Ditulis Oleh :
M Sirul Haq
(Staf Eksternal Fraksi Partai
Demokrat DPRD Sulsel)
Program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan merupakan janji politik
pemerintahan Gubernur Sulawesi Selatan (selanjutnya disingkat : Gubernur) yang
digulirkan sejak 2008. Sebagai jargon politik, pendidikan gratis hanyalah
sebuah terminologi kata pada kenyataannya. Hanya sebagai sebuah nama membuat program
ini tidak berjalan secara terpadu dan konsisten dengan proses dan tujuan jangka
panjang yang ingin dicapai, terbilang hanya pemanis bibir.
Bayangan masyarakat, pendidikan
gratis pastilah gratis mulai pendaftaran masuk sekolah hingga lulus menerima ijazah
tapi pada kenyataannya berbalik 180ยบ, dimana pendaftaran masuk sekolah tidak
seluruhnya gratis, sarana dan prasarana sekolah pun masih ada pembayaran, masih
diharuskan membayar komite sekolah, hingga ujian akhir pun masih terdapat
pungutan.
Pada kenyataannya agenda pembangunan peningkatan kualitas pendidikan
masyarakat oleh Gubernur difokuskan pada pendidikan gratis, peningkatan
kualitas pelayanan pendidikan, pelayanan akses masyarakat terhadap fasilitas
pendidikan, pemberantasan buta aksara dan pengembangan budaya baca.[1]
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
menyiapkan anggaran Rp 80 miliar dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
tahun 2012 untuk menggratiskan pendidikan pada tingkat SMA, SMK dan Madrasah.
Meski sudah menyiapkan anggaran, namun tidak semuanya akan digratiskan oleh
pemerintah, hanya item-item tertentu yang digratiskan seperti biaya pendaftaran
siswa baru tingkat SMA, SMK dan Madrasah Aliyah mulai tahun ini. Hal ini
dikatakan, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, H. A. Patabai
Pabokori.[2]
Patabai Pabokori menyatakan lebih
lanjut, jika ingin menggratiskan seratus persen tingkat SMA, SMK dan Madrasah
Aliyah, maka pemerintah harus menyiapkan anggaran sebesar Rp 200 miliar lebih.
Pekan depan, kita akan mengundang seluruh kepala dinas pendidikan di 24
kabupaten/kota di Sulawesi Selatan untuk melakukan pertemuan terkait teknis
pelaksanaan program pendidikan gratis tingkat SMA, SMK dan Madrasah Aliyah.
Untuk pembagian jumlah anggaran per kabupaten, itu dihitung dari jumlah siswanya.
Diharapkan komitmen pemerintah kabupaten/kota untuk menyukseskan program
gubernur ini, dengan menyiapkan dana sharing sebesar 60 persen.
Program pendidikan gratis dalam wilayah provinsi menyentuh wilayah 24
pemerintahan daerah tingkat II Kabupaten dan Kotamadya se-Sulawesi Selatan,
berdasarkan pengakuan Amping Situru, mantan Ketua DPD II Partai Golkar Tator,
menyoroti program pendidikan dan kesehatan gratis yang diterapkan gubernur
Syahrul Yasin Limpo. Bahwa, kesepakatan dianggap tidak adil karena anggaran pendidikan dan kesehatan
gratis lebih banyak dibebankan kepada kabupaten/kota. “Itu program pemprov
Sulsel, tapi justru kabupaten/kota yang dibebani anggaran lebih banyak.
Seharusnya kabupaten/ kota dibebaskan dari semua anggaran.[3]
Ketua Dewan Pendidikan
Sulsel, Prof Halide menyebut angka itu adalah hal yang benar. Seperti dilansir
USAID pekan lalu, sebagai Badan Bantuan Pembangunan Internasional, Amerika
Serikat serta UNICEF sebagai salah satu badan lembaga dunia PBB menemukan, 2,5
juta anak putus sekolah di Sulsel. Penyebabnya ditengarai antara lain kebijakan
Pemprov Sulsel melalui program pendidikan gratis dinilai belum dapat
menjangkau jutaan anak di luar sekolah. Selain itu, lemahnya sistem kontrol
pihak pemprov setempat yang tidak konsisten.[4]
Ketua Umum Pengurus Besar (PB)
Persatuan Guru Indonesia (PGRI) Pusat, Dr Sulistiyo, memuji prograp pendidikan
gratis yang diprogramkan Pemprov Sulawesi Selatan. Menurutnya, hal itu
menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap pendidikan, termasuk guru.[5]
Bakal calon Gubernur
Sulsel 2013-2018 Ilham Arief Sirajuddin menyoroti program unggulan bakal calon incumbent Sulsel
Syahrul Yasin Limpo, pendidikan gratis. Ilham menunjuk angka buta aksara di
Sulsel yang masih berada di level ketiga tertinggi di Indonesia. Sektor
pendidikan gratis ternyata juga belum mampu menigkatkan realitas masyarakat
Sulsel. Terbukti, buta aksara kita urutan ketiga tertinggi di Indonesia.
Bagaimana tidak, program unggulannya berupa pendidikan gratisnya itu kan memang
sudah digratiskan negara baru diklaim. Ada Undang-undan No 28, di Indonesia
wajib belajar 9 tahun. Kalau mau gratis, ya tingkat SMA difasilitasi dan tidak
biaya, itu baru gratis.[6]
SYL sendiri menilai Program Pendidikan
Gratis hanya merupakan intervensi terhadap pendidikan formal mulai dari SD
hingga SMA, dan belum menyentuh 2,5 juta jiwa anak yang putus sekolah ataupun
yang tidak dapat mengakses sekolah. Padahal dalam KUA tahun 2012 menargertkan
penambahan Angka Melek Hurup menjadi 91,82 % dan Rata-Rata lama Sekolah menjadi
8,11 tahun masa sekolah, jadi seharusnya yang mendapat perhatian dan intervensi
adalah angka 2,5 juta jiwa yang putus sekolah sebagai prioritas utama dan
bantuan pendidikan gratis pada wilayah sekolah formal menjadi prioritas ke-dua.
Analisa Kritis
Pendidikan gratis
seharusnya menyentuh penduduk yang tidak dapat sama sekali mengakses
pendidikan, bukan yang telah mengakses karena itu tinggal penguatan saja. orang
per orang warga Sul-Sel yang tidak sama sekali tersentuh pendidikan, seharusnya
paling diprioritaskan tersentuh pendidikan sehingga tak ada lagi warga
masyarakat sul-sel yang tidak sekolah, putus sekolah, buta huruf, tertinggal
dan bodoh. sehingga lapangan pekerjaan semakin terbuka dengan pemberdayaan
pendidikan kemandirian, bukan pada pendidikan formal yang telah menjadi titik
fokus bagi pemerintah pusat. jadi seharusnya program pendidikan gratis
menyentuh hal-hal yang belum disentuh oleh program pendidikan nasional.
sehingga tidak ada juga tumpang tindih dalam pelaksanaan anggaran dibawah atau
dilapangan. Target penurunan penduduk miskin dan pendidikan gratis tidak
berjalan satu arah atau saling melengkapi, tapi kecenderungannya berjalan
sendiri-sendiri.
Pendidikan diarahkan
pada mendorong pertumbuhan ekonomi, penghapusan pengangguran, meningkatnya
angka angkatan kerja dan tentunya tercapai kesejahteraan rakyat menuju
masyarakat adil dan makmur.
AHH (Angka Harapan Hidup) tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kesehatan
tapi pendidikan menjadi hal yang lebih dominan, seseorang menjadi sehat dan memiliki
harapan hidup yang jauh ke depan itu sangat dipengaruhi keterdidikan masyarakat
dalam pengetahuan dan keterampilannya menghadapi kehidupan termasuk menjaga
kesehatan agar dapat berumur panjang.
Jangan berfikir formal yang formalistik tapi keluar dari cara berfikir
tersebut, out of the box menyikapi
dan bertindak mengatasi jembloknya IPM yang dipengaruhi tingkat pendidikan
masyarakat berada pada kondisi yang tidak menyakinkan. sehingga berkontribusi
secara langsung dan tidak langsung terhadap pendapatan asli daerah (PAD) berdasarkan
KUA tahun 2012 yang terdiri dari komponen Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil
Pengolahan Kekayaan Daerah, dan Pendapatan Asli Daerah dari sektor lainnya.
Pelibatan rakyat juga harus dibuka ruangnya, dengan tidak bertumpu pada
orientasi program yang berbasis anggaran tapi pula berbasis masyarakat. Dengan
mengajak warga terlibat secara aktif dalam menopang upaya terwujudnya
pendidikan gratis bagi kalangan putus skolah.
Tidak Menjawab Kebutuhan Rakyat
Program Pendidikan gratis ternyata tidak menyentuh kebutuhan rakyat pada
persoalan hakiki. Yakni, pengurangan pengangguran, kebutuhan lapangan kerja,
kemiskinan dan kesejahteraan.
1.
Pengangguran
Pada persoalan
pengangguran, target pengurangan di tahun 2012 yakni 245.783 orang dari ukuran
realisasi ditahun 2011 283.355 orang. Artinya mengalami pengurangan 37.572
orang atau 13% sebagai target pengurangan pengangguran, atau angkatan kerja
mengalami penambahan dengan terserapnya 37.572 orang atau 13%. Target pengurangan itu tidak secara strategis
didorong dengan kebijakan pendidikan gratis, padahal pengangguran membutuhkan
pendidikan formal dan informal untuk dapat keluar dari kondisi yang tak
memiliki pekerjaan.
2.
Lapangan Kerja
Pendidikan gratis tidak menjadi stimulus langsung terhadap penambahan
lapangan pekerjaan. Dalam artian, manfaat pendidikan gratis tidak menjadi
ukuran dan pendorong penambahan lapangan kerja. Karena pola pendidikan gratis
hanya difokuskan pada pendanaan pendidikan formal, tidak menyentuh kebutuhan
angkatan kerja yang ingin masuk dalam lingkup pekerja aktif karena keterbatasan
lapangan kerja. Seharusnya pendidikan gratis juga menyentuh kebutuhan
pengetahuan dan keterampilan pencari kerja untuk membuat lapangan kerja sendiri
atau menjadi pekerja mandiri / pengusaha / enterpreneur.
Pendanaan pendidikan gratis pada sektor pendidikan keterampilan teknis
kurang mendapat perhatian padahal hal ini yang selayaknya menjadi prioritas
utama untuk didorong, dengan pendidikan secara formal dan informal keterampilan
berdasarkan kebutuhan lingkungan setempat. Jadi yang bermukim didaerah
pedesaan, lebih memprioritaskan pendidikan keterampilan pertanian, peternakan,
kehutanan, perikanan, dan usaha pedesaan.
3.
Kemiskinan
Kebijakan pendidikan gratis terlihat tidak menyentuh langsung persoalan
kemiskinan, terutama miskin dalam ketidak mampuan mengakses pendidikan,
memberantas buta aksara dan pendidikan praktis bagi peningkatan ekonomi rakyat
miskin agar dapat keluar dari kemiskinan. Pendidikan Gratis sebagai sebuah
program hanya menyentuh sebagian besar pendidikan formal dari jenjang SD, SMP
dan SMA yang sebenarnya orang-orang yang telah mengenyam atau sementara
mengeyam pendidikan formal tersebut memiliki akses atas pendidikan. Ada
persoalan penting dalam sektor pendidikan yang harus disentuh dan selalu
menjadi biang kerok keributan dimedia tentang ketidak berhasilan pendidikan
gratis yakni tingkat Angka Melek Huruf (AMH) yang tidak tertangani serius,
padahal AMH lah yang harus menjadi prioritas utama dalam program pendidikan
gratis yang selayaknya disentuh.
4.
Kesejahteraan
Jumlah penduduk miskin Provinsi Sulawesi Selatan pada
triwulan II tahun 2011 menurun mencapai 832.900 jiwa dan pada tahun 2012
ditargetkan turun dibawah 9 persen atau sekitar 792.600 jiwa.[7]
Tapi pada sisi lain, walaupun terdapat perkiraan penurunan tapi mengenai
tingginya angka anak putus sekolah mencapai angka 2,5 juta yang dilansir USAID.[8]
Sehingga terkesan, ini tidak didukung dengan peningkatan dana Pendidikan
Gratis, sehingga kesulitan masyarakat keluar dari garis kemiskinan menuju
kesejahteraan terbilang sulit. Pendidikan bagi sekitar 832.900 jiwa masih
merupakan beban ekonomi keluarga, yang tidak ditopang secara strategis bagi
dana program Pendidikan Gratis dari pemerintah.
Pakar Pendidikan Universitas Negeri Makassar (UNM),
Prof Dr H M Asfah Rahman, M.Ed menuturkan, tingginya angka anak putus sekolah
di Sulsel perlu dilihat dari berbagai sisi. Termasuk sosialisasi dan pemahaman
tentang pendidikan terhadap masyarakat.[9]
“Selain karena kurang
sosialisasi, faktor lainnya karena tidak adanya jalan bagi sekolah untuk
menerima sumbangan selain dari pemerintah. Sehingga ini menjadi malapetaka
dalam tanda petik bagi pihak sekolah yang bersangkutan,” urainya.
berdasarkan hasil penelitiannya
di beberapa sekolah dasar di sepuluh kabupaten/kota Sulsel seperti
Palopo, Luwu, Sidrap, Pinrang, Gowa maupun Makassar, biaya operasional normal
untuk sekolah dasar selama ini ternyata masih minim.
“Hampir semua kabupaten/kota masih kekurangan dalam menerima dana BOS, sumbangan maupun dana pendidikan gratis dari pemprov Sulsel,”
menyarankan agar pemerintah kabupaten/kota juga turun tangan membantu pemerintah pusat dalam pemberian dana bantuan itu.
“Seharusnya ada data riil yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah mengenai berapa sebenarnya kebutuhan dana di tiap sekolah. Ini untuk mengetahui apakah bantuan dana pendidikan gratis perlu ditambah? Tujuannya agar operasional sekolah itu bisa berjalan normal,”
“Hampir semua kabupaten/kota masih kekurangan dalam menerima dana BOS, sumbangan maupun dana pendidikan gratis dari pemprov Sulsel,”
menyarankan agar pemerintah kabupaten/kota juga turun tangan membantu pemerintah pusat dalam pemberian dana bantuan itu.
“Seharusnya ada data riil yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah mengenai berapa sebenarnya kebutuhan dana di tiap sekolah. Ini untuk mengetahui apakah bantuan dana pendidikan gratis perlu ditambah? Tujuannya agar operasional sekolah itu bisa berjalan normal,”
sehingga
berdasarkan data dan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa program
Pendidikan Gratis masih jauh dari impian membantu dan mendorong terjadinya
kesejahteraan masyarakat di Sulawesi-Selatan
Tarik Ulur
Kepentingan Provinsi dengan Kabupaten/Kotamadya
Program
Pendidikan Gratis yang telah berjalan sejak 2008, terlihat masih menjadi
program uji coba tanpa ada penetrasi kebijakan per semester untuk mengalami
perubahan seiring kebutuhan ataupun persoalan tumpang tindih kebijakan antara
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten/Kotamadya.
Fenomena di daerah yang beragam menunjukkan kebijakan Pendidikan Gratis tidak
dapat disamaratakan atau dipaksakan sama disetiap daerah, perlunya memahami
konteks yang terjadi didaerah sebagai realisasi program pendidikan Gratis.
Program pendidikan gratis yang sudah berjalan empat tahun masih
juga belum optimal. Beberapa kabupaten ternyata hanya memanfaatkan dana
pendidikan gratis dari Pemprov Sulsel. Di sisi lain, dana pendidikan gratis
yang seharusnya dialokasikan pemerintah kota dan kabupaten sebesar 60 persen
dari total anggaran, justru tidak dimanfaatkan. Dana tersebut masih mengendap
di kas daerah. Kasus seperti ini di antaranya terjadi di Kabupaten Jeneponto.
Pembiayaan program pendidikan gratis seperti pembayaran insentif guru dan
operasional hanya menggunakan dana Pemprov Sulsel yang dikucurkan sebesar 40
persen dari total anggaran.
Alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen pendidikan
sebenarnya telah menjadi kewajiban pemerintah daerah. Apalagi, Pemprov Sulsel dan
pemerintah kabupaten telah meneken nota kesepahaman pengalokasian anggaran
pendidikan gratis. Abdullah Jabbar mengatakan, anggaran pendidikan gratis
sebenarnya untuk membayar insentif guru dan operasional belajar. Namun, dana
yang didahulukan pencairannya di kabupaten justru untuk insentif para guru.[10]
Perubahan Arah Kebijakan :
Program
Pendidikan Gratis yang dalam beberapa point mengalami permasalahan, sehingga
dari permasalah itu perlu dicarikan solusinya agar tidak berlarut-larut dan
menumpuk. Sehingga, ketika menemukan berbagai masalah akan cepat diadakan
perubahan arah kebijakan yang tidak dianggap tabu sebagai sebuah kebaikan
bersama agar kepentingan dari program Pendidikan gratis dapat lebih efektif dan
efisien terlaksana yang disesuikan dengan harapan yang ingin dicapai agar dapat
saling berkesinambungan. Oleh karenanya itu dapat ditarik berbagai permasalahan
yang perlu dipikirkan langkah perubahan yang harus dilakukan diantaranya :
1.
Tumpang
tindih dengan program pendidikan yang dijalankan pusat dan daerah tingkat dua.
2.
Tidak
sesuai dengan harapan peningkatan IPM Sul-Sel secara mendasar dengan secara
radikal mengurangi angka buta huruf dan putus sekolah.
3.
Hanya
mengintervensi pada pendidikan formal dari SD hingga SMA sederajat, padahal ada
tingkat krusial dan lebih memperihatinkan yang harus dapat perhatian lebih
yakni angka 2,5 juta jiwa yang putus sekolah harus lebih mendapat perhatian
program Pendidikan gratis.
4.
Penyelewengan
dana atau anggaran Pendidikan Gratis mulai pada tingkatan provinsi hingga di
sekolah-sekolah harus diberangus dengan melibatkan masyarakat, LSM, legislatif,
BPK dan tentunya aparat penegak hukum; kepolisian, kejaksaan dan mungkin KPK.
5.
Pelaksana
lapangan mulai dinas pendidikan Sul-Sel dan kabupaten/kota dan sekolah-sekolah
juga guru-guru, juga menjadi bagian masalah yang perlu dipecahkan karena
terdapat banyak penyimpangan yang mereka lakukan dalam pelaksanaan Pendidikan
Gratis di Sul-Sel. Mulai dari penyelewengan anggaran, penyalagunaan kewenangan,
pungutan liar, dan mementingkan diri sebagai pelaksana yang melupakan fokus
utama yakni anak didik sebagai sasaran program pendidikan gratis.
6.
Banyaknya
anggaran yang mengujur untuk pembiayaan intensif guru padahal begitu banyak
pemasukan yang didapatkan guru, mulai dari dana sertifikasi, dana BOS, gaji
bulanan, gaji 13, insentif dari dana Komite Sekolah dan honor pelaksanaan jam
tambahan bagi siswa. Hal ini menunjukkan begitu banyaknya sumber pendapatan
yang didapatkan guru, namun tidak bersesuai dengan hasil yang diharapkan
terutama peningkatan mutu pendidikan, pengurangan angka buta huruf dan lama
sekolah, bahkan cenderung menjadi bagian beban dalam anggaran Pendidikan Gratis
yang harus dikaji ulang.
7.
Pengawasan
dan evaluasi mutu dan keluaran yang ingin dicapai pada pendidikan gratis diranah pelaksanaannya kurang terlaksana secara baik
dan sistematis, sehingga perlu dibentuk pengawasan yang secara resmi mengawasi
pelaksanaan pendidikan gratis tersebut. Pelibatan Dewan Pendidikan Sul-Sel
perlu menjadi hal yang diprioritaskan untuk itu, selain melibatkan perguruan
tinggi, masyarakat, lsm, legislator, dan pengamat pendidikan.
Sehingga dari 7 point diatas perlunya ada perubahan signifikan bagi
peningkatan program Pendidikan gratis, yang tidak semata-mata sebagai realisasi
janji politik tapi memang menyentuh persoalan mendasar dan substansial dari
peningkatan pendidikan di Sul-Sel. Hal inilah yang mendasari perlunya ada
rekomendasi dari bacaan dilapangan, analisa media dan KUA APBD Sul-Sel 2008,
2009, 2010, 2011 dan 2012.
Rekomendasi :
Ada beberapa hal yang dapat ditarik dari informasi dan ulasan diatas yang
menjadi point-point penting rekomendasi diantaranya adalah :
1.
Perlunya
membicarakan ulang proporsi pendanaan Pendidikan Gratis antara Pemprov Sul-Sel
dan Pemda Kab/Kotamadya.
2.
Perlunya
penyamarataan persepsi dan lokalitas kepentingan daerah tingkat dua serta
kebutuhan masyarakat berbasi lingkungan, ekonomi dan sosial agar tidak terjadi
ketimpangan ekonomi, peningkatan kesejahteraan, pengurangan pengangguran dan
terciptanya lapangan pekerjaan mandiri terhadap Program Pendidikan Gratis agar
tidak tumpang tindih dengan program dari Pemerintah Pusat dan perbedaan
pandangan dengan Bupati/Walikota.
3.
Perlunya
menetapkan aturan teknis realisasi program Pendidikan Gratis agar tidak
dialokasikan secara serampangan tapi berdasarkan skala prioritas.
4.
Pengawasan
Dana Pendidikan Gratis agar tidak dikorupsi dengan berbagai modus korupsi yang
terjadi dengan melibatkan BPK, legislatif, LSM, masyarakan dan aparat penegak
hukum; kepolisian, kejaksaan dan KPK.
5.
Mendorong
Program Pendidikan Gratis agar lebih menyentuh 2,5 juta jiwa sebagai titik
fokus program, dan mulai mengurangi intervensi pada pendidikan formal yang
telah didanai pusat dan daerah tingkat dua. Agar target IPM yang ingin dicapai
diantaranya pengurangan angka putus sekolah dan melek baca dapat terealisasi
dan menyentuh pada sasarannya.
6.
Memproses
secara etik, moral dan hukum setiap pelanggaran Pr ogram Pendidikan Gratis yang
terjadi dilapangan mulai dari pelanggaran administrasi, pengajaran hingga
penyelewengan dana agar menjadi stimulus untuk perbaikan kinerja dan mutu
pelaksanaan.
7.
Penambahan
anggaran Program Pendidikan Gratis menjadi hal yang sangat diperlukan guna
peningkatan mutu dan hasil yang ingin dicapai.
8.
Mengkaji
ulang, berbagai insentif, honor dan gaji guru yang didapat dengan adanya
program Pendidikan gratis ini yang terlihat tumpang tindih, menguntungkan guru
dan pelaksana lapangan agar tidak terlihat sebagai pemborosan anggaran dan
tumpang tindih dengan kebijakan pusat dan daerah tingkat dua.
9.
Perlunya
dibentuk badan pengawasan dan evaluasi agar Program Pendidikan Gratis ini
secara khusus agar dapat diukur sejauhmana capaian yang ada, sehingga berdampak
pada efektifitas dan kreatifitas Kebijakan Anggaran dan politik yang ada pada
APBD 2012 maupun nantinya 2013.
Demikian
analisa sederhana ini semoga bermanfaat.
[1] Kebijakan Umum APBD (KUA) APBD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012,
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan 2011, halaman 20, paragraf 2.
[3] Ilham Kritik Pendidikan Gratis Sulsel, Tribun Timur, Selasa, 10 April
2012 20:14 WITA
[4] Evaluasi
Program Pendidikan Gratis Sulsel, Harian Fajar
[5] Tribunnews.com
[7] Kebijakan Umum APBD, APBD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012,
dikeluarkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, yang bersumber dari data BPS
Prov. Sul-Sel, halaman 8.
[8] Fajar.com
[9] Fajar.com
[10] Fajar.com
No comments:
Post a Comment