Ditulis Oleh: Aerin Nizar
Kampus Australian
Nasional University yang terletak di Canberra merupakan kampus yang terkenal
focus pada bidang politik, pemerintahan dan kebijakan public. Tahun 2011 ini,
di Crawford Building, 20 peserta perempuan dari Indonesia, Fiji, Timor Leste,
Vanuatu dan Kepulauan Solomon
yang lolos seleksi terbuka dari Program tahunan Centre For Democratic
Institution (CDI) ikut memperoleh kesempatan menimba ilmu di kampus tertua di
Australia ini. Canberra, sebagai ibukota Negara Australia merupakan pusat
pemerintahan dan politik Negara ini. Para peserta short-course Women
in Politics ini
berasal dari berbagai latar belakang. Latar
belakang Enam orang peserta dari Indonesia adalah politisi dan kader dari
Partai Politik seperti Partai Demokrat, Golkar, PDIP, PAN, dan PKB. Adapun dua
orang peserta Indonesia lainnya memiliki latar belakang NGO Internasional yakni
Natalia Warat dari Asia Foundation dan Nindita dari Partnership for
Governance Reform dimana keduanya bekerja untuk advokasi perempuan yang aktif
di politik.
Program dari CDI
yang dibentuk oleh pemerintah Australia ini telah berjalan selama enam tahun
yang bertujuan untuk mendukung proses dan lembaga demokrasi di Negara Asia
Tenggara melalui pertukaran dan penyebaran
pengetahuan antara Australia dan Negara tetangganya melalui kegiatan training
tahunan ini. Sebelum memulai kuliah hari pertama, ke 20 peserta diberi 2
pertanyaan tentang alasan mereka hadir di kegiatan ini dan apa yang ingin
mereka pelajari. Menariknya, bahwa jawaban yang muncul dari setiap peserta nyaris
sama meskipun mereka berasal dari Negara-negara
yang berbeda budaya, agama, kebiasaan dan system politiknya. Kesamaan
jawaban yang muncul adalah bahwa seluruh peserta menyebutkan tentang budaya
patriarkis, peran perempuan, kesempatan, ilmu dan pengetahuan baru serta
network sebagai
jawaban tentang alasan mereka ingin
mengikuti kegiatan ini. Dari jawaban tersebut
saya mengambil kesimpulan bahwa perempuan darimana pun asal, budaya, agama,
Negara berkembang atau pun Negara maju mengidentifikasi hal-hal yang sama dalam
perkembangan pergerakan perempuan di ranah publik.
Kuliah dari
Professor Marian Sawer yang merupakan peneliti senior dari ANU adalah sesi
kedua setelah perkenalan pada hari
pertama ini. Professor Marian memperlihatkan kepada peserta tentang beberapa argumentasi
yang menerima ataupun menolak keterwakilan perempuan di parlemen. Professor
senior ini menegaskan bahwa kecilnya jumlah perempuan di parlemen merupakan
sebuah tanda kemunduran demokrasi karena setengah dari jumlah penduduk dunia
adalah perempuan sehingga perlu pandangan dan pendapat perempuan dalam
pembuatan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat luas sehingga tidak
bias dan parsial. Kehadiran perempuan di parlemen terbukti mampu memberikan
warna dan perspektif berbeda dalam pembuatan kebijakan karena sebelum
keterlibatan perempuan dalam politik, masyarakat tidak akan mengenal isu-isu
dan kebijakan yang berkaitan tentang KDRT, Trafiking, pengasuhan anak,
pemaksaan adopsi, pemberian gaji yang tidak adil, reproduksi, dan sebagainya.
Sesi ketiga
kuliah pertama peserta CDI 2011 selanjutnya diisi oleh Direktur CDI, DR.
Stephen Sherlock yang memperkenalkan dasar-dasar system parlemen yang ada di
beberapa Negara di dunia. Hal ini disampaikan karena kuliah hari kedua peserta
CDI esok harinya, sepenuhnya
akan dilakukan di Parlemen Australian dimana Perdana Mentri Australia Julia
Gillard beserta 150 orang Anggota Parlemen (DPR) dan 76 senator (DPD)
berkantor. DR. Stephen menjelaskan
diagram ruangan parlemen Australia dan membandingkannya dengan diagram ruang
parlemen Indonesia. Dari diagram dan susunan kursi parlemen yang ada di kedua
Negara tersebut terlihat jelas bagaimana perbedaan proses pengambilan keputusan
terjadi pada kedua Negara yang menggunakan Sistem Presidensial dan Sistem
Parlementer. Sistem Parlementer yang mengadopsi gaya Westminister dari Inggris,
umumnya diadaptasi oleh Negara-negara bekas jajahan Inggris seperti Australia
dan Kepulauan Solomon. Sistem ini melakukan pengambilan keputusan berdasarkan
keputusan terbanyak (majority vote-based). Sedangkan system parlemen
presidensial yang diadopsi oleh Negara seperti Indonesia, melakukan pengambilan
keputusan berdasarkan konsensus atau kesepakatan bersama. Dari penjelasan
tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perlu melihat sejarah sebuah bangsa
untuk dapat memahami mengapa sebuah system parlemen diadaptasi. Dan contoh
nyata dari hal ini adalah Timor Leste, dimana sebagai sebuah Negara yang pernah
menjadi bagian dari Indonesia dan sekarang memiliki hubungan ‘dekat’ dengan
Australia dan Inggris, maka system parlemen yang digunakan oleh Negara ini
adalah perpaduan antara system parlemen presidensial dan parlementer.
Suasana Kelas CDI WiP Kampus ANU 2011 di Hari Pertama |
Kuliah hari
pertama akhirnya ditutup dengan sesi pertanyaan untuk mengidentifikasi apa
saja yang menjadi tantangan bagi perempuan untuk aktif di politik dan siapa
saja actor-aktor yang bisa menjadi pendukung ataupun penentang perempuan. Dari 4 kelompok yang dibentuk pada sesi akhir
tersebut, kembali terlihat bahwa semua peserta mampu mengidentifikasi tantangan
dimiliki perempuan seperti misalnya, beban ganda pada pekerjaan domestic,
tingkat pendidikan, budaya, agama, kondisi dan kebijakan partai, system dan
peraturan pemilu, penggalangan sumberdaya financial, penilaian yang bias dan
parsial terhadap perempuan, dan dari diri perempuan sendiri yang bisa menjadi
tantangan bagi perempuan untuk aktif di politik dan terpilih di parlemen.
Adapun actor-aktor yang dianggap bisa sebagai pendukung atau penentang adalah
kelompok perempuan, dan CSO perempuan, kaukus perempuan di parlemen, partai
politik, akademisi, perempuan itu sendiri, media (cetak atau elektronik), dan
pemerintah. Kuliah hari pertama berakhir dengan kontemplasi bahwa perempuan
dari Negara manapun yang ada dunia, baik itu Negara maju, berkembang, atau
terbelakang ternyata memiliki pengalaman dan perlakuan yang sama dalam
aktifitasnya di politik yang ditunjukkan pada kesamaan dalam mengidentifikasi
seluruh tantangan dan peluang yang dimiliki oleh perempuan.
No comments:
Post a Comment