediakan informasi air tanah bagi
semua pihak yang berkepentingan dalam bidang air tanah.
(2) Informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bersumber dari:
a. instansi pemerintah;
b.
organisasi;
c. lembaga;
d. perseorangan; dan
e. badan
usaha.
(3) Sumber
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berdasarkan pada kegiatan yang berkaitan
dengan air tanah.
(4) Sumber
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menjamin:
a.
keakuratan;
b.
kebenaran; dan
c.
ketepatan waktu.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang sumber
informasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), diatur dalam Peraturan Gubernur.
BAB XI
LARANGAN DAN SANKSI
Pasal 40
(1)
Bupati atau walikota
dilarang menerbitkan izin pemakaian air tanah dan izin pengusahaan air tanah
tanpa rekomendasi teknis dari Gubernur;
(2)
Bupati atau walikota
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi;
(3)
Sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dapat berupa:
a.
teguran tertulis;
dan/atau
b.
biaya pemulihan dan
pemeliharaan air tanah;
(4)
Ketentuan lebih lanjut
tentang tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3), diatur dalam Peraturan Gubernur.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
(1)
Bupati atau walikota yang akan menerbitkan
izin pemakaian air tanah dan/atau izin pengusahaan air tanah sepanjang belum
membentuk peraturan daerah, wajib menyesuaikan dengan peraturan daerah ini.
(2)
Setiap orang atau badan yang memegang izin pemakaian
air tanah dan/atau izin pengusahaan air tanah, wajib menyesuaikan dengan
peraturan daerah ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Dengan ditetapkan Peraturan Daerah ini, maka:
1. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 8 Tahun 1991
tentang Izin Penggunaan
Air Di Atas Permukaan Tanah (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi
Selatan Tahun 1991 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan Nomor 80) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 11 Tahun 1996 (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi
Selatan Tahun 1996 Nomor 17, Tambahan Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan Nomor 139);
2. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 12 Tahun 1996 tentang Pengeboran Dan Pengambilan Air Bawah
Tanah (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi
Selatan Tahun 1996 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan Nomor 140);
Dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 43
Peraturan Daerah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Ditetapkan
di Makassar.
pada
tanggal September 2010.
GUBERNUR SULAWESI
SELATAN,
SYAHRUL YASIN
LIMPO
Diundangkan di Makassar.
pada tanggal September 2010.
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
A. MUALLIM
LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI
SELATAN TAHUN 2010 NOMOR ...
PENJELASAN
ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
NOMOR ……… TAHUN
2010
TENTANG
PENGELOLAAN AIR TANAH
I. PENJELASAN UMUM
Air tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa yang sangat penting bagi
kehidupan manusia. Oleh karena itu menjadi kewajiban kita bersama untuk
memanfaatkan sumber daya alam tersebut secara bijaksana bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
33 Ayat (3).
Pengambilan air tanah dalam rangka
memenuhi kebutuhan air minum, rumah tangga, sektor industri maupun pembangunan
semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan
kegiatan pembangunan. Hal ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah yang
dapat merugikan apabila tidak dilakukan pengelolaan secara bijaksana
Air tanah tersimpan dalam lapisan tanah
mengandung air dan menjadi bagian dari komponen daur hidrologi. Secara teknis
air tanah termasuk sumber daya alam yang dapat diperbaharui namun demikian
diperlukan waktu yang sangat lama. Pengambilan air tanah yang melampaui
kemampuan pengimbuhannya telah mengakibatkan pada beberapa daerah terjadi
krisis air tanah terutama air tanah dalam. Bahkan pada beberapa daerah telah dijumpai
gejala kemerosotan lingkungan antara lain penurunan muka air tanah dan
penurunan permukaan tanah serta penyusupan air laut pada daerah pantai. Apabila
kondisi tersebut tidak segera diatasi sangat memungkinkan timbulnya kerugian
lain yang lebih besar, misalnya kelangkaan air, terhentinya kegiatan industri
secara tiba-tiba, kerusakan bangunan dan meluasnya daerah banjir.
Air tanah terdapat pada lapisan tanah dan
batuan pada cekungan air tanah. Cekungan air tanah meliputi daerah-daerah
dimana kejadian hidrogeologis berlangsung. Berdasarkan cakupan luasnya, maka
batas cekungan air tanah tidak selalu sama dengan batas administrasi air
Kabupaten/Kota, maka pengelolaan air tanah pada satu cekungan harus dilakukan
secara terpadu yaitu mencakup kawasan pengimbuhan, pengaliran dan pengambilan.
Pada prinsipnya kegiatan pengelolaan air
tanah terbagi dalam kegiatan inventarisasi, konservasi, dan pendayagunaan air
tanah. Inventarisasi dimaksudkan untuk mengetahui kondisi potensi air tanah
pada setiap cekungan air tanah serta untuk mengetahui kondisi pengambilan air
tanah di seluruh cekungan tersebut. Konservasi bertujuan untuk melakukan
perlindungan terhadap seluruh tatanan hidrologis air tanah serta melakukan
kegiatan pemantauan muka air tanah serta pemulihan terhadap cekungan yang sudah
dinyatakan rawan atau kritis. Perencanaan pendayagunaan bertujuan untuk
melaksanakan perencanaan terhadap pengambilan air tanah, pemanfaatan lahan di
daerah resapan, daerah pengaliran dan daerah pengambilan. Pengawasan dan pengendalian
bertujuan untuk mengawasi dan mengendalikan terhadap kegiatan pengambilan air
tanah, baik dari aspek teknis maupun kualitas dan kuantitas.
Izin pemakaian/dan atau pengusahaan air
tanah merupakan salah satu alat pengendali dalam pengelolaan ar tanah.
Pemberian perizinan pemakaian/atau pengusahaan air tanah dikeluarkan oleh
Bupati/Walikota yang didasarkan atas Rekomendasi Teknis yang dikeluarkan oleh
Gubernur. Agar pelaksanaan pengelolaan secara terpadu dalam suatu cekungan air
tanah yang meliputi lebih dari satu wilayah Kabupaten/Kota, maka perizinan
pemakaian/atau pengusahaan air tanah dikeluarkan oleh Gubernur.
Pelaksanaan kegiatan pengelolaan air tanah
dilaksanakan secara terkoordinasi. Sepanjang menyangkut hal-hal yang bersifat
teknis Pemerintah Daerah memberikan dukungan dan fasilitas sebagai dasar
pelaksanaan pengelolaan administratif.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup Jelas
Pasal 13
Ayat (1) Kegiatan
inventarisasi bertujuan untuk mengetahui kondisi potensi air tanah pada setiap
cekungan air tanah serta untuk mengetahui kondisi pengambilan air tanah di
seluruh cekungan tersebut.
Ayat (2) Cukup
jelas
Ayat (3) Cukup
jelas
Ayat (4) Cukup
jelas
Pasal 14
Ayat (1) Kegiatan konservasi bertujuan untuk melakukan
perlindungan terhadap seluruh tatanan hidrologis air tanah serta melalukan
kegiatan pemantauan muka air tanah serta pemulihan terhadap
cekungan yang sudah dinyatakan rawan atau kritis.
Ayat (2) Cukup
jelas
Ayat (3) Cukup
jelas
Ayat (4) Cukup
jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup Jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup Jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup Jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup Jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup Jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup Jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI
NOMOR