Friday, November 25, 2011

Kuliah Hari Pertama Women in Politic CDI 2011

Ditulis Oleh: Aerin Nizar

Kampus Australian Nasional University yang terletak di Canberra merupakan kampus yang terkenal focus pada bidang politik, pemerintahan dan kebijakan public. Tahun 2011 ini, di Crawford Building, 20 peserta perempuan dari Indonesia, Fiji, Timor Leste, Vanuatu dan Kepulauan Solomon yang lolos seleksi terbuka dari Program tahunan Centre For Democratic Institution (CDI) ikut memperoleh kesempatan menimba ilmu di kampus tertua di Australia ini. Canberra, sebagai ibukota Negara Australia merupakan pusat pemerintahan dan politik Negara ini. Para peserta short-course Women in Politics ini berasal dari berbagai latar belakang. Latar belakang Enam orang peserta dari Indonesia adalah politisi dan kader dari Partai Politik seperti Partai Demokrat, Golkar, PDIP, PAN, dan PKB. Adapun dua orang peserta Indonesia lainnya memiliki latar belakang NGO Internasional yakni Natalia Warat dari Asia Foundation dan Nindita dari Partnership  for Governance Reform dimana keduanya bekerja untuk advokasi perempuan yang aktif di politik.

Program dari CDI yang dibentuk oleh pemerintah Australia ini telah berjalan selama enam tahun yang bertujuan untuk mendukung proses dan lembaga demokrasi di Negara Asia Tenggara melalui pertukaran dan penyebaran pengetahuan antara Australia dan Negara tetangganya melalui kegiatan training tahunan ini. Sebelum memulai kuliah hari pertama, ke 20 peserta diberi 2 pertanyaan tentang alasan mereka hadir di kegiatan ini dan apa yang ingin mereka pelajari. Menariknya, bahwa jawaban yang muncul dari setiap peserta nyaris sama meskipun mereka berasal dari Negara-negara  yang berbeda budaya, agama, kebiasaan dan system politiknya. Kesamaan jawaban yang muncul adalah bahwa seluruh peserta menyebutkan tentang budaya patriarkis, peran perempuan, kesempatan, ilmu dan pengetahuan baru serta network sebagai jawaban  tentang alasan mereka ingin mengikuti kegiatan ini. Dari jawaban tersebut saya mengambil kesimpulan bahwa perempuan darimana pun asal, budaya, agama, Negara berkembang atau pun Negara maju mengidentifikasi hal-hal yang sama dalam perkembangan pergerakan perempuan di ranah publik. 

Kuliah dari Professor Marian Sawer yang merupakan peneliti senior dari ANU adalah sesi kedua setelah perkenalan pada hari pertama ini. Professor Marian memperlihatkan kepada peserta tentang beberapa argumentasi yang menerima ataupun menolak keterwakilan perempuan di parlemen. Professor senior ini menegaskan bahwa kecilnya jumlah perempuan di parlemen merupakan sebuah tanda kemunduran demokrasi karena setengah dari jumlah penduduk dunia adalah perempuan sehingga perlu pandangan dan pendapat perempuan dalam pembuatan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat luas sehingga tidak bias dan parsial. Kehadiran perempuan di parlemen terbukti mampu memberikan warna dan perspektif berbeda dalam pembuatan kebijakan karena sebelum keterlibatan perempuan dalam politik, masyarakat tidak akan mengenal isu-isu dan kebijakan yang berkaitan tentang KDRT, Trafiking, pengasuhan anak, pemaksaan adopsi, pemberian gaji yang tidak adil, reproduksi, dan sebagainya.  

Sesi ketiga kuliah pertama peserta CDI 2011 selanjutnya diisi oleh Direktur CDI, DR. Stephen Sherlock yang memperkenalkan dasar-dasar system parlemen yang ada di beberapa Negara di dunia. Hal ini disampaikan karena kuliah hari kedua peserta CDI esok harinya, sepenuhnya akan dilakukan di Parlemen Australian dimana Perdana Mentri Australia Julia Gillard beserta 150 orang Anggota Parlemen (DPR) dan 76 senator (DPD) berkantor.  DR. Stephen menjelaskan diagram ruangan parlemen Australia dan membandingkannya dengan diagram ruang parlemen Indonesia. Dari diagram dan susunan kursi parlemen yang ada di kedua Negara tersebut terlihat jelas bagaimana perbedaan proses pengambilan keputusan terjadi pada kedua Negara yang menggunakan Sistem Presidensial dan Sistem Parlementer. Sistem Parlementer yang mengadopsi gaya Westminister dari Inggris, umumnya diadaptasi oleh Negara-negara bekas jajahan Inggris seperti Australia dan Kepulauan Solomon. Sistem ini melakukan pengambilan keputusan berdasarkan keputusan terbanyak (majority vote-based). Sedangkan system parlemen presidensial yang diadopsi oleh Negara seperti Indonesia, melakukan pengambilan keputusan berdasarkan konsensus atau kesepakatan bersama. Dari penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perlu melihat sejarah sebuah bangsa untuk dapat memahami mengapa sebuah system parlemen diadaptasi. Dan contoh nyata dari hal ini adalah Timor Leste, dimana sebagai sebuah Negara yang pernah menjadi bagian dari Indonesia dan sekarang memiliki hubungan ‘dekat’ dengan Australia dan Inggris, maka system parlemen yang digunakan oleh Negara ini adalah perpaduan antara system parlemen presidensial dan parlementer.

Suasana Kelas CDI WiP Kampus ANU 2011 di Hari Pertama
Kuliah hari pertama akhirnya ditutup dengan sesi pertanyaan untuk mengidentifikasi apa saja yang menjadi tantangan bagi perempuan untuk aktif di politik dan siapa saja actor-aktor yang bisa menjadi pendukung ataupun penentang perempuan.  Dari 4 kelompok yang dibentuk pada sesi akhir tersebut, kembali terlihat bahwa semua peserta mampu mengidentifikasi tantangan dimiliki perempuan seperti misalnya, beban ganda pada pekerjaan domestic, tingkat pendidikan, budaya, agama, kondisi dan kebijakan partai, system dan peraturan pemilu, penggalangan sumberdaya financial, penilaian yang bias dan parsial terhadap perempuan, dan dari diri perempuan sendiri yang bisa menjadi tantangan bagi perempuan untuk aktif di politik dan terpilih di parlemen. Adapun actor-aktor yang dianggap bisa sebagai pendukung atau penentang adalah kelompok perempuan, dan CSO perempuan, kaukus perempuan di parlemen, partai politik, akademisi, perempuan itu sendiri, media (cetak atau elektronik), dan pemerintah. Kuliah hari pertama berakhir dengan kontemplasi bahwa perempuan dari Negara manapun yang ada dunia, baik itu Negara maju, berkembang, atau terbelakang ternyata memiliki pengalaman dan perlakuan yang sama dalam aktifitasnya di politik yang ditunjukkan pada kesamaan dalam mengidentifikasi seluruh tantangan dan peluang yang dimiliki oleh perempuan.  

Untuk applikasi dan informasi tentang CDI Women in Politik Klik http://www.cdi.anu.edu.au/.asia_pacific_region/2011-12/2011_11_AP_PRO_WiP_CBR.html

No comments:

Post a Comment