Oleh: Dr. Aerin Nizar (Wakil Ketua DPD Partai
Demokrat Sulsel)
Setiap tanggal 21 April, anak
perempuanku dan anak-anak lainnya merayakannya dengan mengenakan kebaya atau
batik ke sekolah - dan perusahaan serta toko memberikan diskon, voucher, dan
penawaran menarik kepada semua perempuan sebagai bentuk tribute atau
penghargaan kepada perempuan Indonesia yang dianggap sebagai pejuang perempuan
dan feminis pertama, yakni Raden Ajeng Kartini. Para karyawan di kantor-kantor
pemerintah dan bank-bank pun tak mau kalah ikut memeriahkan Hari Kartini dengan
memberikan pelayanan dalam balutan busana-busana daerah yang menarik.
Pertanyaannya, apakah memang sesederhana itukah makna Hari Kartini?
Hari Kartini merupakan sebuah
momentum penting yang selayaknya tidak hanya dirayakan simbolis dengan kebaya,
batik, konde, atau diskon. Dari 250 juta penduduk Indonesia, 120 juta jiwa
penduduk Indonesia adalah perempuan. Ada beragam isu krusial di masa kini
tentang perempuan daripada sekedar menonjolkan simbol kebaya dan konde ala
Kartini di masa lalu. Isu-isu yang lekat dengan keseharian perempuan adalah
misalnya kemiskinan, kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi di tempat
kerja, meningkatnya jumlah tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri,
yang sebagian besar bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan mengasuh anak
majikan untuk membiayai anak-anak mereka yang ditinggalkan di kampung
halaman, serta pernikahan anak.
Jika ingin merefleksi kembali,
masih teringat jelas di ingatan kita beberapa kasus-kasus kekerasan yang
korbannya adalah perempuan dan anak yang terjadi di sepanjang tahun 2016
kemarin. Seperti misalnya kasus kekerasan seksual sadis pada anak yang terjadi
di Lampung, kasus perkosaan yang berujung pada pembunuhan sadis pada buruh
perempuan di kamar kost, dan kasus-kasus kekerasan seksual lainnya yang
kemudian berujung pada wacana untuk memberlakukan hukuman dalam bentuk Perpu
Kebiri dan pemasangan chip bagi para
pelaku kejahatan seksual tersebut. Ribut-ribut soal kebiri dan pemasangan chip ini, kemudian membuat banyak pihak
yang terlupa, bahwa ada korban-korban yang menyimpan trauma kekerasan yang
memerlukan perhatian yang sama dan tidak ada satupun regulasi yang secara
khusus memberikan hak-hak korban kejahatan seksual seperti upaya rehabilitasi,
kompensasi, bantuan medis, psikologis, dan psikososial untuk korban kejahatan
seksual terutama pada anak. Hanya ada satu regulasi yang tersedia yakni pada UU
Nomor 31 tahun 2016 tentang perlindungan saksi dan korban, namun regulasi ini terbatas
dan tidak komprehensif menyentuh kebutuhan esensil dari para korban kejahatan
ini. Ini baru tentang kekerasan seksual, belum lagi kasus kemiskinan perempuan
yang berujung pada pernikahan anak, imigrasi pekerja perempuan ke luar negeri
menjadi TKW yang diikuti dengan sejumlah masalah seperti kekerasan fisik dan
seksual, hukuman mati, pembunuhan, dan kasus-kasus lainnya yang menjadi collateral effects dari minimnya
perhatian pada kebutuhan esensil perempuan yakni kesetaraan dan keadilan.
Masih lekat di ingatan kita pula,
di tahun 2017 ini, cerita tentang Ibu Patmi seorang ibu dari Pegunungan Kendeng
yang menyemen kakinya di depan istana sebagai bentuk protes atas pendirian
pabrik semen di wilayah karst di Pati Jawa Tengah yang kemudian meninggal sakit
dalam perjuangan tersebut. Ibu Patmi merupakan salah satu dari 9 Kartini dari
Kendeng yang berjalan kaki, diintimidasi, meninggalkan ternak dan keluarga,
menyemen kaki di depan istana demi untuk memperjuangkan kelestarian lingkungan
dan kehidupan masyarakat di sekitar Karst Kendeng. Almarhumah Ibu Patmi ini
menjadi contoh mulia bagaimana seorang perempuan tak kenal lelah dan rela
berkorban demi keyakinannya dan keteguhannya untuk mendapatkan keadilan. Refleksi
Hari Kartini yang dilaksanakan di Komnas Perempuan pada 20 April 2017 kemarin
juga ikut mengkritisi isu tentang kekerasan Politik dan Kepemimpinan Perempuan,
dan cerita tentang perjuangan 9 Kartini Kendeng dan Ibu Patmi ini menjadi kisah
inspiratif perjuangan perempuan.
Tahukah anda semboyan RA Kartini?
Beliau berkata “Aku mau!” dua kata sederhana itulah yang telah beberapa kali
mendukung dan membawa kartini mampu melintasi besarnya kesulitan yang dia
hadapi. Kartini tidak berkata “Aku Tiada Dapat!” karena menurutnya kata itu
melenyapkan rasa berani yang membuat kita sulit mendaki puncak gunung
tertinggi. Masih banyaknya isu-isu krusial perempuan, baiknya tidak membuat
perempuan yang mampu bersuara, memiliki kewenangan, memiliki talenta dan
kapasitas, serta kemauan berjuang bersama melawan kekerasan dan ketidakadilan,
jadi berpuas diri dengan pencapaian yang dimiliki saat ini. Karena layaknya RA
Kartini, yang hanya menyuarakan keresahannya atas ketidakadilan dan ketimpangan
sosial melalui surat-surat ternyata masih mampu menggema sampai saat ini.
RA
Kartini berusia pendek, meninggal di usia 24 tahun tak lama setelah melahirkan
anak pertamanya. Walaupun berumur tidak panjang, namun RA Kartini berhasil
meninggalkan sebuah legacy penting yang telah mendorong ditegakkannya hak-hak para
Kartini masa kini. Perjuangan dan tantangan yang dihadapi oleh Kartini masa
kini, belum selesai. Kartini abad modern di masa ini juga belum terlepas dari
stereotype faham patriarkis yang terkadang masih mendikte tentang bagaimana seharusnya
perempuan berpendapat, bertindak, berbicara, bersikap, beraktifitas, berbusana,
berpendidikan, dan sebagainya. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh
perempuan Indonesia masa kini, termasuk isu-isu kemanusiaan yang lekat dengan
kehidupan perempuan, dan RA Kartini telah memberikan inspirasi untuk
melanjutkan upaya-upaya yang bisa menerobos tembok penghalang kemajuan
perempuan Indonesia.
Selamat Hari Lahir Ibu RA Kartini. Surah Al
Fatihah terkirim untukmu.
Makassar, 21 April 2017.