Harga Kedelai Selangit, Usaha Tahu Tempe Menjerit
http://rakyatsulsel.com/sudah-20-pengusaha-gulung-tikar.html

Sejumlah usaha tahu tempe di Kota Makassar terancam gulung tikar karena harga kedelai naik dua kali lipat.
RAKYAT SULSEL . MAKASSAR -Naiknya harga eceran
kedelai di pasar global belakangan ini, juga dirasakan di daerah ini.
Banyak usaha tahu tempe kelimpungan. Harga eceran kedelai yang sudah
menembus Rp8.000 per kilogram membuat para pengusaha terpaksa menutup
usahanya. Bahkan, di Kota Makasar, sudah 20 usaha produsen tahu tempe
gulung tikar lantaran bahan baku kedelai naik terus.
Sejumlah produsen tahu dan tempe di Makassar menjerit karena kenaikan
harga kedelai yang sangat drastis hinga 35 persen. Produsen tahu dan
tempe berhenti memproduksi karena tidak mampu menanggung biaya produksi.
Harga kedelai yang biasanya berkisar Rp5.500-Rp6.500 per Kilogram (Kg),
sejak dua pekan terakhir naik menjadi Rp 8.000 per Kg. Jika kenaikan
itu terus berlanjut, diperkirakan akan lebih banyak produsen yang bakal
gulung tikar.
Bunari, salah seorang produsen tahu di Jl Muhammad Yamin Makassar,
kepada Harian Rakyat Sulsel, Senin (23/7), mengatakan, kondisi ini
sangat memberatkan produsen tahu dan tempe. Banyak produsen yang
mengeluh, bahkan sudah 20 produsen tahu dan tempe yang menghentikan
usahanya karena sulit memenuhi biaya produksi yang diakibatkan tingginya
harga kedelai.
“Saya dan produsen lainnya merasa kesulitan memproduksi tahu dan
tempe karena harganya naik hingga 35 persen. Biasanya harga kedelai
berkisar Rp5.500-Rp6.500 per kilogram sejak dua pekan terakhir naik
menjadi Rp8.000 per kilogram. Akibatnya, saya juga menaikkan harga
penjualan tahu dari Rp24 ribu per kotak menjadi Rp26 ribu per kotak.
Menurut saya harga inipun belum sesuai, seharusnya harga jual Rp30 ribu
per kotak baru bisa stabil penjualan dan produksi,” jelasnya.
Bunari menyatakan, selain menaikkan harga jual, pihaknya juga
mengurangi jumlah produksi. Biasanya, dalam sehari mampu memproduksi
tahun hingga 500-600 Kg, sejak harga kedelai melambung tinggi pihaknya
hanya bisa memproduksi 300-400 kilogram per hari.
“Strategi pengurangan jumlah produksi ini dilakukan untuk
mengantisipasi tingginya harga kedelai. Selain itu, ini merupakan cara
agar produksi tetap jalan, karena jika saya tidak melakukan pengurangan
maka bisa dipastikan juga saya berhenti produksi tahu. Tetapi, jika hal
ini berlangsung lama saya juga tidak tahan dan tidak sanggup menanggung
bisaya produksi yang sangat tinggi, saya bisa menyusul teman produsen
lain yang sudah gulung tikar,” tandasnya.
Riadi, salah seorang produsen tempe juga mengakui, dirinya merasa
sangat kesulitan memproduksi tempe karena biaya kedelai mahal. Jika
dihitung biaya produksi dan penjualan sangat tidak sebanding, bahkan
bisa dikatakan tidak ada keuntungan alias rugi.
“Saya biasa produksi tempe sebanyak 200 Kg per hari dengan biaya
produksi sebesar Rp 1,6 juta yang parahnya keuntungan saya hanya Rp 40
ribu. Bisa dibayangkan betapa tidak seimbangnya antara biaya produksi
dan keuntungan. Jika kondisinya begini terus produsen mana yang tidak
gulung tikar,” keluhnya.
Sriwayati juga merasakan hal yang sama. Produsen tahu ini, mengaku
sangat sulit memproduksi tahu karena biaya kedelai yang sangat melambung
tinggi. Dia menyatakan, biasanya membeli kedelai per ton seharga Rp6,5
juta sekarang mencapai Rp8 juta per ton.
“Siapa yang tidak merasa kesulitan jika harganya mencekik begitu,
apalagi keuntungannya sedikit, kalau begini terus bisa-bisa saya
bangkrut. Sudah banyak teman-teman saya yang tutup usahanya karena tidak
mampu menanggulangi bisaya kedelai yang sangat tinggi,” ucapnya.
Sriwayati menambahkan, seharusnya pemerintah tidak menutup mata
dengan kondisi produsen tahu dan tempe yang kesulitan. Semua produsen
tahu dan tempe di sini sepakat jika pemerintah harus turun tangan untuk
menstabilkan harga kedelai.
“Pemerintah harus segera turun tangan jangan membiarkan kami
kesulitan terus. Seharusnya ada langkah kongkret yang diambil pemerintah
untuk menstabilkan harga kedelai sehingga produsen yang gulung tikar
bisa beroperasi lagi sebagaimana bisanya dan kami bisa memproduksi tahu
dan tempe dengan mudah tanpa beban,” imbuhnya.
Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Sulsel, AM Yamin, mengatakan,
kondisi ini memang sangat menyulitkan produsen tahu dan tempe, tetapi
kondisi ini tidak akan bertahan lama. “Saya harap produsen tidak panik
karena kondisi ini hanya bertahan sebentar, palingan hanya dua minggu
setelah itu akan kembali normal,” ucapnya.
Terancamnya usaha tahu tempe mendapat perhatian dari Ketua Komisi B
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Selatan
(Sulsel), Aerin Nizar. Menurutnya, kelangkaan kedelai yang terjadi saat
ini merupakan dari kelangkaan yang tidak diantisipasi pihak pemerintah
sehingga membuat, kelangkaan yang menjadikan kenaikan harga dua kali
lipat.
Terkadang, kata Nizar, pemerintah sering kali melakukan langkah
operasi pasar, namun langkah tersebut bagaikan orang minum obat yang
diberikan pemerintah guna mengobati keinginan masyarakat saja. Karena
operasi pasar hanya sebagai obat, sementara itu semua tidak memiliki
dampak, sehingga akan mudah terjadi kembali.
“Saran saya, cuma bagaimana pemerintah dapat mengambil
langkah-langkah konkret dengan melakukan koordinasi dan melibatkan semua
stakeholder yang bermain dalam tata niaga kedelai di Indonesia,”
pintanya.(RS10-RS6-dul/D)